Mencari cara hidupkan asa olahraga Indonesia

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mencari cara hidupkan asa olahraga Indonesia
Pemerintah sejak awal tidak memiliki blue print akan dibawa ke mana olah raga nasional

JAKARTA, Indonesia – “Terkait dengan tidak dipenuhinya target yang memicu perdebatan, diskusi dan desakan dari publik, kami memohon maaf dan tentu akan melakukan langkah besar”. Itu lah pernyataan yang disampaikan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi pada akhir Agustus lalu ketika memberi jumpa pers soal mengapa prestasi atlet timnas di SEA Games mengalami penurunan yang drastis.

Selama dua pekan penyelenggaraan di Kuala Lumpur, tim merah putih hanya membawa 38 medali emas. Sangat jauh dari target yang telah ditetapkan Satlak Prima yakni 55 medali emas.

Imam menjadikan masalah klasik anggaran sebagai biang keladi. Selain jumlah anggaran yang terbatas, ia mengatakan prosedur penggunaan anggaran yang birokratis menyebabkan mereka akhirnya menggunakan sistem reimburse. Artinya, atlet menggunakan dana pribadi untuk membayar akomodasi dan uang saku, lalu kemudian diganti Kemenpora.

Politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu berdalih proses birokratis itu terpaksa harus dilalui Kementeriannya karena tidak ingin ada PNS nya yang berakhir di dalam ruang tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara, Ketua Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) Ahmad Sutjipto menjelaskan adanya dugaan kecurangan yang dilakukan oleh tuan rumah Malaysia turut berkontribusi kepada melorotnya prestasi tim merah putih.

Tetapi, apa mau dikata, semua sudah terjadi. Publik kadung tidak percaya kepada penjelasan Imam. Bahkan, mereka mendesak agar Imam segera mundur dari kursi Menpora.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo pun turut mengekspresikan rasa kekecewaannya ketika dilapori Imam. Mantan Gubernur DKI itu justru menggantungkan harapan tinggi agar tim merah putih menjadi juara umum. Sayang, realitanya gelar juara umum SEA Games 2017 direbut tuan rumah dengan meraih 145 medali emas.

Akar permasalahan

MENENANGKAN. Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi menenangkan tim sepak takraw putri yang tengah menangis usai walk out dari pertandingan pada Minggu, 20 Agustus. Foto diambil dari situs Kemenpora

Lalu, apakah publik terkejut dengan pencapaian ini? Bagi sebagian orang, mereka tidak heran jika prestasi timnas di dunia internasional semakin menurun. Bahkan, proses regenerasi atlet pun terkesan lambat.

Salah satu yang mengaku tidak terkejut adalah jurnalis senior Suryopratomo. Pria yang pernah menulis mengenai olah raga selama 20 tahun itu mengatakan sejak awal target juara umum Jokowi adalah sesuatu yang tidak realistis.

Mengapa? Karena sejak awal pemerintah tidak pernah memberikan perhatian pada bidang olah raga. Perhatian itu semakin menurun setelah tahun 1997 hingga sekarang.

Pria yang akrab disapa Tommy itu menilai pemerintah melihat bidang olah raga bukan sebagai investasi jangka panjang, melainkan sama seperti proyek pada umumnya yang dapat memberi keuntungan materi.

“Kita melupakan fakta bahwa pembinaan olah raga itu proses yang panjang. Tidak ada yang instan dalam pembinaan olah raga,” ujar Tommy yang ditemui di sebuah restoran di area Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.

Secara sederhana Tommy menggambarkan jika pemerintah tidak memiliki blue print akan dibawa ke mana olah raga nasional ini. Ia kemudian memberikan lima resep untuk membangkitkan kembali olah raga di Indonesia.

Pertama, anggaran yang cukup, kedua komitmen dan kemauan secara keseluruhan, ketiga pembentukan karakter, keempat sarana dan pra sarana, kelima pelatih yang berkualitas, dan terakhir uji coba bagi atlet untuk mengasah kemampuan.

Tommy menjelaskan permasalahan anggaran tidak bisa dianggap sepele. Lantaran itu salah satu pemicu untuk mengerek prestasi timnas.

Di mata sebagian besar negara termasuk Amerika Serikat yang mengganggap olah raga sebagai investasi jangka panjang, maka mau tidak mau mereka akan menyiapkan anggaran yang tidak sedikit. Namun, anggaran itu tidak melulu harus bersumber dari uang publik atau APBN.

Tommy mengajukan solusi, pemerintah bisa menggandeng perusahaan swasta untuk ikut terjun dalam pembinaan olah raga nasional. Hal itu sudah diterapkan beberapa perusahaan di Jepang yang ikut mendanai beberapa klub sepak bola.

