Mengapa polisi jadi sasaran empuk teroris?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa polisi jadi sasaran empuk teroris?
Serangkaian aksi teror dalam setahun terakhir dilakukan jaringan Jamaah Ansharut Daulah yang berafiliasi ke ISIS. Pelaku kurang ahli?

“Polisi adalah near enemy,” kata Ali Fauzi, mantan pentolan teroris anggota Jamaah Islamiyah itu, ketika saya kontak, Kamis, 25 Mei. Ali Fauzi adalah adik Amrozi, narapidana kasus teror Bom Bali yang telah dieksekusi mati.  

Peran penting Ali Fauzi adalah sebagai ahli pembuat bom. Rabu malam, terjadi serangan teror bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta. Tiga polisi yang tengah bertugas mengamankan pawai obor yang dilakukan oleh kelompok masyarakat di sekitar itu tewas akibat serangan bom bunuh diri.  

Yang dimaksud Ali Fauzi, polisi adalah sasaran empuk, apalagi yang bertugas di tempat terbuka seperti di pos polisi atau di lokasi yang ramai seperti halte bus Trans Jakarta di Terminal Kampung Melayu itu. Ratusan orang dan kendaraan lalu-lalang di salah satu terminal paling sibuk di Jakarta itu, serta suasana malam yang remang-remang, memudahkan pelaku teror mendekati polisi sasarannya. Malam itu unit satu peleton 4 Sabhara Polda Metro Jaya memang bertugas di lokasi untuk mengamankan pawai obor jelang bulan Ramadan. 

Polisi yang bertugas di pos polisi di seberang pertokoan Sarinah di Jl MH Thamrin Jakarta, misalnya tidak dibekali senjata api. Mereka hanya membawa tongkat polisi. Tak heran, mereka rawan serangan dari teroris, sebagaimana yang meledakkan dirinya saat terjadi teror bom di Jakarta pada tanggal 14 Januari 2016. Untungnya, karena panik dan terlalu cepat memicu bom, dua pelaku bom bunuh diri ke pos polisi tewas. Polisi yang bertugas luka parah. (BACA: Daftar Nama Korban dan Pelaku Ledakan Bom di Depan Sarinah Jakarta)

Polisi juga menjadi target serangan teroris, sebagai balas dendam atas tindakan polisi mengejar pentolan dan pelaku teror, sejak peristiwa Bom Bali 2002. Khoirul Ghozali, mantan teroris pentolan perampokan Bank CIMB Niaga di Medan, tahun 2010, menceritakan bibit kebencian kepada polisi di kalangan keluarga narapidana kasus teroris. Itu sebabnya dia dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendirikan Pesantren Al Hidayah di  Deli Serdang, dengan fokus pendidikan deradikalisasi. Upaya yang tidak mudah. 

Pada awalnya berat. Mereka menyimpan dendam. Setiap ada polisi yang lewat mereka masih menganggap itu toghut. Kafir. Orang yang membunuh atau pun memenjarakan bapak mereka. Memori ingatan itu masih kuat sekali dalam jiwa mereka,” kata Ghozali ketika saya wawancarai pada tanggal 22 Maret. (BACA:  Mantan Teroris Perampok Bank Kini Kelola Pesantren)

Upaya deradikalisasi yang dilakukan BNPT dengan berbagai pihak itu bertujuan untuk mencegah berkembangnya bibit potensi melakukan tindakan teror dengan kekerasan. Untuk sementara, deradikalisasi memanfaatkan mantan terpidana teroris dianggap lebih efektif.  

Kebencian kepada polisi, misalnya, secara terbuka disampaikan Santoso, pemimpin kelompok Mujahidin Timur Indonesia (MIT) yang lama bersembunyi di gunung-gunung di kawasan Poso, Sulawesi Tengah. Tahun 2012, Santoso menyebarkan surat terbuka menantang polisi. 

Dendam Santoso, karena polisi mengejar dan menangkapi anggotanya. Ada yang tewas, begitu pula korban di pihak polisi. (BACA: Dendam Jaringan Teroris Santoso Kepada Polisi). 

Santoso, kelahiran Tentena, Poso,  kemudian berbaiat ke ISIS, Islamic State of Iraqi and Syria. Menurut polisi, ada dana yang mengalir dari Suriah mendanai seluruh aksi teror kelompok Santoso. Meskipun dianggap  bukan tergolong ideolog, cukup lama waktu yang diperlukan polisi untuk melumpuhkan teroris paling berbahaya di Indonesia pasca kelompok teroris Bom Bali itu. Santoso juga menjadi teroris paling diburu di Asia Tenggara.  

