Barcelona: Panjang umur perlawanan Catalan

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Barcelona: Panjang umur perlawanan Catalan
Menanti masa depan referendum dan Barcelona

JAKARTA, Indonesia – Ketika novelis Inggris George Orwell menginjakkan kakinya di Catalan, penulis Animal Farm itu langsung merasakan energi perlawanan yang begitu kuat.

“Ada kehendak yang begitu besar terhadap revolusi dan keyakinan yang kuat terhadap masa depan,” kata Orwell dalam salah satu karyanya, A Homage to Catalonia. “Perasaan-perasaan itu muncul sebagai tuntutan perjuangan terhadap persamaan dan kemerdekaan,” imbuhnya.

Sastrawan yang juga dikenal sebagai penulis novel 1984 tersebut mengunjungi Catalan saat negeri di semenanjung Iberia itu dibelah oleh perang saudara (1936-1939). Mereka terbagi dalam dua kubu republik yang menghendaki demokrasi dan kaum konservatif nasionalis yang cenderung fasis.

Seperti wilayah Spanyol lainnya, Catalan terkena imbas menjadi arena pertempuran antara dua kubu tersebut.

Catalan yang memiliki kesadaran identitas berbeda dari Spanyol jelas memilih demokrasi sebagai pilihan politiknya. Demokrasi membuat entitas mereka diakui.

Namun, kubu nasionalis yang awalnya dipimpin Jose Sanjurjo bersama sejumlah elit jenderal Angkatan Udara Spanyol itu menolaknya. Sanjurjo tak bertahan lama dalam pertikaian tersebut setelah meninggal dalam kecelakaan pesawat. Kubu nasionalis kemudian dipimpin seorang jenderal fasis yang juga fans berat Real Madrid, Jenderal Francisco Franco.

Perang yang juga disebut dengan nama Guerra Civil Espanola itu akhirnya menempatkan kubu nasionalis sebagai pemenang. Itu karena Jenderal Franco tak hanya didukung penuh kekuatan militer negeri matador. Tapi juga pasokan kekuatan dari negeri fasis lainnya seperti Jerman (Nazi) dan Italia.

Salah satu momen perang saudara yang paling diingat adalah ketika Angkatan Udara Italia membombardir Barcelona dan membuat sekitar 3.000 jiwa tewas pada tragedi 16 Maret 1938.

Keluarnya kubu nasionalis di tampuk kekuasaan membuat Jenderal Franco menjadi pemimpin diktaktor militer Spanyol dari 1939 sampai kematiannya pada 1975.

Kemenangan tersebut dibarengi konsekuensi yang menyedihkan. Dimulailah penyeragaman tentang apa itu “nasionalisme Spanyol”. Identitas yang berbeda seperti Catalan, Basque, dan keragaman Spanyol lainnya ditumpas dan ditekan habis-habisan.

Di Catalan, orang-orang dilarang berbahasa asli. Mereka harus berbahasa Spanyol. Bayi-bayi yang lahir di era Franco dilarang dinamai dengan nama-nama Catalan. Mereka harus memiliki nama Spanyol.

Catalan yang sebelumnya diberi otonomi khusus, kini tak lagi mendapat hak spesial itu.

Bendera Catalan juga ikut dilarang keras. FC Barcelona yang sebelumnya memasangnya sebagai bagian dari simbol klub sampai harus menghapusnya. Nama klub yang sebelumnya bernuansa “anglo-saxon”, Football-Club Barcelona, bahkan harus diubah menjadi Club de Futbol Barcelona.

Bukan sekadar klub sepak bola

Tapi selama ada Barcelona, identitas itu tak pernah luntur sekeras apapun tekanan pemerintah. Perlawanan terhadap pemerintah akan terus hidup sepanjang Blaugrana masih ada. Sepak bola, seperti juga kisah-kisah perlawanan di belahan dunia lainnya, menjadi arena penyemaian identitas-identitas marjinal.

Dan suporter memiliki kesadaran kolektif untuk terus melestarikan identitas berbeda itu. Di tribun mereka berbicara dengan bahasa Catalan dan dengan bangga berteriak Viva Barca, Viva Catalonia tanpa takut dipopor senjata aparat.

Semakin mereka ditekan, semakin Barcelona menjadi representasi solid identitas Catalonia. Apalagi, tim sekota mereka, Espanyol, menjadi agen pemerintah dengan memposisikan mereka sebagai pendukung Jenderal Franco.

Barcelona juga tak pernah sungkan menjadi bagian dari gerakan politik. Salah seorang presiden klub berjuluk Azulgrana itu justru menjadi korban penembakan kubu nasionalis gara-gara menjadi motor gerakan perjuangan kemerdekaan Catalan.

