Apakah Aksi Bela Islam 212 masih perlu digelar?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Apakah Aksi Bela Islam 212 masih perlu digelar?

ANTARA FOTO

Adu mobilisasi massa terkait kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur Ahok mestinya dihentikan

Sesudah menyaksikan Aksi Bela Islam jilid pertama pada 14 Oktober, dilanjutkan dengan Aksi Bela Islam jilid II yang berskala lebih besar pada 4 November, kemudian direspon dengan Parade Bhinneka Tunggal Ika pada 19 November, saya bertanya, apakah masih perlu menggelar Aksi Bela Islam jilid 3 pada 2 Desember mendatang?

Pertama, tuntutan mereka yang mendukung Aksi Bela Islam agar kasus dugaan penistaan agama yang menimpa Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama diproses hukum secara cepat, sudah dipenuhi. Malam hari setelah aksi 4 November, Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminta polisi menyelidiki kasus secara cepat dan transparan.  

Proses penyelidikan secara terbuka tapi terbatas melibatkan sejumlah saksi dari pelapor dan terlapor serta pengamat, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Meskipun pihak penyelidik tidak satu pendapat, akhirnya Ahok dinyatakan sebagai tersangka.  

Ahok tidak ditahan, tetapi dilarang bepergian ke luar negeri. Saya setuju dengan alasan polisi tidak menahan Ahok karena tidak memiliki cukup alasan untuk itu. Tapi ini juga menjadi bahan instrospeksi bagi polisi yang begitu cepat menahan orang dalam kasus-kasus lainnya.  

Jika ada yang ingin menggunakan isu Ahok untuk menggulingkan pemerintahan yang sah sebelum Pilpres 2019, saya yakin upaya itu tidak didukung rakyat.

Setiap perlakuan berbeda akan meneguhkan persepsi: pisau hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kasus yang menimpa seorang warga Makassar bernama Yusniar yang dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah salah satunya.

Kedua, sikap politik Presiden Jokowi setelah demo 4 November sudah menunjukkan sebuah “pengakuan” bawa eskalasi politik yang meningkat setelah demo 4 November tak luput dari lambatnya Jokowi merespon potensi memanasnya suhu politik setelah ucapan Ahok yang menggunakan surah Al-Maidah ayat 51 menjadi viral di media sosial.  

Jokowi baru mulai kunjungan-kunjungan meredam memanasnya suhu politik dengan menemui Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pada 1 November. Di situ Prabowo menunjukkan komitmennya untuk mendukung Jokowi sampai 2019. Komitmen ini diulangi saat Prabowo menemui Jokowi di Istana Negara pada 17 November. Saat itu dibicarakan rencana demo 25 November dan Pilkada DKI Jakarta pasca status Ahok sebagai tersangka.

Selain bertemu Prabowo, Jokowi juga bertemu dengan pimpinan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di Tanah Air. Jokowi juga mengundang ulama Jawa Barat dan Banten ke Istana. Better late, than never

Selain bertemu pimpinan partai politik dan ulama, Jokowi juga rajin mengunjungi markas pasukan polisi dan TNI.

Kesimpulannya, Jokowi ingin menunjukkan bahwa negara dalam keadaan lumayan aman. Penundaaan kunjungan ke Australia adalah sikap populis yang harus diambil untuk mengirim pesan ke publik, bahwa Presiden mendahulukan stabilitas nasional.  

Saya percaya Jokowi kini mencermati serius situasi termasuk tuntutan mereka yang mendukung Aksi Bela Islam. Di sisi lain, sebagai Kepala Negara, Jokowi juga harus menjalankan amanat konstitusi termasuk menjunjung tinggi prinsip Bhinneka Tunggal Ika, yang menjamin semua warga mendapatkan kesempatan hidup secara setara, meskipun berbeda suku, agama, kepercayaan, tetap dalam bingkai persatuan Indonesia.

BHINNEKA TUNNGAL IKA. Panggung yang disiapkan oleh panitia untuk penyelenggaraan parade Bhinneka Tunggal Ika pada Sabtu, 19 November. Foto oleh Sakinah Ummu Haniy/Rappler

Ketiga, mobilisasi massa oleh satu pihak hanya memancing upaya balasan dari pihak lain. Meskipun dibantah oleh penyelenggara, publik menganggap Aksi Parade Bhinneka Tunggal Ika pada 19 November adalah upaya merespon Aksi Bela Islam yang menuntut Ahok dihukum atas kasus dugaan penistaan agama.  