Pada Senin, 18 Juli 2016, akhirnya Santoso tewas dalam aksi baku tembak dengan aparat gabungan polisi dan TNI yang tergabung dalam Operasi Tinombala. Serangan kelompok teroris terhadap polisi terus berlanjut.

Serangan teror terhadap polisi dalam setahun terakhir

TERORIS. Sejumlah petugas Gegana Polda Jawa Timur memeriksa mobil terduga teroris di jalan Pantura di Desa Beji, Kecamatan Jenu, Tuban, Jawa Timur, Sabtu, 8 April. FOTO oleh Aguk Sudarmojo/ANTARA

Dua pekan sebelum Santoso dilumpuhkan, terjadi serangan teror ke Mapolresta Solo, Jawa Tengah. Kejadiannya pada tanggal 5 Juli 2016 pagi, sehari sebelum umat Muslim merayakan Idul Fitri. 

Pelaku bom bunuh diri mengendarai motor, menerobos penjagaan di kantor kepolisian itu dan  meledakkan bom di depan sentra pelayanan polisi terpadu. Pelaku tewas di tempat. Seorang anggota kepolisian yang berusaha mencegahnya mengalami luka-luka di bagian wajah.

Menurut penyelidikan polisi, pelaku yang diketahui bernama Nur Rohman, merupakan ahli perakit bom dan bagian dari sel teroris jaringan Bahrun Naim. Bahrun sendiri diyakini saat ini sudah berada di Suriah. Namanya mencuat sebagai dalang Bom Sarinah.

Serangan ke Mapolres Solo ada dalam bocoran intelijen yang diperoleh ABC Plus, Australia, pada Juli 2016. Dokumen itu menunjukkan ada 34 tempat di Indonesia yang menjadi sasaran teroris. Sasaran lain dalam daftar itu adalah Kedutaan Besar Rusia di Jakarta, Markas Besar Kepolisian, Markas Brigade Mobil Polri, dan Jakarta International School.

Pada tanggal 20 Oktober 2016, Kapolsek Tangerang Kompol Effendi dan dua personel polisi lainnya diserang oleh Sultan Aziansyah yang merupakan pengikut ISIS. Para polisi tengah bertugas di Pos Polisi Lalu Lintas Cikokol, Tangerang, untuk mengamankan demo.  

Saat dua anggotanya diserang Kamis pagi itu, Effendi sempat melayangkan beberapa kali tembakan untuk melumpuhkan Sultan. Sultan  makin beringas dan melayangkan sabetan golok ke badan Effendi, yang kemudian melumpuhkan Sultan dengan menembak kakinya.  Sultan akhirnya tewas dalam perjalanan dari RS Tangerang ke  RS Polri di Kramatjati, Jakarta.

Kepala BNPT Suhardi Alius mengatakan, dari pemeriksaan, diketahui Sultan membawa stiker mirip simbol ISIS. Dari pendalaman Polri dan BNPT atas barang bukti, Sultan mendapatkan pengaruh pemikiran dari ISIS. 

“Tapi kami belum bisa memastikan ini alone wolf atau ada jaringan. Kalau yang paling mengemuka saat ini, dia mendapatkan informasi mengenai pemikiran itu dari media sosial. Bom rakitan itu pun dia belajar otodidak, download dari media sosial,” kata Suhardi, sehari sesudah kejadian pada 21 Oktober 2016.

Sultan Aziansyah pelaku serangan ke Pos Polisi di Tangerang, usianya masih muda, 22 tahun.  Sama dengan usia Salman Abedi Ramadan, pelaku teror bom, bunuh diri di Manchester Arena, 22 Mei. Salman Abedi meledakkan diri di ujung konser penyanyi Ariana Grande.  Sebanyak 22 orang tewas, puluhan luka-luka.  

Dalam sejumlah kasus di Indonesia, BNPT mencatat bahwa pelaku teror tergolong di usia belia, yang banyak menggunakan waktu dengan mengakses media sosial, terutama konten bermuatan radikal. (BACA: Pelajaran dari Serangan Teror di Manchester Arena.)

Pada tanggal 27 Februari terjadi ledakan bom panci, di Taman Pandawa, Kecamatan Cicendo, Bandung. Pelaku menuntut dibebaskannya tahanan Densus 88 Anti Teror. Pelaku berhasil dilumpuhkan oleh polisi, dan tewas dalam perjalanan ke rumah sakit.

