Perceraian yang mendekatkan saya dengan ibu

Nadia Vetta Hamid

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Perceraian yang mendekatkan saya dengan ibu
“Kadang saya suka berpikir, seandainya dulu ibu saya enggak memutuskan untuk bercerai, mungkin hubungan saya dengan beliau enggak sedekat ini.”

Growing up, my mother and I were not the best of friends.

Sewaktu kecil, saya mengira ibu saya benci banget sama saya. Saya yang paling bodoh dalam urusan hitung-hitungan selalu dimarahi ketika beliau membantu saya mengerjakan PR matematika. Kecerobohan saya (menumpahkan minuman dan meninggalkan barang di sekolah, contohnya) selalu membuat saya disetrap. Kayaknya semua hal yang saya lakukan itu salah.

A photo posted by NV Hamid (@nadiavetta) on


Fast forward ke saat saya berusia 11 tahun. Sepulangnya dari pesantren kilat Ramadan saat SMP, saya mendapati kedua orangtua saya telah berpisah rumah.

Semuanya terasa terlalu surreal untuk saya. Belum siap rasanya mendapat penilaian negatif dari orang-orang sekitar, apalagi yang dulu saya tahu anak dari keluarga yang bercerai biasanya menjadi… apa yang mereka bilang sebagai “anak nakal”. 

Belum lagi dengan predikat janda yang harus disandang oleh ibu saya selama beberapa tahun. Saya serius bertanya, apa yang salah, ya, dengan janda? Haruskah ibu saya bertahan dalam hubungan yang tidak bahagia, lalu saya dan adik tidak merasakan kehangatan rumah?

Di masa-masa remaja yang sok rebel (namun ternyata lebih suka ngadem di perpustakaan), saya dan adik dibesarkan oleh ibu seorang diri. “Sekarang hanya kita bertiga,” kata beliau saat itu. “Kalau ada apa-apa, cerita. Jangan dipendam sendiri.” 

Kamipun bukan keluarga yang berlimpah uang. But heck, we survived, selama ini ibu memberikan kehidupan yang sangat nyaman bagi kami. Kalau diingat-ingat, saya merasa bersalah telah meminta segala produk brand surfing yang ngetren di era 2005-2007 maupun sepatu flats Crocs—hanya karena sebagian besar teman sekolah mengenakan tren yang menyakitkan mata itu.

Semasa saya bersekolah, ibu saya bekerja di bidang periklanan sehingga jadwal kerjanya suka tidak menentu. Komunikasi kami hanya terbatas SMS atau Blackberry Messenger (BBM). Pertanyaan “How was your day?” jarang kami tanyakan ke satu sama lain karena komunikasi intens di antara kami sepanjang hari.

Jujur, di masa itu saya seringkali bete kalau ditanya-tanya terus, atau disuruh cepat pulang dari sekolah atau mall. “Kan, aku udah gede,” kira-kira begitulah alasan yang saya pakai untuk ngeles. Namanya juga ABG sok tahu yang inginnya lepas dari orangtua, padahal duit dan nyali saja enggak ada.

Rasanya saya ingin kembali ke masa SMA dan menjitak kepala sendiri sambil berkata, “Bacot lu!” 

Anyway, kebiasaan menceritakan segala hal berlanjut berlanjut hingga kini. Kami menceritakan segalanya—ngemper di kosan teman, menunggu bus TransJakarta yang tak kunjung datang, hingga kelakuan kucing kesayangan kami, Cimi, yang lebih suka tidur di atas pakaian yang baru saja dicuci ketimbang kasurnya sendiri.

A photo posted by NV Hamid (@nadiavetta) on


Saya juga bersyukur bisa berbincang dengan beliau tentang apa saja, dari video kucing hingga hal-hal yang dinilai masyarakat sebagai tabu. Kami percaya yang dibutuhkan adalah diskusi dengan pikiran terbuka, bukannya menutupi hal yang memang ada di depan mata.

Beliau adalah orang yang paling yakin kalau saya bisa melakukan apapun, selagi mengambil kesempatan yang tersedia. Bahkan ketika kini saya bekerja di Rappler, sedikit banyak merupakan pengaruh dari ibu saya.

“Enggak ada salahnya ambil pengalaman kerja yang sedikit enggak nyambung sama cita-cita, siapa tahu memang harus mulai dari situ jalannya,” ujarnya saat itu.

Semakin saya dewasa, saya semakin menyadari kalau perkataan ibu saya benar adanya. Ternyata beliau selama ini percaya kalau kesukaan saya dengan sepak bola somehow akan membawa saya kecemplung di olahraga ini. Maka, ibu saya enggak heran kalau saya akhirnya meliput Piala AFF 2016, mulai dari semifinal hingga babak final di Stadion Pakansari dan juga Stadion Rajamangala, Bangkok, Thailand.

Kalau boleh berkata jujur, pekerjaan di media membutuhkan mental yang kuat. Setiap harinya, saya dan rekan social media producer Rappler Indonesia, Karina Maharani, membaca respon netizen mulai dari yang menyenangkan, aneh-aneh, hingga yang resek.

Bahkan saya sempat mutung ketika menulis opini tentang Awkarin karena mendapat beragam respon negatif. Namun ibu saya saat itu (kasarnya) mengatakan, “To hell with all of them! Ngapain berhenti menulis hanya karena dikritik?”

Kehadirannya saja membuat saya lebih kuat menghadapi peliputan yang “berat” seperti eksekusi mati terhadap empat terpidana kasus narkotika di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah, pada 29 Juli lalu. Eksekusi terjadi pada Jumat dini hari, dan untungnya beliau memutuskan untuk kerja dari rumah sehari sebelumnya. 

Enggak kebayang rasanya harus standby di depan laptop seharian, sendirian, menghadapi kenyataan kalau ada 14 orang yang menunggu ajal. 

Kadang saya suka berpikir, seandainya dulu ibu saya enggak memutuskan untuk bercerai, mungkin hubungan saya dengan beliau enggak sedekat ini. Saya dan adik bisa jadi tidak berada di posisi kami sekarang. Saat ini, beliau sudah tak lagi lajang, dan saya bahagia melihatnya berada dalam hubungan yang, kalau boleh diberi gelar, sebagai #RelationshipGoals.

Lengkap atau tidaknya, maupun jumlah anggota bukanlah indikator kebahagiaan keluarga. Hubungan keluarga pun juga tak harus memiliki hubungan darah. Saya harap di Hari Ibu ini, kamu memiliki sosok “ibu” tempatmu kembali.

PS: Tulisan ini didedikasikan untuk Dwita Yulisanti Soewarno. Saya enggak mungkin bisa nulis tulisan ini tanpa beliau. Terima kasih juga enggak minta saya untuk cepat-cepat nikah. I love you, Ma! —Rappler.com

Nadia Vetta Hamid adalah social media producer untuk Rappler Indonesia. Penggemar berat cappuccino dan terkadang suka begadang untuk nonton FC Bayern München ditemani kucingnya. Nadia bisa disapa di @nadiavetta.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!