Rindu Soeharto membayangi Pilkada Jakarta

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Rindu Soeharto membayangi Pilkada Jakarta

AFP

Bangkitnya semangat trah Soeharto ke ranah politik tak lepas dari kompetisi dengan trah Sukarno yang juga bersikeras melanggengkan pengaruh kekuasaan

 

JAKARTA, Indonesia – Seperti biasanya, Anies Baswedan pandai mengolah kata.  Saat hadir dalam acara Haul Presiden RI Ke-2 Soeharto dan Peristiwa 11 Maret, calon gubernur DKI Jakarta itu antara lain mengatakan bahwa dengan hadir di acara tersebut dia bisa belajar sejarah masa depan. Menurut Anies Baswedan, Soeharto merupakan sosok pemimpin yang mengutamakan pembangunan. Anies menilai, setiap manusia memang memiliki kekurangan, termasuk Soeharto. “Tapi banyak pelajaran kepemimpinan yang bisa kita ambil dari figur Pak Harto,” kata dia, Di Mesjid At Tin, Sabtu malam (11/3/2017).  Pernyataan itu sebenarnya nuansanya netral.  Tidak merujuk ke “baik” ataupun “buruk”.

Calon wakil gubernur dari kubu lawan Anies, Djarot Saiful Hidayat, juga hadir memenuhi undangan keluarga Soeharto. Tapi kehadiran Djarot tidak semulus Anies. Djarot sempat diteriaki dan diusir sekelompok orang saat akan memasuki masjid. Jika tidak diusir, mungkin foto Djarot duduk bareng satu meja dengan orang penting lain di acara bertajuk “Dzikir dan Shalawat Untuk Negeri” juga beredar. Ambil hikmahnya.

Hadir dalam acara itu Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, putra-putri Soeharto termasuk Siti Hediati “Titiek” Soeharto dan Hutomo “Tommy” Mandala Putra. Hadir juga Pemimpin Front Pembela Islam Rhizieq Syihab.

Selain insiden yang membuat Djarot meninggalkan acara sebelum usai, netizen yang terlibat kontroversi dalam dukung-mendukung calon gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017 menyoroti foto yang beredar viral: Anies Baswedan duduk semeja dengan Rhizieq Syihab dan Tommy Soeharto. Dari sini muncul serbuan kritik, bahwa Anies merapat ke keluarga Cendana (untuk menunjukkan lokasi kediaman pribadi  Soeharto).  

Duduk satu meja dengan Rhizieq Syihab yang tengah menghadapi kasus hukum adalah satu hal. Duduk bareng Tommy Soeharto yang pernah divonis 10 tahun penjara (dikurangi dari vonis 15 tahun penjara setelah proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung) dalam kasus pembunuhan Hakim Agung Syaifuddin Kartasasmita, memunculkan persoalan lain. 

Di tengah persaingan ketat merebut suara dalam putaran kedua Pilkada di ibukota negeri, mudah ditebak jika setiap kandidat berupaya merangkul mendekati, dan memenuhi undangan acara besar, dengan hadirin yang besar pula. Apalagi jika yang hadir umat Islam yang mayoritas jumlahnya dan karena itu selalu jadi rebutan dalam pemilihan politik di Indonesia.  

Kehadiran Anies dan cawagub pasangannya, Sandiaga Uno, juga lumrah karena paslon ini didukung oleh Partai Gerindra. Secara pribadi, Titiek Soeharto yang salah satu pimpinan Partai Golkar juga secara terbuka mendukung Anies-Sandi. Partai Golkar, partai yang berkuasa selama pemerintahan Soeharto, secara resmi mendukung paslon petahana, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot.

Selain menjadikan kehadiran Anies Baswedan dalam Haul Soeharto dan Peringatan Supersemar sebagai sasaran kritik, sebagian pihak menganggap acara besar-besaran di Mesjid At Tin dan kehadiran putra-putri Soeharto yang secara terbuka mendukung Anies di pilkada sebagai pertanda “come back”, kembalinya dinasti Soeharto ke panggung politik.  Benarkah?

Masyarakat Rindu Soeharto?

