Final Liga Champions Juventus vs Real Madrid: E’ la volta buona

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Upaya menaklukkan mesin gol paling berbahaya di Eropa

Cristiano Ronaldo. Foto: Akun Twitter Resmi Liga Champions

JAKARTA, Indonesia – Sudah tiga kali ini Gianluigi Buffon bakal melihat Si Kuping Besar sedekat rengkuhan tangan. Pada dua edisi sebelumnya, dia menatap piala Liga Champions itu diangkat tinggi-tinggi oleh rival-rivalnya di panggung sang juara. Sementara dia menangisi kegagalannya di tengah lapangan bersama rekan-rekannya.

Final Liga Champions pertama terjadi di edisi 2002-2003 saat Juventus menghadapi lawan satu negara, AC Milan. Di laga yang disudahi dengan adu penalti itu, Si Nyonya Tua pulang dengan tangan hampa setelah Rossoneri menang 3-2.

Edisi kedua belum lama terjadi. Baru dua tahun lalu. La Vecchia Signora takluk dari Barcelona dengan skor telak 1-3.

Di final untuk kali ketiga ini, tak ada lagi para penghalang mereka di final. AC Milan tidak berpartisipasi di Liga Champions sedangkan Barcelona sudah mereka kirim pulang di perempat final dengan skor agregat cukup telak, 3-0.

Final kali ini semakin terasa spesial bagi Buffon karena dengan usianya yang berusia 39 tahun, kesempatan untuk menggenapi satu-satunya gelar dalam kariernya hanya saat ini.

“Bagi pemain lain, Dani Alves misalnya. Mereka masih punya 4 atau 5 tahun ke depan untuk kembali meraih piala ini. Bagi saya, kesempatannya sepertinya hanya saat ini,” kata Buffon seperti dikutip Irish Times.

Namun, sebagai pemain senior, Buffon tak ingin obsesi pribadinya itu menjadi beban bagi dirinya. Meski laga final ini bisa jadi yang terakhir untuknya, dia tak ingin hasil malam ini bakal memberikannya penyesalan seumur hidup.

“Saya ingin bermain tanpa memikirkan persoalan tersebut,” kata Buffon.

Buffon menjadi lambang nasib Juventus di Liga Champions. Bagi raksasa Italia itu, final Liga Champions bukan sesuatu yang bisa datang setiap tahun.

Meski menjadi tim dominan di Italia, Juve bukanlah Real Madrid dan Barcelona yang langganan tampil di final. Keduanya menembus final dua kali dan dua-duanya keluar sebagai juara dalam lima tahun terakhir.

Bagi Juventus, final Liga Champions serupa siklus yang kehadirannya lebih dekat pada mitos daripada hitungan matematis. Rentang waktunya tak terpola dan begitu panjang. Kali terakhir mereka sampai di final memang dua tahun lalu, tapi sepanjang 12 musim mereka tak pernah menjejakkan kaki di laga puncak.

Kalaupun sampai di final, belum tentu mereka menjadi juara. Sejak menjuarai Si Kuping Besar 21 tahun lalu di era Marcello Lippi, baru tiga kali ini Juve mencapai final dengan dua edisi sebelumnya selalu gagal.

Karena itu, seperti pernyataan Lippi yang dikutip Corriere dello Sport, “E’ la vuolta buona.” Inilah waktu yang tepat untuk meraih gelar juara. Dan tradisi begitu dekat dengan Juventus daripada Real Madrid.

Dalam sejarahnya, sejak era Liga Champions digelar, tak ada juara bertahan yang berhasil mempertahankan gelarnya. “Kutukan” itu terus terjadi dari tahun ke tahun. Termasuk kepada Juventus. Di musim berikutnya pasca menjuarai Liga Champions 1995-1996, mereka keok di final melawan Borussia Dortmund.

Begitu juga Real Madrid. Perlu jeda setahun bagi Los Blancos itu setelah meraih La Decima (gelar kesepuluh) pada 2013-2014 untuk kemudian meraih La Undecima (gelar kesebelas) pada 2015-2016. Tradisi yang merentang panjang sejak 1992, ketika sistem dan nama ajang paling bergengsi di Eropa itu berubah dari Piala Champions menjadi Liga Champions, sulit berubah malam ini.

Juventus bakal datang ke Millenium Stadium di Cardiff, Wales, dengan skuat yang komplit. Tak ada pemain yang tidak fit untuk laga kali ini. Berbeda dengan Real Madrid yang baru menyambut kembali Gareth Bale setelah pemain termahal mereka itu baru sembuh dari cedera.

Juventus paling seimbang

Foto: Akun Twitter Resmi Liga Champions

Selain itu, Juve sudah membuktikan bahwa mereka adalah tim yang paling seimbang di Liga Champions musim ini. Kekuatan mereka tak hanya di pertahanan, tapi juga serangan.

Di lini belakang, mereka sudah cukup berpengalaman membendung agresivitas lawan. Sejak turnamen ini dimulai, tim dari Turin ini baru kebobolan 3 gol atau sepanjang 9 laga mereka tak pernah kebobolan. Bahkan rival abadi Real Madrid, Barcelona, pun tak bisa membobol gawang Buffon.

Bandingkan dengan Real yang hampir selalu kebobolan di setiap pertandingan. Satu-satunya cleansheet yang mereka ciptakan hanya ketika membantai Atletico Madrid 3-0 di semifinal. Selebihnya, pasukan Zinedine Zidane rapuh di lini belakang.

Di Liga Champions, mereka sudah kebobolan 17 gol. Bandingkan dengan Juve yang hanya 3 gol.

Namun, meskipun begitu, harus diakui lini depan mereka merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Paket BBC (Gareth Bale, Karim Benzema, dan Cristiano Ronaldo) masih merupakan trisula paling berbahaya. Dengan kembalinya Bale dari masa cedera, trio tersebut bisa menjadi masalah bagi Buffon dan kawan-kawan.

Apalagi, kinerja lini depan Real termasuk yang paling mengerikan di Eropa. Di level domestik saja, total gol Real mencapai 106, tertinggi di antara liga-liga utama Eropa lainnya yang berada di kisaran 80-an gol. Begitu juga di level Eropa. Real sudah membukukan 32 gol. Bandingkan dengan Juve yang hanya 21 gol.

Meredam agresivitas yang luar biasa dari Real inilah yang bakal menjadi sajian utama dalam perang strategi antara Massimiliano Allegri dan Zinedine Zidane. Pengalaman Allegri sebagai juru taktik di level utama sepak bola selama bertahun-tahun bakal sangat membantu. Apalagi, Allegri cukup berhati-hati. Dia juga bukan pelatih naif yang memaksakan permainannya.

Sebagai pelatih Italia, mantan allenatore AC Milan itu sudah terbiasa untuk menerapkan counter strategy alias sepak bola reaktif. Di tengah pertandingan, Juve bisa dengan mudah berganti formasi dari sistem tiga bek (3-4-2-1) menjadi empat bek (4-2-3-1) hanya demi beradaptasi dengan permainan lawan.

Situasi taktikal inilah yang barangkali jarang dihadapi Zidane. Terutama karena karier manajerialnya di level utama baru berusia seumur jagung sejak mewarisi skuat dari Carlo Ancelotti dua musim lalu. 

“Kami sudah memenangkan scudetto dan Coppa Italia. Gelar pemungkas berada di depan mata dan kami siap untuk membuat tahun ini menjadi luar biasa,” kata Allegri seperti dikutip Football Italia.—Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!