Pada tanggal 7 April 2017, Densus 88 Anti Teror menangkap tiga terduga teroris di Lamongan, Jawa Timur. Kabagpenum Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul mengatakan tiga terduga teroris yang ditangkap oleh anggota Densus 88 Anti Teror merupakan bagian dari jaringan Suryadi Mas’ud dan Nanang Kosim. Keduanya telah ditangkap pada 24 Maret lalu. (BACA: Begini kaitan jaringan teroris Filipina selatan dengan aksi Bom Sarinah)

Menurut polisi, salah satu yang ditangkap, Zaenal Anshori, sudah pernah dibaiat oleh terpidana kasus terorisme Aman Abdurrahman untuk menjadi pimpinan Jamaah Ansorut Daulah (JAD) di Indonesia. Zaenal  kemudian diminta ke Filipina Selatan untuk belajar militer. Martinus menjelaskan, saat Zaenal kembali ke Indonesia dia membawa lima pucuk senjata api. Informasi itu didapat dari Suryadi.

Dua senjata di antaranya pernah dipakai oleh kelompok teroris untuk beraksi di Sarinah pada Januari 2016 silam. 

“Sedangkan tiga senjata lainnya masih dicari. Anggota jaringan Suryadi Mas’ud lainnya sudah ditangkap beberapa hari yang lalu,” tutur Martinus.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri saat itu, Irjen Pol Boy Rafli Anwar mengatakan, ketiganya berencana menyerang Polsek Brondong, di  Lamongan. Pada Tanggal  8 April 2017, terjadi serangan teroris ke petugas pos Polisi di Tuban. Enam orang melakukan penyerangan dengan menembaki anggota Sat Lantas Polres Tuban di wilayah Jenu, Tuban. 

Mereka menumpang mobil Daihatsu Terios dengan nopol H 9037 BZ yang disewa dari Semarang. Setelah dilakukan pengejaran dan penghadangan, mobil Terios ditinggalkan pelaku di tepi jalan. Seluruh penumpang dan sopirnya kabur ke kebun di sekitar perkampungan Desa Beji, Kecamatan Jenu.  

Media melaporkan, Brimob dan Densus Antiteror 88 melakukan pengepungan dan menewaskan 6 orang tersebut. Satu pelaku bisa diketahui karena polisi menemukan paspornya di dalam mobil yang ditinggalkan, atas nama Satria Aditama, asal Semarang, Jawa Tengah.

Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Irjen Pol Machfud Arifin mengatakan, “Yang jelas ada kaitannya teroris kelompok daripada JAD yang dua hari lalu ditangkap, ada 3 orang yang ditangkap di Lamongan masih dalam proses Densus 88 kemudian melakukan amaliyah, balas dendam.”   

Pada tanggal 11 April terjadi serangan teror ke Mapolres Banyumas, Jawa Tengah. Polisi dan wartawan tengah berkumpul di halaman depan untuk gelar perkara pencurian. Seorang lelaki bercadar mengendarai sepeda motor Honda Beat nopol R 3920 SV masuk ke halaman Mapolres Banyumas di Jalan Letjen Sumarto, Banyumas.  

Pelaku menabrakkan motor ke arah Aiptu Suparta. Pelaku membawa pedang dan menyerang polisi lain sambil bertakbir. Dua polisi terluka dalam serangan ini.

Polisi berhasil membekuk pelaku, Ibnu Dar, 22 tahun, warga Purbalingga. Ayah pelaku ternyata pensiunan TNI. Dari rumah Ibnu, polisi menyita beberapa barang bukti. Total yang disita sebanyak 38 item, termasuk di dalamnya kain hitam dengan lambang ISIS dan beberapa buku agama.

“Kami juga menemukan panci yang telah dipasangi rangkaian kabel, komputer, trafo dan plastik pijaran,” ujar Kasatreskrim Polres Banyumas, AKP Djunaedi pada media, 11 April.

Suhardi Alius, mengingatkan bahwa target serangan aksi-aksi terorisme bisa siapa saja yang dianggap berseberangan. Namun polisi adalah aparat yang paling rentan menjadi sasaran. 

“Targetnya bukan polisi saja. Bisa pemerintah atau pejabat pemerintah, pokoknya yang berseberangan akan dianggap musuh. Selama ini memang yang paling aktif polisi dan memang bertugas terbuka sehingga mudah bagi mereka untuk menjadikan polisi sebagai sasaran,” kata Suhardi.