“Karena keterlibatan korporasi itu lah yang membuat sistem pembinaan bisa berjalan. Mengapa mereka mau? Karena itu dilihat sebagai pajak yang dipotong karena sudah melakukan program CSR,” kata dia.

Hal berbeda justru terjadi di Indonesia. APBN, kata Tommy, hanya dijadikan sumber dana satu-satunya untuk pembinaan olah raga dan tidak pernah membiarkan perusahaan-perusahaan ikut terlibat.

Maka, menjadi suatu ironi di saat para atlet sudah siap untuk bertanding, tetapi masih harus memikirkan anggaran untuk mereka yang belum cair. Padahal, selama bertanding di Kuala Lumpur, para atlet tidak ada yang hidup secara mewah.

“Mereka hanya datang, bertanding, lalu istirahat. Jadi, sangat disayangkan ada sistem pengganggaran yang tidak berpihak kepada pencapaian prestasi tadi,” kata dia.

Lalu, bagaimana dengan faktor tuan rumah yang kerap disebut sebagai faktor pendukung Indonesia gagal meraih medali emas? Dalam pandangan Tommy, hal tersebut tidak terlalu berpengaruh.

Para atlet sudah memahami dengan menjadi tuan rumah, maka Malaysia memiliki keistimewaan tersendiri. Apalagi, Negeri Jiran memanfaatkan SEA Games bukan hanya sebagai pesta penyelenggaraan olah raga di kawasan Asia Tenggara. Mereka turut memanfaatkan ajang itu untuk menyatukan warganya yang sempat terpecah akibat isu perbedaan ras.

“Sejak awal, Malaysia sudah mendesain agar di hari pertama yang dipertandingkan adalah cabor-cabor yang memungkinkan Malaysia menjadi juara. Mengapa? Karena jika sejak awal atlet-atlet Malaysia menjadi juara, maka akan menjadi pemicu bagi atlet mereka yang lain untuk berprestasi lebih baik,” kata dia.

Bahkan, ketika Korea Selatan menjadi tuan rumah Asian Games di tahun 1986, mereka berhasil menyapu bersih 12 medali emas di cabang olah raga tinju. Itu merupakan sejarah, karena belum pernah terjadi sebelumnya.

Tetapi, tidak ada satu pun atlet baik dari Tiongkok dan Jepang yang memprotes hal itu.

“Mereka menganggap hal itu adalah hal biasa. Yang harus dikejar justru adalah kemampuan atlet. Sebab, jika kemampuan mereka sudah berada di atas, maka mau dicurangi apa pun oleh wasit, tidak akan berpengaruh,” katanya.

Ia turut meminta agar pemerintah berhenti mencari kambing hitam dari luar dan melakukan introspeksi ke dalam untuk melakukan perombakan total.

Citra Indonesia di Asian Games 2018

Pencapaian Indonesia di SEA Games jelas membuat publik khawatir, hal itu juga menjadi cerminan saat menjadi tuan rumah Asian Games 2018. Mau tidak mau, pemerintah harus berbenah, sebab saat Asian Games diselenggarakan, akan ada 44 negara lain yang ikut serta. Sebagian besar negara itu, merupakan negara raksasa dengan kualitas pembinaan olah raga yang lebih maju.

Tommy menyarankan agar pemerintah segera melakukan perombakan total di sektor olah raga.

“Jangan lagi menggunakan pendekatan pembinaan olah raga hanya dari sudut pandang ekonomi. Misalnya, semua fasilitas di Senayan itu harus menghasilkan pendapatan bukan pajak. Jika hal itu yang masih mereka gunakan, maka sampai kapan pun olah raga di Indonesia tidak akan pernah maju,” kata Tommy bersemangat.

Indonesia bisa kembali menengok cara yang diterapkan oleh Bung Karno ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games pada tahun 1962. Ketika itu, Indonesia tidak hanya menjadi tuan rumah, tetapi ajang pertunjukkan kepada dunia situasi Tanah Air pasca merdeka sejak 1945.

Apalagi ketika itu, Indonesia berhasil menjadi runner up dalam raihan medali. Artinya, Indonesia pernah menjadi macan Asia yang disegani negara lain.

“Nah, sekarang pemerintah inginnya seperti apa? Asian Games ini ingin dilihat sebagai apa? Apakah hanya proyek biasa saja atau akan digunakan untuk memamerkan keberhasilan Indonesia? Tetapi dalam hal apa? Apa mengenai pembangunan ekonominya, manajemen atau apa?” tutur dia.

Tommy berharap jika pemerintah bisa melihat bahwa Asian Games lebih dari sekedar ajang olah raga, maka uang seharusnya bukan lagi faktor yang harus diributkan. Sebab, jika anggaran lagi-lagi dibatasi, maka apa yang ingin Indonesia tunjukkan kepada dunia internasional? – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!