Beredarnya “meme” gambar Soeharto dengan kalimat, “penak jamanku, tho”, atau enak di zaman saya kan? Berlangsung sejak paruh kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lembaga Indo Barometer pernah mengadakan survei dengan 1.200 responden pada tahun 2011, dan salah satu hasilnya adalah Presiden Soeharto paling populer, diikuti oleh Presiden SBY.  Yang mengkritik survei ini mengatakan bahwa jelas saja Soeharto lebih populer karena dia memerintah selama 32 tahun. SBY memerintah enam tahun saat itu.  Presiden RI diantara Soeharto dan SBY tak ada yang berkuasa satu periode penuh.

Pada Pemilu Legislatif 2014, Titiek Soeharto yang kembali aktif di Partai Golkar, meraih kursi di DPR RI mewakili daerah pemilihan Daerah Istimewa Yogyakarta.  Titiek aktif berkampanye untuk Prabowo Subianto yang notabene mantan suaminya, dalam pilpres 2014. Partai Golkar mendukung Prabowo Subianto melawan Joko “Jokowi” Widodo. Prabowo kalah. Di Partai Golkar yang didirikan ayahnya, Titiek menjabat sebagai wakil ketua umum di era kepengurusan Aburizal Bakrie 2014-2019. Aburizal kemudian digantikan oleh Setya Novanto.  Sebelum menjadi wakil ketua umum, Titiek adalah salah satu dari ketua.

Di kalangan internal Partai berlambang Beringin itu, masuknya Titiek ke politik praktis dianggap memiliki dua misi. Pertama, mempertahankan trah Soeharto.  Kedua, memastikan Partai Golkar berjalan ke arah yang benar sebagaimana digariskan Soeharto dan pendiri lainnya. “Golkar itu berdiri sebagai kendaraan  untuk mempertahankan kekuasaan (Soeharto), dan berjalan baik selama 30 tahun dengan roh kekaryaan. Rakyat melihat hasil karyanya, berupa pembangunan. Ketika reformasi tiba, rakyat masih memilih karena rohnya terlihat sama. Kekaryaan. Sekarang kan sudah jauh dari roh itu,” demikian salah satu pengurus harian Golkar ketika ditanyai Rappler.

Anggota Dewan Pakar Partai Golkar, Zainal Bintang, mengatakan bahwa kejatuhan Soeharto Mei 1998 terjadi dalam konteks perubahan politik. “Wajar menurut saya, apabila keluarga sekarang berjuang mengembalikan harkat dan martabat melalui perjuangan politik seperti yang terlihat saat ini,“ ujar Zainal Bintang kepada Rappler, Selasa malam (14/3). Zainal memberikan komentarnya secara pribadi, bukan mewakili dewan pakar.

Selain Titiek Soeharto yang menjadi pimpinan Partai Golkar dan anggota DPR RI, Tommy Soeharto belakangan juga diajak bergabung oleh beberapa parpol baru, di antaranya Parpol Berkarya. Bulan Oktober 2016, Kementerian Hukum dan HAM menerbitkan surat keputusan pengesahan Parpol Berkarya yang dibidani Tommy Soeharto. Partai Berkarya merupakan hasil penggabungan Partai Nasional Republik dan Partai Beringin Karya. 

SK Kemhukham juga mengesahkan susunan pengurus Partai Berkarya 2016-2021. Di parpol ini Tommy Soeharto menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina.  Mantan Menkopolkam di era Presiden Jokowi, Tedjo Edhy Purdijatno menjadi Ketua Dewan Pertimbangan.  Tedjo Edhy Purdijatno yang pernah menjabat Kepala Staf Angkatan Laut di era Presiden SBY itu adalah kader Partai NasDem saat diangkat Jokowi menjadi menkopolkan. Jokowi mencopot Tedjo Edhi dan menggantinya dengan Luhut Binsar Panjaitan dalam reshuffle jilid 1 kabinet Jokowi.

Putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Indra Rukmana alias Mbak Tutut pernah digadang-gadang menjadi calon presiden Partai Karya Peduli Bangsa yang didirikan oleh KSAD TNI Jenderal Hartono jelang Pemilu 2004. Sementara Tommy sempat berlaga menjadi salah satu calon ketua umum Partai Golkar pada 2009, namun gagal.

