Mengingat warga Baduy saat musibah kebakaran hebat

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengingat warga Baduy saat musibah kebakaran hebat
Mensos Khofifah: Biasanya TAGANA yang mendirikan tenda darurat. Di sini tenda dipasang rapi oleh warga. TAGANA hanya membantu.

JAKARTA, Indonesia – Dari dinding akun Facebook Andi Sahrandi, saya mendapatkan foto-foto yang membuat miris. “Semoga kampung Baduy luar yang terbakar segera bisa dibangun kembali !! Mari kita bantu bersama!!” demikian status itu, yang dimuat pada tanggal 24 Mei 2017. Minggu pagi, 28 Mei 2017, Babeh Andi, demikian orang biasa menyebut pemimpin Posko Kemanusiaan Jenggala itu. Bertolak ke Baduy bersama timnya.  

“Kami bawa tenda terpal besar,” kata Andi. Dalam usia 70-an, Andi selalu ada di semua musibah dan bencana alam. Baduy dalam dan luar mendapat tempat istimewa di hatinya. Dia seperti di rumah sendiri saat berada di tengah warga Baduy. Berkali-kali dia ke kawasan Baduy, baik melalui jalur yang cukup berat, Ciboleger, maupun jalur Cijahe yang rada ringan. Meski harus dibantu tongkat, Andi tak pernah khawatir dan semangat menengok warga Baduy.

Ketika mendengar peristiwa kebakaran yang terjadi di Kampung Cisaban, Desa Kanekes, di Baduy Luar, pada 23 Mei 2017, saya teringat perjalanan ke sana bersama Babeh Andi, tanggal 11-12 Mei 2017. Perjalanan yang mendadak yang saya ketahui dari dinding Facebooknya. Dia dan tim sudah cukup lama tak menengok warga di sana. Perhentian pertama kami di rumah Emen Baduy, warga Baduy Luar yang sudah sering menjadi pembicara di berbagai forum.

Emen Baduy punya akun Facebook. Dan itu membuatnya punya banyak teman dari luar kawasan itu. Andi menjadikan Emen sebagai salah satu mitra lokal untuk menyalurkan bantuan kepada warga Baduy, termasuk merapikan jalan. “Kalau warga Baduy dalam sih enggak mau. Mereka tetap bertahan jalan bebatuan yang asli, yang sering bikin kita orang luar terpleset juga,” kata Andi.  

Setiap kali ke Baduy dalam, Andi tak lupa membawa sejumlah baju khas yang dibelinya di Baduy Luar untuk warga Baduy Dalam.  Pula dua dokter sebagai tim kesehatan.

Warga Baduy Dalam memang menggunakan baju khusus, yang hanya berwarna putih, hitam dan biru tua. Warga Baduy Luar lebih bebas, seringkali menggunakan baju seperti orang kota. Baduy Dalam memiliki ciri khas menggunakan ikat kepala warna putih. Warga Baduy Luar seperti Emen menggunakan ikat kepala dari bahan batik yang dibeli di Cirebon. Kebanyakan warna biru, bentuknya segitiga.

Warga Baduy Dalam mengharamkan benda-benda modern seperti sabun dan alat pembersih berbahan kimia, karena akan mencemari sungai-sungai tempat mereka mandi dan mengambil air untuk kehidupan sehari-hari.  Rumah panggung terbuat dari atap rumbia, dinding dari lapisan bambu yang biasa kita sebut “gedek”.  

Kampung Baduy Luar yang padat dan rumah terbuat dari bahan yang mudah terbakar (11/5/2017) Foto Uni Lubis Dinding ini dirangkai ke fondasi kayu dan bambu dengan tali ijuk.  Tidak boleh menggunakan paku atau bahan dari besi lain. Warga Baduy Luar lebih bebas dan banyak yang membangun rumah dari dinding batu sebagaimana rumah di kawasan lain.

“Warga Baduy biasanya membangun leuit, atau lumbung padi di pinggir hutan. Agak jauh dari dusun atau desa tempat mereka tinggal. Tujuannya adalah agar jika terjadi kebakaran, beras simpanan mereka aman,” tutur Andi dalam perjalanan ke Baduy.  Saya pikir ini sebuah kearifan lokal yang baik.

Kamis malam, 11 Mei 2017, saat saya dan rombongan menginap di rumah Adri, warga Baduy Dalam, saya mendengarkan sarasehan dengan warga setempat. Jaro, atau pemimpin pemerintahan di Desa Cibeo, juga hadir. Wilayah Baduy Dalam terbagi atas tiga desa, yaitu Desa Cibeo, Desa Cikertawana dan Desa Cikeusik. 

Malam itu, Mursid, semacam sosok “dewan pakar” di komunitasnya, menceritakan bahwa di Desa Cibeo ada 600 warga dengan 96 rumah adat khas warga di sana. Bulan depan harus dibuat enam rumah lagi untuk mengakomodir keluarga baru. Total warga Baduy Dalam di tiga desa diperkirakan 1.600 an orang.

Mursid juga menceritakan gagal panen yang mereka alami. Warga bertanam padi lahan kering atau padi gogo. Tanpa pupuk kimia. Andi menawarkan apakah perlu bantuan beras? Mursid menolak. Dia justru meminta agar pemerintah menambah lahan bagi warga Baduy Dalam untuk berladang. 

(BACA : Warga Baduy Dalam Harapkan Tambahan Lahan Ladang)

Beras yang disimpan di lumbung biasanya digunakan untuk keperluan khusus, termasuk acara adat yang melibatkan banyak warga. Juga saat paceklik. Warga Baduy Dalam sangat cermat dalam memutuskan kapan menggunakan beras yang disimpan di leuit.  

