Philippine economy

Terbukti, penguasa dapat memproduksi hoax

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Terbukti, penguasa dapat memproduksi hoax
Presiden Trump menyerang pemberitaan media tentang berapa banyak yang hadir dalam pelantikannya

  

JAKARTA, Indonesia –  Alternative Facts.  Fakta-fakta alternatif. Istilah baru ini diperkenalkan oleh Kellyanne Conway, penasihat senior Presiden AS  Donald. J. Trump, dua hari setelah Trump dilantik sebagai presiden AS ke-45. Conway mengatakan hal itu dalam wawancaranya dengan Chuck Todd, pembaca acara program “Meet the Press” di stasiun televisi NBC, Minggu (22/1). 

Todd menanyai Conway soal pernyataan Sean Spicer, juru bicara Gedung Putih,  mengkritik pemberitaan media massa yang menyampaikan bahwa jumlah yang hadir dalam acara pelantikan Presiden Trump lebih sedikit dibandingkan dengan Pelantikan Presiden Barack Obama pada tahun 2009.

Dalam jumpa pers pertama sebagai sekretaris pers dan jubir Presiden Trump, Spicer mengkritik keras pemberitaan media arus utama, yang antara lain membandingkan foto aerial National Mall saat pelantikan Presiden Obama tahun 2009 yang penuh sesak oleh manusia, dengan banyaknya ruang kosong di area yang sama saat pelantikan Presiden Trump pada 20 Januari 2017. 

Foto pelantikan Obama dilansir dari Getty Images, sementara foto pelantikan Trump diambil dari peliputan televisi.  Menurut klaim Spicer yang hadir dalam pelantikan Presiden Trump adalah, ”Jumlah terbanyak yang pernah menyaksikan pelantikan presiden. Titik. Baik yang hadir secara langsung maupun yang menyaksikan di seluruh dunia. ”  

Kepada jurnalis CNN, Athena Jones, Conway mengakui bahwa Presiden Trump memerintahkan Spicer untuk membantah pemberitaan media terkait berapa banyak yang hadir saat pelantikannya. Saat bertemu dengan komunitas intelijen di CIA, pada hari Sabtu (22/1), Presiden Trump mengatakan bahwa, “Sejujurnya, nampak bahwa sekitar satu setengah juta orang, apapun itu, nampak menyebar sampai ke Monumen Washington.” Trump kesal terhadap pemberitaan televisi yang menyebutkan bahwa yang hadir dalam pelantikannya sekitar 250 ribu orang saja.  

Koran New York Times meminta seorang ahli untuk mengkalkulasi, hasilnya yang hadir dalam pelantikan Trump hanya sepertiga dari hadirin saat pelantikan Obama.  Data tentang jumlah penonton televisi versi Nielsen juga membantah klaim jubir Spicer.  Sebanyak 30,6 juta orang menonton siaran televisi pelantikan Presiden Trump, lebih sedikit dibandingkan dengan 38 juta penonton saat pelantikan Presiden Obama tahun 2009. Pelantikan Presiden Ronald Reagan pada tahun 1981 ditonton oleh 42 juta penonton televisi.  Di era Reagan orang belum mengkonsumsi informasi termasuk siaran televisi melalui internet.

Data pembanding lain adalah penggunaan tiket Metro, transportasi publik di area Washington, D.C.  Spicer mengutip data WMATA, pengelola Metro. “Kita tahu bahwa ada 420 ribu orang menggunakan transportasi publik D.C Metro, kemarin, bandingkan dengan 317 ribu saat pelantikan Presiden Obama tahun 2013,” kata Spicer.  Data itu berbeda dengan yang diperoleh Koran Washington Post dari pejabat WMATA, yang menyebutkan bahwa sebanyak 570.557 orang menggunakan D.C Metro antara pukul 4 pagi sampai Jumat tengah malam. Jumlah itu jauh dibawah pengguna saat pelantikan Presiden Obama tahun 2009 dan 2013, 1,1 juta perjalanan dan 782 ribu perjalanan.

Conway, yang menjadi manajer kampanye Trump saat pilpres mengatakan kepada Todd, “Anda (media) menyampaikan kebohongan, dan mereka – Sean Spicer, sekretaris pers kami – memberikan fakta-fakta alternatif.” Todd membalas dengan mengatakan, “Fakta-fakta alternatif bukanlah fakta-fakta. Itu kebohongan.”