Menurut Zainal Bintang, hal lain yang membuat keluarga Cendana berjuang keras memulihkan nama baik Soeharto adalah, karena hingga wafatnya Soeharto tidak pernah diadili. “Artinya tidak pernah ada vonis hukuman atas diri Soeharto yang menyatakan dia bersalah,” ujar Zainal. 

Ada vonis yang melibatkan Soeharto dan Yayasan Supersemar terkait dugaan penyelewengan dana beasiswa. Media memberitakan bahwa keluarga Soeharto harus membayar ganti rugi senilai Rp 4,389 triliun. Mahkamah Agung kemudian memberikan klarifikasi bahwa yang harus membayar hanya Yayasan Supersemar. Keluarga Soeharto tidak dicantumkan dalam keputusan MA sehingga bebas dari kewajiban membayar ganti rugi.

Di kalangan sebagian masyarakat yang melihat gonjang-ganjing politik juga merindukan situasi stabil dan aman di era Soeharto. Mereka lupa situasi itu hasil pengekangan politik dan keamanan yang ketat.

Melongok ke belakang, ketika Indo Barometer melakukan survei pada 2011, popularitas SBY mulai menurun. Survei yang diadakan jelang 13 tahun lengser-nya Soeharto itu sempat dikritisi sebagai upaya meningkatkan kembali pamor Soeharto dan keluarganya.  

Pada bulan Juni 2011, bulan kelahiran Soeharto, juga diluncurkan buku berjudul Pak Harto, The Untold Stories. Buku itu isinya kenangan dan pandangan 133 tokoh termasuk di level regional, mengenai sisi human interest Soeharto. Buku yang membawa aura positif mengenai Soeharto.  

Adik Soeharto, Probosutedjo juga meluncurkan “Soeharto Center” untuk melestarikan pemikiran almarhum kakaknya yang pada tanggal 6 Juni 2011 itu berusia 90 tahun, jika masih hidup. Probosutedjo berharap Soeharto mengkaji hal-hal positif tentang Soeharto.

Tak kurang dari Gubernur Ahok pernah memuji Soeharto yang dianggap berhasil mengendalikan laju pertambahan penduduk melalui program Keluarga Berencana.  “Reformasi yang ditinggalkan oleh Pak Harto itu seperti haram. Saya kira itu kesalahan. Dalam hidup pasti ada khilaf,” ujar Ahok saat membuka acara pembinaan dan konsolidasi Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPKB) di Gedung BKKBN, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Senin, 16 Februari 2015.

Kekecewaan terhadap pemerintahan bisa menjadi pemicu lahirnya “rindu Soeharto” di masyarakat. “Meningginya tensi politik setelah Jokowi menjadi presiden menurut hemat saya, karena pemerintahan Jokowi dianggap lemah secara politik. Penyebabnya Jokowi bukan ketua umum (kader/pendiri) parpol papan atas, juga tidak punya latar belakang militer dan bukan pula aktivis organisasi atau lembaga swadaya berpengaruh,” kata Zainal Bintang.

Fenomena keluarga tokoh politik, apalagi yang pernah menjadi presiden ingin melestarikan dinastinya sebenarnya terjadi di mana-mana termasuk di kawasan negeri tetangga seperti Filipina. Putra mantan Presiden Ferdinand Marcos, Senator Ferdinand “Bongbong” Marcos, nyaris menjadi wakil presiden dalam Pemilu 2016 di negeri itu.  Dia kalah tipis dibandingkan Leni Robredo.  Presiden Rodrigo Duterte secara terbuka mendukung Bongbong Marcos ketimbang Leni Robredo.  Pemilihan presiden dan wapres di Filipina dilakukan terpisah, meski simultan.  Tak heran jika hubungan Duterte dan Wapres Leni Robredo tergolong buruk saat ini.

Suara signifikan bagi Bongbong Marcos menunjukkan ada masyarakat Filipina yang masih mendukung keluarga itu. Begitu juga suara yang mendukung Titiek Soeharto sehingga dia bisa melenggang ke gedung parlemen di Senayan.  

Presiden Marcos dan Presiden Soeharto berkuasa pada periode yang bersamaan. Keduanya menyandang sebutan sebagai “diktator” karena gaya pemerintahannya yang bertangan besi terutama terhadap lawan politik dan yang mengkritisi pemerintahannya, pelanggaran HAM dalam sejumlah kasus, pula dugaan korupsi, kolusi dan nepotisme selama pemerintahannya.  