Mereka hidup sangat sederhana, sehari-hari makan nasi dengan garam, menggunakan perlengkapan makan dan minum dari bambu dan daun. Manakala ada pengunjung, ada tambahan lauk-pauk berupa mie instan dan ikan asin yang dibawa oleh pengunjung atau dipasok oleh warga Baduy Luar yang menjadi agen biro wisata kunjungan ke Baduy Dalam.

Saya memang melihat deretan leuit, berlokasi di pinggir desa, seperti menyambut kami ketika memasuki Desa Cibeo. Saya kembali mengingat gambaran ini manakala membaca keterangan pemerintahan Desa Kanekes yang disiarkan berbagai media setelah kebakaran hebat yang melanda Kampung Cisaban di Baduy Luar.  Total ada 83 rumah adat Baduy Luar hangus terbakar.  Ada 105 kepala keluarga yang menjadi korban.

Kebakaran itu dipicu dari tungku masak salah satu rumah warga yang tengah mengolah cairan aren menjadi gula. Warga Baduy Dalam menggunakan kayu bakar untuk memasak. Warga Baduy Luar masih banyak yang mempertahankan tradisi ini. “Banyak tradisi adat yang masih kami pegang teguh, termasuk menjaga lingkungan dan bentuk rumah adat. Bedanya, kami di Baduy Luar sudah menggunakan paku dan bahan besi,” ujar Emen saat saya wawancarai.

Rumah warga ditutupi terpal penahan hujan (28/5/2017) Foto Rendy

Kebakaran itu terjadi sekitar lima jam sejak Pukul 19.00 WIB.  Rumah-rumah hangus tak tersisa. Dalam suasana kering, bisa dibayangkan cepatnya api melalap rumah-rumah yang terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar itu. Yang membuat makin miris adalah, selain rumah, leuit, lumbung padi milik para warga juga hangus terbakar.   

Saya melihat sendiri bagaimana tidak hanya ladang yang jadi persoalan bagi warga Baduy Dalam. Lahan mendirikan rumah untuk keluarga baru pun kian sempit. Di wilayah Baduy Luar, sempitnya lahan membuat mereka membangun leuit dekat dengan rumahnya. Memang nilai kearifan lokal itu sedikit bergeser, karena kondisi sempitnya lahan. Maka, bisa dibayangkan jika ada kebakaran di satu rumah, menyebar cepat ke rumah-rumah lain, termasuk merembet ke leuit.

Pemerintah bantu warga Baduy korban kebakaran

Untungnya tidak ada korban jiwa dalam kebakaran besar tersebut.  Warga mengungsi di tenda-tenda darurat yang didirikan di desa terdekat yang aman. Di media sosial ada pihak-pihak yang mengajak warga mengumpulkan bantuan untuk korban kebakaran.  Pemerintah pusat sudah turun tangan. Pada hari pertama bulan puasa Ramadan, Sabtu 27 Mei, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa berkunjung ke lokasi kebakaran.

Berita yang diterbitkan laman radio nasional rri.com ini menggambarkan betapa sulitnya menjangkau kawasan yang kena musibah. Tiba di Pendopo Kabupaten Lebak sekira pukul 11.00 WIB, Mensos Khofifah  melanjutkan perjalanan darat ke Desa Hariang Kampung Karang Combong Kecamatan Sobang yang menempuh jarak 50 km selama 2,5 jam. 

Khofifah dan rombongan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan motor trail menuju Kampung Cipicung Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar. Jalan berbatu, setapak dan terjal ini kelilingi jurang yang cukup dalam.  Tiba di Kampung Cipicung, dilanjutkan berjalan kaki menuju lokasi kebakaran yakni Kampung Cisaban II. Setelah menempuh jalan setapak berbatu dengan kemiringan 45 derajat selama 30 menit, Mensos tiba di lahan kebakaran.

“Medan menuju lokasi memang cukup berat, tapi begitu sampai di wilayah pemukiman warga semua rasa lelah langsung  sirna. Saya melihat tenda-tenda telah berdiri rapi, anak-anak warga berdatangan dengan hangat menyapa,” kata Khofifah, kepada media.

Mensos Khofifah juga memuji semangat kegotong-royongan warga setempat. Dalam waktu dua hari sebanyak 84 tenda hunian sementara dari Kementerian Sosial telah berdiri dan seluruhnya dilakukan oleh warga dibantu taruna siaga bencana.  

“Biasanya mendirikan tenda dilakukan TAGANA (Taruna Siaga Bencana) dari dinas sosial setempat dibantu warga. Namun kali ini tenda  terpasang rapi oleh warga, TAGANA hanya membantu dan dalam waktu yang sangat singkat. Tentu ini karena kerja sama dan gotong royong yang sangat baik yang terbangun pada Suku Baduy,” tutur Mensos. 

Jiwa saling menolong, gotong-royong, adalah salah satu kearifan lokal suku-suku yang ada di Indonesia. Suku Baduy tak terkecuali.  Kearifan lokal membuat mereka siap siaga menghadapi berbagai tantangan hidup, termasuk lahan sempit dan stok pangan.  

Mensos juga berjanji mengajak anak-anak warga Baduy bertamasya ke Jakarta saat peringatan Hari Anak, 23 Juni.  Pikiran saya melayang kepada momen-momen indah saat Babeh Andi dikelilingi belasan anak Baduy Dalam.  

Mereka diajari berhitung dengan alat sederhana, menggunakan jari tangan dan lidi bambu. Warga Baduy tidak menyekolahkan anaknya. Mereka belajar dari orang tua secara turun-temurun. Betapa senangnya mereka nanti bisa bertamasya.  Melihat hal baru.  Semoga mereka belajar tentang hal-hal yang baik saja. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!