Setelah demonstrasi 4 November, apakah pluralisme kita sudah luntur?

Tasa Nugraza Barley

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Setelah demonstrasi 4 November, apakah pluralisme kita sudah luntur?

ANTARA FOTO

Apa pluralisme kebangsaan yang selama ini kita banggakan sudah punah? Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut.

Publik Indonesia dikagetkan dengan aksi demonstrasi besar-besaran pada Jumat, 4 November, pekan lalu. Masyarakat, khususnya yang tinggal di Jakarta, dibuat terkejut karena sudah lama tidak ada aksi protes dengan skala besar di republik ini. 

Lebih dari 100.000 orang turun ke jalan menuntut Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama diproses hukum karena ucapannya yang dianggap menghina Islam.

Layaknya pemilu pemilihan presiden dua tahun lalu, masyarakat Indonesia terbagi menjadi dua kubu, mereka yang mendukung demonstrasi dan menganggap Ahok telah menghina Al-Qur’an dan mereka yang menolak demonstrasi dan menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Ahok merupakan ketidaksengajaan dan tidak patut untuk diperpanjang lagi kasusnya.   

Tuntutan para umat Muslim yang kemarin turun ke jalan belum usai. Kalau Ahok tidak segera dijadikan tersangka, mereka mengancam akan kembali melakukan aksinya pada 25 November nanti.  

Melihat perdebatan panas di lini masa Facebook yang tidak juga kunjung usai, kita pun bertanya: Apa pluralisme kebangsaan yang selama ini kita banggakan sudah punah?

Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Melihat kondisi saat ini, banyak orang kemudian membandingkan masa sekarang dengan masa lalu di zaman Orde Baru, di bawah pemerintahan otoriter Presiden Soeharto, yang katanya Bhinneka Tunggal Ika dijunjung amat tinggi. Tapi argumen tersebut sudah pasti akan disangkal oleh para aktivis. 

Pluralisme zaman Suharto, menurut mereka, adalah pluralisme ilusi di mana demi tercapainya kepentingan mayoritas, kaum minoritas ditindas, dan hak asasi manusia dilecehkan. 

Apabila kita berhenti untuk melihat ke belakang dan melihat kondisi terkini, apa yang terjadi di Indonesia, walau mungkin hanya direpresentasikan secara sempit oleh aksi demonstrasi 4 November, merupakan fenomena sosial dunia. Saya menyebutnya kebangkitan kaum konservatif, yang telah lama menjadi mayoritas namun merasa kepentingannya kurang didengar oleh para pembuat keputusan. 

Bentuk kemarahan kaum konservatif ini bisa berbeda-beda di tiap negara. Di Amerika Serikat, misalnya, dengan kemenangan Donald Trump sebagai presiden yang sangat mengejutkan, bentuk kebangkitan konservatif tersebut diwakili oleh masyarakat kulit putih terutama yang tinggal di kota kecil dan pedesaan. Keputusan mayoritas rakyat Inggris, walau unggul tipis, untuk meninggalkan Uni Eropa di dalam referendum beberapa waktu yang lalu merupakan contoh lain. 

Di Indonesia, kebangkitan kaum konservatif direpresentasikan oleh bangkitnya kaum Muslim yang memiliki keteguhan kuat, cenderung kaku, dalam memegang prinsip-prinsip tradisional Islam. Di era Orde Baru, kaum ini ditekan dan tidak dibiarkan berkembang. 

Namun seiring dengan berkembangnya pergerakan Muslim di berbagai negara di belahan dunia dan didorong dengan kecanggihan teknologi informasi, basis dukungan kaum ini melebar, menjadi semakin percaya diri dan lantang menyuarakan kritikan. 

Semua kebangkitan kaum konservatif di seluruh dunia memiliki beberapa karakteristik yang sama, yaitu mereka merasa ditinggalkan oleh pemerintah dari sisi ekonomi, kepemerintahan, dan budaya. Kaum Muslim konservatif di Indonesia, misalnya, walau merupakan bagian dari mayoritas namun secara ekonomi mereka sebetulnya minoritas. Saya kemudian menyebutnya mayoritas minoritas. 

Namun apapun bentuk kebangkitan tersebut, semangat pluralisme tidak harus kemudian hilang di Indonesia. Dan memang betul, pluralisme tersebut belumlah sepenuhnya hilang, walau mungkin memudar. Kaum konservatif Muslim di Indonesia pun, saya yakin, mayoritas mendukung terjadinya pluralisme di Indonesia. 

Ratusan ribu orang menuntut kepastian hukum terkait dugaan penistaan agama yang diduga dilakukan Gubernur DKI Ahok, pada 4 November 2016. Foto oleh Wahyu Putro A/Antara

Selama bertahun-tahun pluralisme menjadi salah satu jargon yang selalu dijagokan di Indonesia. Sebagai sebuah negara dengan begitu banyak perbedaan, baik itu suku, agama dan etnis, pluralisme jelas menjadi perekat bagi kita untuk menjadi kuat, besar dan disegani. 