Soeharto dan Marcos sama-sama turun dari kekuasaan karena “people power”, aksi besar yang melibatkan rakyat.  Marcos meninggal di Hawaii, AS, jenazahnya dibawa ke Filipina dan dikebumikan di kampung halamannya.  Bulan November 2016, setelah Presiden Duterte berkuasa, jenazah Marcos dikebumikan ulang di Taman Makam Pahlawan dengan upacara penghormatan militer.

Di Indonesia, kontroversi masih terjadi berkaitan dengan keinginan sebagian pihak termasuk Partai Golkar untuk memperjuangkan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto.

BACA : Apakah Soeharto Layak Diberi Gelar Pahlawan Nasional?  

  

Di panggung dunia lain kita melihat politik dinasti di AS, Pakistan, pula di Korea Selatan.  Presiden Park Geun-Hee yang kini dimakzulkan oleh rakyatnya melalui aksi besar-besaran dalam bulan-bulan terakhir adalah putri mantan pemimpin Korsel Park Chung-Hee.

Selain keluarga Soeharto, yang nampak jelas ingin mempertahankan kelanjutan dinasti politiknya di tingkat nasional adalah keluarga Presiden pertama, Sukarno dan Presiden ke-6, SBY.  Megawati Sukarnoputri yang menjabat ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menyodorkan putrinya, Puan Maharani, sebagai menteri di kabinet Jokowi.  Puan menjabat menteri koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan.  Sebelumnya, Puan sudah menjadi unsur pimpinan PDIP di DPR, sebagai ketua fraksi.  

SBY?  Sudah jelas.  Putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono, memilih pension awal dari dinas militer untuk berlaga di Pilkada Jakarta. Meskipun akhirnya gagal di putaran pertama pada Pilkada 15 Februari 2017, pamor Agus sudah melambung ke jajaran politisi yang populer. Mengingat Partai Demokrat yang minim sosok populer, kuat dugaaan Agus akan melanjutkan kepemimpinan di parpol yang didirikan antaralain oleh Ibunya, Ani Yudhoyono, untuk menjadi kendaraan politik SBY pada pilpres 2004. Pilkada Jakarta 2017 dipastikan sebagai uji kekuatan jelang Pilpres 2019

Zainal Bintang menilai bahwa bangkitnya hasrat politik keluarga Soeharto tak lepas dari persaingan dengan kekuatan politik yang dibangun keluarga Sukarno.  Kini, Megawati dan PDIP menganggap bahwa Jokowi adalah kader yang ditugasi menjadi presiden. Selama kekuasaan Soeharto, Sukarno dan keluarganya dipinggirkan. Sulit melakukan kegiatan politik.

Di satu pihak ada kekuatan politik besar yang mengusung trah Bung Karno yang berjuang keras ingin memegang  kendali kekuasaan politik melalui Megawati dengan PDI-Pnya dan dilain pihak ada trah Soeharto yg berfikiran sama ingin mengendalikan kekuasaan dan memulihkan nama baik Soeharto,” kata Zainal.

Pergulatan di tubuh Partai Golkar

Sikap “mbalelo” Titiek Soeharto yang memilih mendukung paslon Anies-Sandi ketimbang paslon Ahok-Djarot yang diusung parpolnya, bukan satu-satunya ‘riak” di tubuh Partai Golkar, yang kini masih menguasai jumlah kursi kedua di parlemen sesudah PDIP.  Ketum Setya Novanto perlu hati-hati menyikapi perkembangan yang terjadi, terutama sesudah terang-benderangnya skandal dugaan korupsi proyek KTP Elektronik yang menyeret namanya.

BACA: Apa Peran Setya Novanto dalam mega korupsi KTP Elektronik?  

Kepemimpinan di partai pohon Beringin itu belum solid betul sejak kisruh dualisme kepemimpinan di Partai Golkar yang berakhir Mei 2016.  Upaya Setya Novanto merapat ke kekuasaan dengan mendukung Jokowi, sekaligus mendukung Ahok-Djarot di Pilkada DKI, dihantam skandal yang menyeret nama dirinya dan sejumlah kader Partai Golkar.