Sikap yang sama juga ditunjukan para pemainnya sampai sekarang. Mulai dari Josep “Pep” Guardiola, Carlos Puyol, hingga Xavi Hernandez. Semuanya mendukung Catalan untuk berdiri sendiri. Mereka juga kerap mengibarkan bendera Catalan setiap kali memenangi gelar besar.  

Meski sang “musuh bersama” itu akhirnya meninggal pada 1975, identitas Catalan dengan Barcelona sebagai lokomotifnya tak berhenti. Bahkan semakin mengkristal karena tekanan beberapa dekade itu mendapatkan wadah ekspresinya di klub sepak bola.

Setelah era diktaktor militer berakhir, kesadaran terhadap identitas itu tak lantas luntur. Otonomi khusus memang diberikan kembali berdasarkan konstitusi 1978, tapi warganya sudah punya kesadaran yang lebih tinggi dari sekadar status tersebut: kemerdekaan.

Dan Catalan bukanlah wilayah yang menginginkannya hanya karena romantisme kebangsaan. Sebab, BBC menyebutkan bahwa Catalonia adalah salah satu wilayah yang paling makmur dan produktif di Spanyol.

Begitu juga dalam sepak bola. Hanya Barcelona yang mampu mengimbangi dominasi Real Madrid. Bahkan, Liga Spanyol sejatinya memang hanya pertarungan antara dua raksasa tersebut. Para pemain terbaik di klub-klub di luar dua klub tersebut hanya bermimpi untuk memperkuat salah satu di antaranya.

Dalam sebuah wawancara dengan Majalah FourFourTwo, salah seorang pemain Spanyol yang tak disebutkan namanya pernah berkata; “Kalau kamu tidak bisa menjadi pemain salah satu dari dua klub itu, sebaiknya kamu hengkang dari Spanyol. Saya tidak merasa menjadi bagian dari pertarungan antara Real dan Barca karena itu saya pergi,” katanya.

Di antara tiga liga

Namun, jika harus berdiri sendiri, mampukah Catalan memiliki liga sepak bola utama seperti saat mereka masih bergabung bersama Spanyol? Meski duopoli Barca-Real terasa begitu monoton, namun sepak bola negeri matador itu masih termasuk lima besar liga utama Eropa.

Dari daftar peraih gelar juara Liga Champions, hanya Spanyol negara dengan gelar terbanyak, 17 gelar. Semuanya dari kontribusi Real dan Barca. Bandingkan dengan Inggris dan Italia yang sama-sama mengoleksi 12 gelar.

Apalagi, hanya tiga klub di level teratas (Primera Division) yang berasal dari Catalan. Yakni, Barcelona, Espanyol, dan Girona. Praktis, tingkat kompetisinya bakal jauh dari La Liga. Mengelola kompetisi juga bakal jauh lebih kompleks. Dan belum tentu orang-orang Catalan bisa melakukannya dalam waktu singkat.

Yang paling dimungkinkan bagi Barcelona—jika hasil referendum dengan 90 persen memilih merdeka benar-benar terealisasi—adalah hijrah ke liga tetangga. Liga terdekat, berdasarkan batas geografis, jelas Ligue 1 Prancis meski kabarnya Liga Primer (Inggris) dan Serie A (Italia) juga berminat menggaet mereka.

Secara komersial, Liga Primer bakal memberi Barcelona kesejahteraan finansial. Liga yang kini mencapai puncak popularitas dan keberhasilan komersialnya itu bakal menjadi pilihan terbaik bagi Blaugrana untuk mencapai level kesuksesan yang jauh lebih tinggi dibanding saat bersama La Liga.

Namun, Ligue 1 lebih berpeluang karena secara teritorial lebih dekat. Para pemain tak harus menempuh jalur udara untuk melakoni laga away. Apalagi, tingkat kompetisi Ligue 1 juga lebih “terkendali” dibanding Liga Primer. Pertarungan perebutan gelar juara kerap hanya menjadi monopoli Paris Saint-Germain (PSG) dan Marseille.

Peluang menuju ke sana diakui oleh Presiden Barcelona Josep Maria Bartomeu. “Jika kemerdekaan itu terjadi, kami harus memilih di liga mana kami akan berlabuh,” katanya seperti dikutip Sky Sports.

Hal yang sama juga diungkapkan Menteri Olahraga Catalan Gerard Figueras.

“Tak hanya Barcelona, Espanyol dan Girona juga harus menentukan ke mana mereka akan bermain. Apakah Spanyol, Inggris, Prancis, atau Italia,” katanya.—Rappler.com

 

 

 

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!