Suka atau tidak suka, harus diakui pluralisme mulai meluntur ketika Indonesia memutuskan untuk masuk ke dalam era baru, yaitu reformasi, dan secara perlahan-lahan menerapkan sistem politik partisipatif demokrasi. Lebih dari satu dekade, pluralisme hanya menjadi simbol, yang diucapkan berkali-kali di dalam berbagai acara seremonial namun tidak benar-benar diterapkan di dalam sendi-sendi kebernegaraan. 

Di bawah pimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, pemerintah harus menyadari bahwa pluralisme sebagai sebuah jati diri bangsa tidak bisa berdiri sendiri. Agar pluralisme berhasil, dibutuhkan langkah-langkah konkret yang memang bisa dirasakan oleh tiap warga negara, melalui berbagai kebijakan yang sesuai. 

Ada dua pendekatan yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Yang pertama adalah kebijakan ekonomi yang betul-betul menyasar orang kebanyakan. Ekonomi akan selalu menjadi isu utama bagi masyarakat di mana pun mereka berada. Tanpa kesejahteraan, pluralisme, atau apapun itu, tidak akan bisa terjadi. 

Selama bertahun-tahun pemerintah kita terlalu berfokus terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu memperlebar porsi PDB ekonomi Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh banyak pengamat ekonomi dunia, mengejar pertumbuhan ekonomi memang penting namun yang lebih penting adalah pemerataan distribusi. 

Pluralisme tidak mungkin akan terwujud apabila kesenjangan ekonomi semakin melebar, suatu kondisi yang sayangnya masih terjadi di Indonesia. 

Adalah hal yang percuma apabila pertumbuhan ekonomi kemudian hanya menguntungkan sebagian kecil orang. Tentu kita sering mendengar komentar seperti ini, “Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”.

Pluralisme tidak mungkin akan terwujud apabila kesenjangan ekonomi semakin melebar, suatu kondisi yang sayangnya masih terjadi di Indonesia. 

Data dari pemerintah, misalnya, menunjukkan kalau rasio gini di Indonesia masih berada di level 0,4. Rasio gini merupakan sebuah indikator ekonomi yang menunjukkan kesenjangan ekonomi di sebuah negara; 0 merepresentasikan tidak adanya kesenjangan. 

Pembangunan ekonomi yang saat ini digenjot oleh pemerintah Jokowi harus selalu melibatkan seluruh elemen masyarakat. Pembangunan infrastruktur, yang menjadi salah satu kunci dari strategi ekonomi pemerintah, harus benar-benar dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya masyarakat di pulau Jawa, namun juga di seluruh bagian Indoneia. Tidak mudah memang, tapi setidaknya semangatnya harus kesana. 

Yang kedua, pluralisme bisa diwujudkan apabila nilai-nilai pluralisme bisa menjadi bagian sistem pendidikan nasional secara komprehensif. Apabila ekonomi menjadi strategi jangka pendek, maka cara pendidikan merupakan strategi jangka panjang, dimana generasi muda penerus bangsa menjadi target utamanya. 

Selama ini nilai-nilai pluralisme hanya menjadi jargon-jargon di buku pelajaran, masih menggunakan teori-teori zaman dulu yang tidak implementatif dan sulit untuk dimengerti oleh generasi muda zaman sekarang. Harus diingat bahwa kemajuan teknologi informasi terjadi begitu cepat. Hanya dalam hitungan detik, generasi muda kita bisa mengetahui apapun yang terjadi di setiap belahan dunia ini. 

Singkat kata, generasi muda kita menghadapi sebuah jaman yang benar-benar berbeda dari apa yang dialami oleh generasi tua. Oleh karenanya, pendekatan harus dilakukan secara implementatif —konkret penggunaannya— dan sesuai dengan perkembangan zaman. 

Salah satu contoh sederhana yang bisa dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya, mewajibkan sekolah-sekolah untuk mengadakan program kunjungan sosial yang berbasis penghormatan nilai-nilai keberagaman. Langkah ini justru sudah banyak diadopsi oleh berbagai sekolah mahal berbasis kurikulum internasional di kota-kota besar di Indonesia. 

Berita baiknya, pluralisme masih punya akar yang kuat di kalangan luas masyarakat Indonesia. Saya sangat meyakini hal tersebut. Dibutuhkan arahan yang jelas dan komitmen yang solid dari pemerintah untuk memperkuat hal tersebut. 

Perang informasi di era globalisasi menjadi ancaman yang bisa memudarkan rasa kemajemukan kita. Tapi tentu, dukungan dari tiap kita individu masyarakat Indonesia adalah kunci. —Rappler.com 

Tasa Nugraza Barley adalah seorang konsultan komunikasi yang pernah menjadi jurnalis selama dua tahun di sebuah koran berbahasa Inggris di Jakarta. Ia suka membaca buku dan berpetualang, dan ia sangat menikmati cita rasa kopi tubruk yang bersahaja. Follow Twitternya di @barleybanget

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!