Jaringan televisi CNN memilih tidak menyiarkan secara langsung jumpa pers pertama jubir Gedung Putih itu. Mereka memilih memberitakan sesudah acara. Apakah, redaksi CNN tidak menyiarkan langsung karena enggan menyiarkan berita bohong yang disampaikan Gedung Putih? Spicer segera meninggalkan ruangan jumpa pers tanpa menerima pertanyaan dari wartawan yang hadir.

Saat berbicara di markas besar CIA, Presiden Trump juga mengatakan bahwa media membangun kontruksi opini publik bahwa ada konflik antara dia dengan komunitas intelijen. Trump mengaku opini media berlawanan dengan kenyataan. Padahal, Trump berulangkali mengkritisi  intelijen dan mempertanyakan konklusi bahwa Rusia terlibat mendukung pencalonannya sebagai presiden. Pada tanggal 11 Januari 2017 Trump berkicau lewat akun Twitternya, @realDonaldTrump: 

Hoax dan Kebohongan Oleh Penguasa

Apa yang kita lihat dalam hari pertama Presiden Trump berkuasa, adalah contoh paling baru tentang hasrat penguasa memproduksi kebohongan alias informasi hoax.  Melalui Kellyanne Conway, pemerintahan Presiden Trump berkilah bahwa yang mereka lakukan adalah menyodorkan fakta-fakta alternatif atas pemberitaan media massa yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan penguasa.  

Karena baru berkuasa sehari, fakta alternatif yang disodorkan Trump dan anak buahnya mudah dibantah. Apalagi mayoritas media arus utama secara jelas menunjukkan posisi editorial berseberangan dengan Trump.

Makin lama duduk di Ruang Oval, bukan tidak mungkin Trump menggunakan kekuasaan untuk memproduksi  fakta alternatif yang lebih canggih untuk mempengaruhi opini publik.  Di era digital, ketika makin banyak orang akses informasi melalui akun media sosial, tak sulit mengemas fakta dalam bentuk teks, visual gambar maupun video, menjadi informasi yang seolah benar, dari sumber resmi, padahal sudah dipoles sesuai keinginan yang menerbitkan informasi. Trump memiliki pasukan siber yang lumayan militan. Kita bisa lihat dari komentar mereka di internet.

Di sini bahayanya. Studi yang dilakukan Universitas Stanford pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kalangan terdidik pun mudah ditipu oleh berita bohong (fake news). Sebanyak 80 persen murid sekolah menengah atas yang menjadi responden survei di AS itu ternyata tak bisa membedakan mana berita bohong dan mana yang benar. Akses ke data dan informasi dari sumber resmi di kalangan pemerintah membuka potensi produksi berita bohong. Menurut versi pemerintahan Trump, fakta-fakta alternatif. Padahal, bagi wartawan, fakta sekalipun belumlah dapat dianggap sebagai sebuah kebenaran. Di situ pentingnya proses verifikasi fakta-fakta.

Mereka yang membaca buku Sembilan Elemen Jurnalisme, Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan yang diharapkan Publik, pasti tahu bagaimana pentingnya mengecek fakta yang disampaikan siapapun, termasuk penguasa, dalam mencari kebenaran jurnalistik. Dalam Bab 2 buku yang ditulis oleh duet Bill Kovach dan Tom Rosenstiel ini ada sebuah contoh menarik tentang proses mencari kebenaran.

Kovach dan Rosenstiel memaparkan kisah beberapa hari sesudah  Presiden John F. Kennedy terbunuh, Presiden Lyndon Johnson yang menggantikannya menugasi Menteri Pertahanan Robert McNamara untuk menelisik apa yang sebenarnya terjadi di Saigon, Vietnam. Johnson tak percaya atas informasi yang diterimanya selama ini sebagai wakil presiden. McNamara terbang ke Saigon. Selama tiga hari di sana dia berbicara dengan semua jenderal dan melihat ke zona perang.

“Dalam perjalanan pulang, McNamara mengadakan pertemuan pers di bandar udara Tan Son Nhut, dan melaporkan bahwa dia sungguh berbesar hati. Kemajuan layak dicatat. Pasukan Vietnam Selatan memainkan peran yang lebih besar.  Korban jiwa Vietkong makin banyak. Ketika mendarat di pangkalan udara Andrew keesokan harinya McNamara mengadakan pertemuan pers lagi dan mengatakan hal yang kurang lebih sama. Lalu, dia naik helikopter menuju pelataran Gedung Putih dan melapor kepada Johnson secara pribadi, dan dunia tak mendengar lebih lanjut tentang kunjungan McNamara atau laporannya kepada Presiden Johnson,” tulis Kovach dan Rosenstiel.

