Apakah Presiden-terpilih Donald Trump baik untuk Indonesia?

Tasa Nugraza Barley

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Apakah Presiden-terpilih Donald Trump baik untuk Indonesia?
Semangat proteksionisme perdagangan Trump dinilai akan mengkhawatirkan bagi perekonomian Indonesia

Dunia terhenyak. Donald Trump terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, pada Rabu, 9 November, pekan ini. Pria kulit putih berusia 70 tahun ini tanpa diduga-duga mengalahkan calon presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, yang selama ini lebih diunggulkan oleh para pengamat politik. Hampir tidak ada survei yang berani memprediksi kemenangan Trump.

Tentu saja dunia terkejut. Selama tiga dekade ia hanya dikenal sebagai pengusaha properti dan selebriti. Gayanya urakan dan ucapannya cenderung seenaknya, bahkan terkadang terkesan kasar dan tidak ada sopan santun. Selama masa kampanye, ia sering melontarkan komentar-komentar yang kontroversial, mulai dari rencananya untuk membangun tembok besar di perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko, melarang sementara orang Muslim masuk ke Amerika Serikat, hingga menyebut lawan tandingnya layak masuk penjara. 

Tulisan ini tidak bermaksud menganalisa bagaimana Trump bisa mengalahkan Clinton yang sudah malang melintang di dunia politik, namun bagaimana dampak kepemimpinan Presiden-terpilih Trump bagi Indonesia. 

(BACA: 5 hal yang kamu perlu tahu tentang Donald Trump)

Amerika Serikat sampai sekarang merupakan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, begitu juga kekuatan militernya, serta pengaruh sosial dan budayanya yang begitu signifikan. Oleh karenanya, berbagai kebijakan Presiden-terpilih Trump nantinya, khususnya di bidang ekonomi dan politik, akan berdampak bagi berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, baik secara langsung maupun tidak. 

Berbagai kebijakan Trump, khususnya di bidang ekonomi dan politik, akan berdampak bagi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, baik secara langsung maupun tidak.

Bagi mereka yang terbiasa mengikuti kampanye politik tentu paham bahwa retorika kampanye tidak selamanya berbanding lurus dengan implementasi di dunia nyata. Namun tetap saja komentar-komentar Trump yang kontroversial dianggap ancaman bagi stabilitas ekonomi dunia, yang saat ini sedang mengalami kelesuan.

Sebagai kandidat presiden yang mewakili keresahan sosial yang dialami oleh golongan kelas menengah kulit putih di Amerika Serikat, yang selama bertahun-tahun mengalami stagnasi pendapatan, Trump berjanji akan mengembalikan ribuan pekerjaan manufaktur ke tanah Amerika. Ia menyalahkan perusahaan-perusahaan besar Amerika Serikat yang membuka pabrik-pabrik produksi di negara-negara lain, seperti Tiongkok dan India, demi mendapatkan tenaga buruh murah. 

(BACA: Merchandise jas Donald Trump ternyata buatan Indonesia)

Trump menyalahkan perjanjian dagang yang sudah ditandatangani oleh pemerintah Amerika Serikat, seperti perjanjian pasar bebas negara-negara Amerika Utara (NAFTA), yang disahkan di era Presiden Bill Clinton, sebagai penyebab hilangnya jutaan pekerjaan di Amerika Serikat. Nasib perjanjian dagang trans pasifik, atau yang dikenal dengan Trans-Pacific Partnership (TPP), yang selama ini didorong oleh presiden Barack Obama, menjadi tidak jelas karena di banyak kesempatan Trump mengganggap pernjanjian dagang tersebut justru merugikan kepentingan ekonomi Amerika Serikat. 

Saat ini mungkin bisa dibilang posisi Indonesia diuntungkan karena belum menandatangani perjanjian dagang TPP tersebut, yang sesungguhnya didesain untuk menyaingi pengaruh dagang Tiongkok di kawasan Pasifik. Sementara beberapa negara lainnya, seperti Australia, Malaysia, dan Vietnam, menjadi cemas karena nasib TPP menjadi tidak menentu sepeninggal Presiden Barack Obama nantinya.

Walau kita belum bisa memprediksi dengan pasti dampaknya, yang pasti semangat proteksionisme perdagangan menjadi salah satu slogan utama yang akan digaungkan oleh Trump. Ini tentu berbanding terbalik dengan pemerintahan Presiden Obama yang aktif mendorong globalisasi. Trump mengancam akan meningkatkan tarif impor untuk produk-produk asal Tiongkok dan negara-negara lainnya. 

Hal tersebut cukup mengkhawatirkan bagi perekonomian Indonesia karena Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Amerika Serikat merupakan tujuan utama ekspor non-migas Indonesia. Sepanjang 2016, misalnya, mulai dari Januari hingga Agustus, transaksi ekspor non-migas Indonesia ke Amerika Serikat lebih dari AS$10 miliar —jumlah ini terbesar dibandingkan negara-negara tujuan ekspor lainnya. 