Pelaku kurang ahli tapi semangat tempur tinggi

TERSANGKA. Polisi membawa tersangka penyerangan Mapolres Banyumas di Polres Banyumas, Purwokerto, Banyumas, Jateng, Selasa (11/4). Foto oleh Idhad Zakaria/ANTARA

Ali Fauzi menilai bahwa dalam serangan teror yang terjadi akhir-akhir ini, nampak bahwa pelaku dan jejaringnya tidak memiliki keahlian merakit bom dengan daya ledak tinggi sebagaimana yang dia lakukan bersama saudaranya saat serangan teror Bom Bali. 

“Mereka ini masih muda, dan hanya memiliki semangat untuk berjuang di medan tempur,” kata Ali Fauzi, yang kini mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian bersama keluarga dan mantan napi terorisme di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Berbagai serangan teror yang terjadi belakangan memang melibatkan bom dengan daya ledak rendah (low explosive). Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Setyo Wasisto mengatakan bom yang meledak di Terminal Kampung Melayu mirip dengan bom panci di Cicendo, Bandung.  

Meski demikian, efeknya bisa mematikan untuk mereka yang dekat dengan lokasi, karena bom panci dirakit dengan menggunakan paku-paku. Ali Fauzi menduga adanya kemungkinan pelaku juga menggunakan bom rompi.  

“Bisa menggunakan paku-paku juga,” kata dia. Polisi akan merilis hasil lebih lengkap dalam satu dua hari mendatang.

Wakapolri Komjen Pol Syafrudin dalam keterangannya di sebuah media televisi mengatakan bahwa daya ledak bom panci di Terminal Kampung Melayu lebih besar dibandingkan dengan bom panci Cicendo. Wakapolri juga mengumumkan dua nama terduga pelaku, yaitu Ichwan Nurul Salam dan Ahmad Sukri.

Kurang dari 24 jam sesudah kejadian, polisi telah menjemput keluarga terduga pelaku bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu. Polisi menjemput keluarga INS di Bandung. Polisi juga menyelidikan rumah kontrakan AS, pelaku lainnya, di kawasan Garut, Jawa Barat.

Sama halnya dengan rangkaian serangan teror belakangan ini, polisi menduga para pelaku bom bunuh diri ini merupakan jaringan Jamaah Ansorut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS.

“Ini patut diduga melihat jenis serpihan bom, kontennya itu sama dengan kelompok dengan teror ISIS di Indonesia. Begitu juga dengan barang bukti dan pola serangan,” kata Kabagpenum Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul di kantornya, Kamis, 25 Mei. 

Martinus menambahkan, umumnya JAD menyerang polisi sebagai targetnya. Dia pun menjelaskan pola serangan Terminal Kampung Melayu ada kemiripan dengan bom bunuh diri Bandung.  

“Polanya sama. Modusnya menyerang anggota Polri. Patut diduga mereka adalah ISIS,” kata dia. 

Pemerintah menganggap bahwa serangan teror di Terminal Kampung Melayu adalah bagian dari serangan teror global. Dalam satu pekan misalnya, terjadi serangan di Manchester, Inggris, kontak senjata antara aparat dengan grup berafiliasi ke organisasi teror di Marawi, Filipina dan bom di sebuah rumah sakit di Thailand pada hari yang sama dengan teror di Manchester Arena.

Aksi teror di Terminal Kampung Melayu menunjukkan banyak hal yang masih harus dilakukan untuk meredam bibit-bibit tindakan teror dengan kekerasan yang korbannya tidak hanya aparat, melainkan juga rakyat sipil.  Presiden Joko Widodo akhir pekan lalu berbicara mengenai keberhasilan Indonesia menangani ancaman terorisme, saat menghadiri KTT Arab- AS di Arab Saudi. Jokowi mengatakan, umat Islam adalah korban terbanyak radikalisme dan terorisme. 

Apa yang disampaikan Presiden perlu menjadi refleksi penting bagi semua pihak dalam menangani ancaman yang terus mengintai.  Mengingat ancaman masuknya ideologi radikalisme yang memicu tindakan teror bisa menimpa siapa saja, termasuk keluarga kita, maka penting untuk mulai ikut serta mengantisipasi ancaman ini bersama-sama. Dimulai dari keluarga dan lingkungan terdekat.

Pemerintah dan aparat tugasnya adalah memastikan bahwa ketidak adilan dalam berbagai bidang, dari kesenjangan ekonomi sampai ketidakadilan politik, perlu ditangani dengan lebih baik. Kita perlu mempersempit ruang-ruang alasan melakukan tindakan radikal dengan teror – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!