Dalam paragraf lanjutan di buku itu, disebutkan bahwa delapan tahun kemudian AS geger.  Koran New York Times dan Washington Post menurunkan laporan berdasarkan dokumen rahasia pemerintah tentang apa yang sesungguhnya diketahui dan dipikirkan oleh para pemimpin AS tentang Perang Vietnam.  Kita mengenalnya dengan skandal Pentagon Papers

Dokumen rahasia yang berhasil diperoleh wartawan menunjukkan bahwa keadaan di Vietnam jauh berbeda dengan informasi yang disampaikan McNamara. “Vietnam saat itu tak ubahnya neraka.  Penambahan kekuatan pasukan Vietkong melebihi jumlah korban jiwanya. Pasukan Amerika dibutuhkan lebih banyak, bukan sebaliknya. Singkatnya, Pentagon Papers adalah kebalikan sepenuhnya dari semua yang dikatakan McNamara dalam dua pertemuan pers itu,” tulis Kovach dan Rosenstiel dalam buku yang diterbitkan tahun 2001 itu.

Sebuah artikel yang diterbitkan New York Times pada 1996 menyebutkan bahwa, Pentagon Papers menunjukkan bahwa administrasi Presiden Johnson secara sistematis berbohong tidak hanya kepada publik tetapi juga kepada kongres.

Kovach dan Rosenstiel menggunakan Pentagon Papers untuk menunjukkan beda antara fakta dan kebenaran dalam  jurnalistik. Wartawan melaporkan fakta, ketika meliput dua jumpa pers Menhan McNamara.  Fakta versi pemerintah. Fakta versi penguasa.  Delapan tahun kemudian, wartawan di dua surat kabar terkemuka di AS menemukan kebenaran melalui verifikasi atas dokumen rahasia yang mereka dapatkan dari Daniel Ellsberg, seorang analis pertahanan yang kemudian jadi aktivis anti perang. Delapan tahun pemerintah AS berbohong tentang apa yang terjadi di Vietnam, dan bagaimana tentara AS terdesak dan banyak jatuh korban.

Skandal Pentagon Papers menjadi salah satu karya klasik jurnalisme investigasi.  Setiap hari media dan wartawannya dicekoki dengan berbagai informasi dari pihak yang berkepentingan untuk membentuk opini publik. Berebut ruang pemberitaan.  Semua pihak bisa menyodorkan informasi palsu atau bohong, termasuk pemerintah.  

Jadi, tidak ada yang baru dengan demam berita bohong alias fake news yang belakangan ini menjadi kepedulian banyak pihak. Ini dipicu hasil pilpres di AS yang menunjukkan kepiawaian pendukung Trump memompa informasi ke publik melalui media sosial dan ratusan situs “seolah-olah berita”. Sebenarnya tim Hillary Clinton melakukan hal yang sama, memasok informasi yang dianggap menguntungkan, termasuk memastikan media arus utama tidak menggeber bocoran informasi yang menyudutkannya, antara lain terkait skandal email.

Kritikus media menyoroti bagaimana mayoritas pemberitaan media bias mendukung calon dari Partai Demokrat selama ini. Sebagian mengecam posisi editorial Fox News yang super konservatif dan mendukung Partai Republik. Kedua pihak partisan.

Edward Herman dan Noam Chomsky tiga dekade lalu sudah membahas propaganda politik yang dilakukan pemerintah untuk memanipulasi opini publik. Fake news sebelum era media digital dilakukan lewat kerjasama pemerintah dengan media arus utama. Herman dan Chomsky mendokumentasikan elemen propaganda dalam pemberitaan di media dalam Manufacturing Consent. Media ikut serta dalam propaganda politik karena kepentingan politik dan bisnis pemilik, pula bias pemberitaan kepada kalangan elit.

Di era digital, terutama di negeri yang menerapkan demokrasi, pemerintah tidak lagi sepenuhnya mengontrol arus informasi. Berita palsu bukan lagi monopoli media arus utama (termasuk media berbasis internet yang beroperasi sebagai perusahaan media). Kovach dan Rosenstiel menulis buku berjudul BLUR, Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi, yang diterbitkan pada tahun 2010.

Tahun 2012, saat saya menjadi anggota Dewan Pers, kami menerjemahkan BLUR ke bahasa Indonesia bersama Yayasan Pantau. Buku BLUR dan diskusi saya dengan Tom Rosenstiel di kantornya di Pew Research, Washington D.C, pada Mei 2011 memberikan informasi awal bagi saya bahwa fenomena yang saat ini terjadi, ramai-ramai bicara hoax dan fake news, tak terhindarkan.