Indonesia menikmati surplus perdagangan yang cukup signifikan dengan Amerika Serikat. Di periode yang sama, nilai impor Amerika Serikat ke Indonesia hanya sekitar $4,7 miliar, jauh di bawah impor Tiongkok yang mencapai sekitar $19,4 miliar. 

Artinya, apabila Trump benar-benar menerapkan sistem perdagangan yang cenderung tertutup, melalui peningkatan pajak impor, misalnya, maka hal tersebut bisa jadi berpengaruh terhadap barang-barang yang diekspor oleh Indonesia. 

Presiden terpilih AS periode 2016-2020, Donald Trump. Foto oleh Richard Ellis/EPA

Di saat kampanye Trump juga sering mengkritik kualitas infrastruktur di Amerika Serikat, seperti jembatan-jembatan tua yang sudah mulai rusak. Menurutnya, kenyataan tersebut sangat memalukan bagi Amerika Serikat yang selama ini dianggap sebagai patokan dunia. 

Namun di saat yang bersamaan, Trump justru berniat untuk menurunkan pajak korporat, dari sekarang 35 persen ke level 15 persen. Pajak korporat yang terlalu besar, menurut Trump, menjadi penyebab perusahaan-perusahaan besar Amerika Serikat, seperti Apple dan Google, menempatkan keuntungannya di luar negeri. 

Apabila Trump akan tetap menjalankan keinginannya tersebut, banyak analisa memperkirakan akan terjadi pembengkakan utang negara Amerika Serikat yang sangat signifikan, walau dengan masuknya lebih banyak dana korporat diharapkan mampu menggerakan ekonomi domestik dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan. 

Namun efeknya, akan banyak dana yang ditarik dari negara-negara berkembang, seperti di Indonesia, karena perusahaan-perusahan besar dunia menganggap lebih untung apabila uang mereka ditanamkan di Amerika Serikat. 

Di sisi lain, komentar Trump terhadap peran bank sentral Amerika Serikat, atau The Fed, sangat membingungkan para pelaku pasar dan pengamat ekonomi. Di satu kesempatan, ia mengatakan bahwa ia mendukung suku bunga rendah, namun di kesempatan lain ia justru tertangkap media mengatakan bahwa keputusan The Fed untuk tidak menaikkan suku bunga karena adanya kepentingan politik. 

Karena pengaruh besar Amerika Serikat terhadap perekonomian dunia, setiap keputusan yang dilakukan The Fed sangat dinanti oleh negara-negara di seluruh dunia, termasuk tentunya Indonesia. Peningkatan suku bunga oleh The Fed akan memicu keluarnya dana asing dari pasar modal Indonesia dan memberi tekanan terhadap rupiah. 

Selain kebijakan ekonomi, arah kebijakan politik Trump tentu menarik untuk diamati, terutama yang berkaitan dengan peran Amerika Serikat yang selama ini secara tidak tertulis menjadi polisi dunia. 

Di banyak kesempatan Trump mengkritik negaranya karena menghambur-hamburkan uang untuk menyelamatkan negara-negara lain, sementara ekonomi di dalam negeri mengalami perlambatan. Ia mengecam perang Irak, misalnya, yang menurutnya tidak perlu dan gagal, yang justru menciptakan musuh baru yaitu gerakan terorisme Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). 

Apabila ia menjadi presiden, Trump mengancam akan menarik para prajurit Amerika Serikat yang selama bertahun-tahun ditempatkan di berbagai negara, seperti di Jepang. Menurutnya hal tersebut tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi Amerika Serikat. 

Sebagai negara yang selalu mendukung perdamaian dunia, Indonesia jarang terlibat langsung di dalam berbagai konflik dunia. Namun apabila kemudian Trump memutuskan untuk secara signifikan mengurangi perannya sebagai penjaga dunia, maka dampak langsung yang mungkin akan terasa adalah hilangnya peran penyeimbang kekuatan Amerika Serikat di konflik Laut China Selatan

Selama ini Indonesia cenderung memainkan peran pasif dalam menyikapi konflik teritori yang melibatkan persaingan antara Tiongkok dengan beberapa negara ASEAN, yaitu Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Ketika suana memanas, biasanya Amerika Serikat turun tangan dengan melakukan unjuk kekuatan untuk mengurangi konfrontasi dari pemerintah Tiongkok. 

Apabila hal tersebut terjadi, tidak ada jalan lain bagi Indonesia selain memainkan peran yang jauh lebih aktif sebagai negara terbesar di dalam kawasan ASEAN di dalam perselisihan tersebut untuk membantu menciptakan solusi damai sembari memastikan bahwa tidak ada teritori Indonesia yang kemudian menjadi korban. —Rappler.com

Tasa Nugraza Barley adalah seorang konsultan komunikasi yang pernah menjadi jurnalis selama dua tahun di sebuah koran berbahasa Inggris di Jakarta. Ia suka membaca buku dan berpetualang, dan ia sangat menikmati cita rasa kopi tubruk yang bersahaja. Follow Twitternya di @barleybanget

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!