Selasa (14/3), Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono menggelar jumpa pers di Gedung DPP Partai Golkar, di kawasan Slipi, Jakarta. Jumpa pers diadakan setelah rapat selama tiga jam, membahas skandal KTP Elektronik dan keterlibatan kader partai. Agung mengatakan dewan pakar mengimbau agar partai tetap solid demi menjaga mesin partai berjalan optimal.

“Jangan ada yang mengambil langkah mengail di air keruh dan memunculkan kegaduhan. Reaksi membabi buta akan menjadi blunder yang merusak soliditas partai menuju tahun politik,” kata Agung, yang menurut sumber di Golkar, belakangan kompak dengan Setya Novanto. Padahal sebelumnya, terutama saat pileg dan pilpres, Novanto kompak dengan Ical Bakrie.  Agung mengakui ada skenario yang menginginkan Setya Novanto dinonaktifkan dari jabatan ketua umum dan menunjuk pelaksana tugas. Skenario lain adalah wacana musyawarah nasional luar biasa.

Zainal Bintang mengakui bahwa kepemimpinan yang belum solid bisa saja memunculkan spekulasi bahwa kekuatan yang mendukung Soeharto akan masuk. “Kalau ada yang menyebut, bahwa diinternal Golkar terutama di daerah, pendukung Soeharto masih banyak, untuk tidak mengatakan masih kuat, hal itu masih terlihat sangat cair, artinya fleksibel,” kata Zainal.

Agung Laksono mengatakan, pihaknya tetap berkomitmen mengusung Jokowi sebagai capres pada Pemilu 2019. “Kami terikat kesepakatan Munaslub Bali 2016,” ujar dia. Agung mengakui ada kader Golkar yang pernah mengusulkan Tommy menjadi calon presiden, tetapi tidak berhasil. “Di internal sendiri juga enggak berhasil saat diadakannya semacam konvensi. Jadi belum pernah Golkar itu mengusulkan mengusung dia‎,” kata Agung.

Dari sudut hukum dan Undang-undang yang berlaku di Indonesia, pintu Tommy Soeharto menjadi calon presiden juga ditutup oleh UU No 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pada pasal 6 huruf “t” disebutkan bahwa syarat capres dan cawapres adalah, “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”.

Tommy pernah dijatuhi hukuman penjara 10 tahun. Setelah remisi alias pengurangan hukuman, dia menjalani masa hukuman sekitar enam tahun dan bebas bersyarat Oktober 2006.  

Menilik konstelasi politik selama ini, yang punya peluang memunculkan capres adalah parpol besar seperti PDIP, Partai Golkar, Partai Demokrat dan Partai Gerindra.  Selain soal dukungan suara, stok figur juga menentukan.  Keempat parpol di atas hampir mustahil mengusung Tommy menjadi capres di Pilpres 2019. Begitu juga sejumlah parpol papan tengah lain yang mungkin berpikir mengusung keluarga Soeharto sama saja dengan “bunuh diri” politik.  

Tapi, politik itu adalah seni kemungkinan. Politics is the art of possible, yang bisa diartikan dengan menempuh jalan bukan yang benar atau yang terbaik, melainkan yang bisa dieksekusi, dijalankan, untuk mencapai tujuan. Maka zigzag dalam menempatkan diri dan posisi adalah hal yang lumrah dilakukan dalam politik.  

Begitulah kita mencoba memahami bagaimana Jokowi menempatkan sosok-sosok yang lekat dengan aroma Orde Soeharto di sekelilingnya. Ahok yang tadinya ingin diusung jalur independen, kemudian pindah haluan didukung PDIP dan parpol termasuk Partai Golkar. Anies Baswedan yang dalam Pilpres 2014 di kubu Jokowi-JK dan kini bermesraan dengan Prabowo dan Titiek, duduk semeja dengan Tommy dan Rhizieq Shihab. Ya, jangan kaget juga kalau nanti di putaran kedua Pilkada Jakarta, 19 April, SBY dan Agus Yudhoyono cenderung berpihak ke Ahok ketimbang ke Anies yang didukung Prabowo. Melihat manuver politik jangan baper-an.  – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!