BLUR memaparkan ada empat model dalam ekosistem berita yang saat ini kita temui.  Pertama, jurnalisme verifikasi, model tradisional yang menempatkan nilai tertingi pada akurasi dan konteks.  Kedua, jurnalisme pernyataan, model lebih baru yang meletakkan nilai tertinggi pada kecepatan dan volume, dan karenanya cenderung menjadi kanal informasi pasif.  Ketiga, jurnalisme pengukuhan (afirmasi), sebuah media politik baru yang membangun loyalitas bukan kepada akurasi, kelengkapan atau verifikasi, melainkan mengafirmasi apa yang diyakini audiens, sehingga cenderung meenjadi informasi penjemput bola demi tujuan itu.  Keempat, jurnalisme kaum kepentingan, yang mencakup situs web atau karya, seringkali investigasi, yang biasanya didanai pihak khusus yang berkepentingan dan bukan oleh institusi media dan dikemas menyerupai media.

Kovach dan Rosenstiel mengingatkan bahwa format media baru seperti pengepul berita (aggregation), blogging, jejaring sosial seperti Twitter, Facebook dan format komunikasi terbatas yang saat ini berkembang (menurut saya misalnya Whatsapp, Telegram, LINE, dan sebagainya), adalah bentuk komunikasi. Bukan model konten.  “Karena bentuk dan kegiatan ini menyebarkan informasi instan lewat internet, mereka mungkin masuk di empat model konten di atas,” demikian ditulis dalam BLUR.

Berbagai situs yang belakangan muncul dan memuat informasi terkait proses politik menurut saya bisa dikategorikan dalam model berita jurnalisme pengukuhan dan jurnalisme kepentingan. Jurnalisme pengukuhan juga banyak dilakukan oleh media yang masuk dalam kategori arus utama.  Pendek kata, BLUR mengingatkan betapa sulitnya membedakan mana yang layak disebut sebagai berita, mana yang bukan.  Siapa produsennya kini tidak cukup menjadi pembeda.  

Jurnalisme afirmasi bisa dilakukan misalnya dengan mengemas judul. Berita yang dilansir kantor berita Antara dengan judul, “Bloomberg : Jokowi Pemimpin Terbaik Asia-Australia 2016“, bisa menjadi contoh. Judul adalah upaya pengukuhan. Artikel aslinya berjudul, Who’s Had The Worst Year, How Asian Leaders Fared in 2016.  Judul yang dipilih kantor berita milik pemerintah itu menimbulkan debat di kalangan netizen, karena artikel asli tidak menyebutkan istilah “Pemimpin Terbaik”. Artikel di laman Antara itu banyak dipublikasikan oleh media siber, baik yang masuk kategori media siber arus utama maupun media siber afirmasi.

Contoh lain adalah berita yang dirilis media baru Kumparan.com pekan lalu, berjudul: Layanan Qlue Dimatikan Plt Gubernur DKI. Berita ini sempat membuat jagat netizen di Twitter Indonesia gonjang-ganjing. Para pendukung calon Gubernur Basuki “Ahok” Tjahaya Purnama segera membagi berita ini, dengan nuansa kritik kepada pelaksana tugas gubernur DKI Jakarta. 

Penggiat masalah urban, Elisa Sutanudjaja lewat akun @Elisa_Jkt melakukan klarifikasi terkait keputusan gubernur yang dijadikan referensi artikel. Qlue sebagai mitra swasta membantah berita itu. Kumparan menerbitkan perbaikan artikel di sini.  Yang dihentikan hanya laporan dari RT/RW.  

Berita pertama Kumparan menjadi sensitif karena dicaplok sebagian netizen yang pro Ahok sebagai bahan untuk mengecam Plt Gubernur. 

Untung saja pemerintah di Indonesia tidak terlibat dalam debat tentang berapa jumlah aksi-aksi massa yang dikemas dengan Aksi Bela Islam. Yang berdebat adalah kalangan pendukung pasangan calon di pilkada Jakarta. Mereka berebut menyodorkan fakta-fakta alternatif.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan pemerintah bekerja serius menangani merebaknya kabar bohong alias hoax di media sosial, antara lain dengan membentuk Badan Siber Nasional.

Pernyataan Jokowi  itu menjawab pertanyaan media soal keluhan yang disampaikan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono melalui akun Twitternya pada tanggal 19 Januari lalu. Dalam cuitan yang ditulisnya sendiri, SBY mengaku resah karena oknum yang diduga kerap menyebarluaskan informasi hoax justru berkuasa.

