Transfer sakit hati Leonardo Bonucci

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Apa yang membuat Juve rela melepasnya ke AC Milan?

Leonardo Bonucci dan istrinya, Martina Maccari. Foto: Akun Twitter Bonucci.

JAKARTA, Indonesia – Bagi Milanisti, transfer Leonardo Bonucci ke AC Milan adalah sebuah berkah. Bahkan mimpi terliar pun tak pernah punya ide untuk melihat Bonucci berseragam rossoneri.

Bagi pendukung tim merah-hitam itu, bursa transfer tak pernah menarik dalam beberapa tahun terakhir. Rutinitas yang sering terjadi, pemain

pemain-pemain yang sudah lewat masa keemasannya datang dan memperkuat tim. Umumnya mereka sudah berusia di atas 30 tahun atau tinggal menyisakan 2-3 musim lagi untuk pensiun.

Kalaupun ada pemain muda, kehadiran mereka cuma berstatus pinjaman. Tak permanen. Bermain selama semusim atau dua musim untuk kemudian kembali ke klub lamanya.

Bursa transfer yang membosankan itu sempat sedikit panas di musim panas ini. Bukan karena kabar pemain besar yang akan datang, melainkan kiper produk akademi mereka, Gianluigi Donnarumma, yang menolak memperpanjang kontraknya di klub.

Alhasil, semakin komplet lah penderitaan Milanisti menatap kiprah tim kesayangannya di bursa transfer.

Namun, pertengahan Juli ini semuanya berbeda. Donnarumma akhirnya memperpanjang kontraknya. Tak cukup sampai di situ, ikon Juventus selama tujuh tahun, Leonardo Bonucci, tiba-tiba memutuskan hijrah ke AC Milan.

Bonucci jelas menjadi dahaga di tengah paceklik nama-nama besar rekrutan Milan. Dia tak hanya DNA permainan Juventus, tapi juga salah satu bek terbaik dunia.

Kehadirannya bagai berkah bagi penghuni San Siro tersebut. Sebab, Bonucci, jika dia mau, bisa saja memutuskan pindah ke Liga Primer karena Chelsea dan Manchester City sudah menginginkan tanda tangannya sejak musim lalu.

Kemampuan Bonucci sebagai bek yang memiliki kesadaran permainan (mampu mendikte permainan dari lini belakang) sekaligus kemampuan bertahan yang baik membuatnya menjadi buruan utama. Antonio Conte, manajer Chelsea, yang tak mendapatkan tanda tangannya pada akhirnya memilih David Luiz untuk mengampu pos tersebut.

Diburu oleh dua pelatih top dunia, Bonucci jelas memiliki skill yang luar biasa.

“Bahkan bukan tidak mungkin jika dia di masa depan tiba-tiba dia akan berposisi lebih ke depan dan menjalankan peran seperti Andrea Pirlo sebagai deep lying midfielder,” kata kolumnis Susy Campanale di Football Italia.

AC Milan sebagai strategi melarikan diri

Banderol yang dikeluarkan Milan sebesar 42 juta euro jelas tak ada apa-apanya jika dibandingkan kapasitasnya. Dan Juventus bisa saja melepasnya dengan harga dua kali lipat lebih banyak jika Bonucci mau merantau ke Inggris.

Apalagi, melego Bonucci ke tim yang sama-sama berkiprah di Serie A jelas bakal membahayakan posisi Juventus. Membuat dominasinya di level domestik bakal terganggu.

Memang, di sisi lain, tak mungkin juga menjual Bonucci dengan banderol sebesar itu kepada tim lain selain Milan di Serie A. Kecuali Inter Milan, tak akan ada yang mampu menjangkau harga untuk seorang bek, posisi pemain yang stoknya begitu melimpah di negeri spaghetti tersebut.

Lantas, mengapa Juve rela menjualnya ke AC Milan? Raksasa tidur yang sewaktu-waktu bisa terjaga dan menjadi lawan sengit mereka?

Salah satu kemungkinan besar jawaban pertanyaan-pertanyaan itu adalah: karena transfer itu adalah keinginan Bonucci sendiri. Pemain 30 tahun tersebut ingin pergi dari Juventus Stadium tapi juga enggan hijrah ke luar negeri karena faktor keluarga.

Sejumlah media Italia menyebut, Bonucci enggan ke Inggris karena anaknya pernah mengalami sakit keras dan tak mungkin untuk mengalami perubahan lingkungan yang ekstrim dalam waktu dekat.

Di sisi lain, Juve juga tak mungkin menjualnya murah. Maka terjadilah transfer mengejutkan itu dalam waktu yang begitu cepat.

Tapi, apa yang membuat Bonucci ingin pergi?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa hubungan Bonucci dengan pelatihnya di Juve, Massimiliano Allegri, tidak harmonis. Dalam sebuah pertandingan, Bonucci mengumpat Allegri karena persoalan taktik.

Retaknya hubungan antara dua tokoh sentral itu jelas membuat manajemen harus bersikap. Dan dalam konflik antara dua matahari, harus ada salah satu yang disingkirkan. Rupanya, manajemen memilih mengorbankan Bonucci untuk membela stabilitas yang dibawa Allegri.

Di dunia sepak bola, konflik antara pelatih dan pemain lumrah terjadi. Bahkan konflik itu sampai begitu tajamnya hingga salah satu dari mereka memang harus disingkirkan.

Dalam kasus Bonucci, dia yang harus rela pergi dan hijrah ke Milan. Pemain memang lebih sering menjadi korban. Barangkali karena lebih mudah mencari pemain pengganti daripada mencari pelatih baru—meski dalam kasus lain seperti di Chelsea dan Leicester City, pemain yang kerap mempengaruhi manajemen untuk menendang sang pelatih.

Bagaimanapun juga, Roma tidak dibangun dalam sehari. Dan satu pemain tidak bisa membuatmu meraih scudetto. Kehadiran Bonucci bukanlah satu kepingan puzzle yang hilang dalam diri AC Milan, tim besar yang musim lalu hanya mampu finis di posisi keenam. Bonucci tak bisa datang dan membuat mereka terus menerus menang.

Dia mungkin akan membuat barisan bek Milan lebih kuat dengan kemampuan transisi serangan yang begitu cepat. Umpan-umpan dari lini belakang ke depan bakal sering terjadi. Tapi menjadi juara, itu kasus yang berbeda. Bukan begitu, Vincenzo?—Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!