Pentolannya pun dikenal sebagai pendukung Ahok. Apapun kemasannya, mobilisasi massa yang dilakukan di Jakarta saat ini sarat dengan kepentingan politik sesaat, dalam hal ini pertarungan merebut kursi gubernur dalam Pilkada 2017.  

Menurut saya, sangat penting bagi semua pihak, termasuk para pendukung pasangan calon, untuk tidak mendukung (lagi) pengerahan massa seperti yang sudah lalu. Selain rawan disusupi, lama-lama masyarakat lelah dan menjadi antipati, enggan terlibat langsung.  

Jangan biarkan makelar kekuasaan pesta pora di atas penderitaan rakyat banyak. Di era demokrasi, ketidakpuasan terhadap penguasa kita tunjukkan dengan datang ke tempat pemungutan suara, dan memastikan untuk tidak memilihnya.

Menilik apa yang terjadi dalam Pemilu Presiden di Amerika Serikat, semua pihak perlu mengantisipasi kemarahan dalam diam yang dilakukan mayoritas pemilih. “Hukumannya” akan dirasakan saat pemilihan dilakukan. Dalam hal Pilkada DKI Jakarta, pada 15 Februari 2016. Ini adalah pesan ke semua kubu pasangan calon.

Keempat, Aksi Bela Islam jilid 3 yang akan berlangsung pada 2 Desember diklaim sebagai upaya salat Jumat bersama. Ketua Front Pembela Islam (FPI) yang juga Pembina Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI (GNPF MUI), Rizieq Shihab, mengatakan aksi demo akan digelar di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman hingga Jalan MH Thamrin, dari Semanggi sampai Istana. 

“Kita akan melaksanakan salat Jumat di sepanjang Sudirman-Thamrin,” katanya.

Negara ini menjamin warganya melaksanakan ibadah. Masjid dengan kapasitas besar di ibukota Jakarta begitu banyak, termasuk Masjid Istiqlal. Saya menyarankan, jika ingin menunjukkan kebesaran Islam, ada baiknya salat dilakukan di masjid, termasuk di halamannya, atau tanah lapang yang luas, dan bukannya di jalan raya yang sangat padat dan penting untuk memfasilitasi kegiatan warga ibu kota lainnya, sebagaimana Jalan Sudirman- Jalan MH Thamrin, apalagi dari Semanggi sampai Istana.

Saya bukan ahli agama Islam, agama yang saya anut. Karena itu saya mengutip ucapan anggota Komisi Fatwa MUI Dr KH M Hamdan Rasyid di sini, yang menilai rencana aksi demonstrasi besar-besaran pada 2 Desember mendatang akan menimbulkan sikap antipati orang lain, karena hal itu melanggar hak pengguna jalan.  

“Energi umat Islam jangan dihabiskan untuk demonstrasi masalah Ahok saja,” kata Hamdan Rasyid yang juga menjadi saksi ahli dari MUI dalam penyelidikan kasus Ahok di Bareskrim Polri.

Jika sekadar ingin menunjukkan kemampuan mengorganisir demo skala besar, pihak pro Aksi Bela Islam sudah sukses melakukannya pada 4 November.

Pamflet yang dibagikan saat Parade Bhinneka Tunggal Ika pada 19 November 2016, sebagai aksi melawan dugaan makar. Foto oleh Uni Lubis/Rappler

Jika ada yang ingin menggunakan isu Ahok untuk menggulingkan pemerintahan yang sah sebelum Pilpres 2019, saya yakin upaya itu tidak didukung rakyat. Mayoritas kita masih luar biasa lelah dengan Reformasi 1998 yang memakan korban jiwa, bahkan kasus hukumnya tak pernah tuntas sampai sekarang. Dilupakan semua penguasa sesudah itu. Penguasa yang naik ke tampuk kekuasaan karena demonstrasi ratusan ribu warga termasuk mahasiswa dan pelajar.

Mayoritas warga juga masih lelah dengan gontok-gontokan pasca Pilpres 2014. Manakala kedua calon yang berlaga sudah duduk menyesap teh atau pose bersama menunggang kuda mahal, pendukungnya berkelahi di media sosial, berlomba untuk “How low can you go?”.

Pemerintahan Jokowi harus dikritik dan dikoreksi, kalau perlu dengan keras, sebagaimana kita melakukannya kepada pemerintahan sebelumnya, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tetapi menjatuhkannya di tengah jalan bukan pilihan.  

Jangan biarkan makelar kekuasaan pesta pora di atas penderitaan rakyat banyak. Di era demokrasi, ketidakpuasan terhadap penguasa kita tunjukkan dengan datang ke tempat pemungutan suara, dan memastikan untuk tidak memilihnya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!