Sayangnya, SBY sekedar curhat di akun Twitternya.  Dia tidak menyebutkan siapa oknumnya, dan mana informasi hoax dimaksud?

Pada era pemerintahan SBY ada dua peristiwa yang bisa dikategorikan punya unsur hoax. Yang pertama adalah ketika ada yang mengaku bisa mengubah air menjadi bensin. Skandal ini dikenal dengan sebutan Blue Energy. Kasus lain adalah klaim temuan padi varietas Supertoy HL2 yang disebut bisa menaikkan produktivitas panen 3-4 ton per hektar. Ini pun tidak terbukti berhasil.

Bagaimana kita menilai validitas informasi dari pemerintah, bisa dilihat dari satu contoh kisruh soal data pangan.  Hal ini sempat membuat Wakil Presiden Jusuf Kalla berang. Menurut Wapres JK, masalah pangan rentan memicu masalah politik. Oleh karena itu, ia meminta agar tidak ada pihak yang mencoba memainkan data tentang pangan.

“Kekurangan pangan bisa membuat tumbang suatu keadaan, di mana pun di dunia ini. Oleh karena itu, masalah pangan penting saya sampaikan,” kata Jusuf Kalla saat menghadiri peringatan Hari Pangan Sedunia Ke-35 di Desa Palu, Kecamatan Pemultan, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu (17/10/2015). Pihak Badan Pusat Statistik (BPS) mengakui ada kemungkinan beda data karena selain BPS, Kementerian Pertanian mjuga melakukan survei. Tolok ukurnya beda, dan karena itu hasilnya berbeda.  

Menanggapi kritik Wapres, BPS menyampaikan, pihaknya terus melakukan koreksi penghitungan data pangan dan mencari metodologi terbaik, sehingga menghasilkan akurasi data yang lebih optimal. Melihat hal ini tentu publik bingung, pihak mana yang bisa dipercayai soal data pangan? Kedua instansi bagian dari pemerintah. Masing-masing  menyodorkan fakta-fakta alternatif untuk menjelaskan mengapa pasokan pangan bermasalah dan menyebabkan harga naik? Publik merasakan dampak dari data pangan yang tidak akurat. 

Kasus lain, kontroversi atas pengangkatan Archandra Tahar sebagai Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral yang  sempat membingungkan publik. Pihak Istana sempat membantah isu bahwa Archandra memiliki kewarganegaraan ganda.  

Kecaman publik dan pemberitaan media membuat Presiden Jokowi memberhentikan Archandra. Sekitar dua bulan kemudian Archandra diangkat kembali menjadi wakil menteri ESDM setelah menjalani proses cepat menjadi warga negara Indonesia.  Di depan Komisi III DPR RI, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengakui bahwa Archandra pernah mengangkat sumpah sebagai warga negara AS.  

Kalau informasi simpang-siur pun bisa datang dari jurusan penguasa, bayangkan betapa sulit publik membedakan mana informasi yang benar ketika produsen adalah siapa saja. Ketika kita setiap saat dilibas oleh tsunami informasi.

Hoax dan Ancaman Demokrasi

Tiga dekade lalu Chomsky menyarankan agar publik mengkonsumsi informasi alternatif di luar media arus utama yang menjadi mitra propaganda politik pemerintah.  Saran lain adalah, turun ke lapangan, termasuk ke komunitas untuk mengetahui situasi sebenarnya. 

Kini, di era digital, mencari sumber informasi di luar media arus utama juga berisiko tersesat. Kovach dan Rosienstiel justru mengingatkan media agar kembali ke fungsi yang utama, antaralain sebagai penjaga gawang atas arus informasi. Menjadi kurator.  Menjalankan apa yang disebut sebagai jurnalisme masa depan.

Bagaimana media di AS bereaksi terhadap keterangan pers pertama jubir Sean Spicer dan Kellyanne Conway, menurut saya menunjukkan upaya sebagai kurator. Menunjukkan kebohongan informasi versi penguasa.  Saya setuju bahwa maraknya hoax, atau apapun namanya, termasuk informasi palsu dan fakta alternatif palsu adalah ancaman bagi demokrasi.  

Masalahnya, demokrasi ditentukan oleh suara terbanyak.  Mereka yang berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan dan merasa terancam dengan kemerdekaan berekspresi baik melalui media maupun media sosial bisa membalikkan arus, cepat maupun lambat. Caranya bermacam-macam. Dari blokir situs sampai ancaman hukum. Ini lebih besar ancamannya bagi demokrasi – Rappler.com

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!