Program listrik 35 ribu MW ancam target kurangi emisi

Muhammad Harvan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Program listrik 35 ribu MW ancam target kurangi emisi
Indonesia tetap berkomitmen menjalankan Kesepakatan Paris. Apa saja kendalanya?

 

JAKARTA, Indonesia – Menteri Lingkunggan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar memastikan Indonesia akan memenuhi komitmen implementasi Kesepakatan Paris tentang perubahan iklim. Siti merespons keputusan Presiden AS Donald J. Trump yang menyatakan AS menarik diri dari Kesepakatan Paris, Jumat 2 Juni 2017.

Dunia yang sempat kecewa dan terkejut atas sikap Trump, memilih berjalan maju. AS kini dalam satu grup bersama dengan Suriah dan Nikaragua yang menolak berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon di bawah 2 derajat Celsius pada tahun 2020.

Indonesia berada bersama 195 negara lainnya yang menandatangani perjanjian bersejarah yang diputuskan di Konferensi Perubahan Iklim COP 21, di Paris, Desember 2016.

(BACA : Lima Poin Kesepakatan Paris Yang Kamu Perlu Tahu)

Keputusan Trump justru dianggap sebagai sebuah momentum untuk menggaungkan kembali isu ancaman perubahan iklim. Efek  perubahan iklim yang bersifat global, masif, serta memberikan pengaruh signifikan pada seluruh elemen kehidupan di bumi.

Ilmuwan iklim dari berbagai negara, yang dikumpulkan dalam Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), setuju bahwa perubahan iklim yang terjadi secara global dipicu oleh kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi. 

Kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi memicu perubahan iklim yang mengakibatkan iklim di berbagai belahan bumi menjadi ekstrem: intensitas hujan yang sangat tinggi, bencana kekeringan, frekuensi badai yang semakin sering dan ganas, dan sebagainya. 

Bagi Indonesia yang berada di zona khatulistiwa, efek perubahan iklim menjadi ekstem sangat terasa. Apalagi bagi penduduk yang tinggal di pulau-pulau kecil. Meningkatnya curah hujan pada musim penghujan yang menyebabkan banjir bandang, serta bencana kekeringan panjang pada musim kemarau telah mengganggu industri pertanian dan memudahkan terjadinya kebakaran hutan. 

(BACA : Menurut Jokowi kerugian akibat kebakaran hutan mencapai Rp 22 0 triliun)

 Kebijakan Pemerintah Indonesia

Komitmen Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan poin-poin yang menjadi isi dari Kesepakatan Paris, dilakukan dengan menerapkan kebijakan maupun langkah strategis yang berdampak langsung terhadap pengurangan emisi karbon. 

Kebijakan dan langkah strategis Pemerintah Indonesia, dituangkan dalam UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Kesepakatan Paris dan dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC) tentang target penurunan emisi karbon sebesar 29% pada 2030. 

Komitmen pemerintah dalam mengurangi emisi karbon  juga harus sejalan dengan agenda pembangunan nasional. Karena itu kebijakan yang diterapkan dan langkah strategis yang diambil harus diintegrasikan dengan komponen penting pembangunan nasional. 

Mengutip informasi dari buku”Perubahan Iklim, Perjanjian Paris, dan Nationally Determined Contribution” yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Juni 2016,  komponen yang diintegrasikan pada penyusunan dokumen INDC agar  sejalan dengan pembangunan nasional adalah: (1) pengentasan Kemiskinan, (2) pembangunan Maritim, (3) keberanjutan pangan, air, dan energi, serta (4) membangun archipelagic climate resilience.   

Berangkat dari konsep tersebut, langkah konkret yang dijalankan Pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi karbon secara umum dilakukan melalui proses diversifikasi penggunaan energi: mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dengan mendorong pengembangan sumber energi baru dan terbarukan dalam memenuhi kebutuhan energi nasional, melakukan  usaha pengelolaan hutan berkelanjutan dan pencegahan deforestasi juga alih guna lahan gambut menjadi perkebunan, serta penerapan manajemen limbah yang baik. 

Ancaman program listrik 35 ribu MW

Kebijakan dan langkah yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal mengurangi emisi karbon menuai berbagai tanggapan dan kritik, terutama dalam hal  diverisifikasi sumber energi pemenuhan kebutuhan konsumsi energi nasional. 

Pemerintah Indonesia menargetkan penggunaan energi baru dan terbarukan sebesar 23%. Namun, proyeksi bauran energi primer yang dilakukan oleh Pusat Teknologi Sumber Daya Energi dan Industri Kimia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), memperkirakan pada tahun 2025, penggunaan energi baru terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional mencapai sekitar 13% . 

Batubara masih menjadi sumber energi yang yang paling banyak digunakan, sekitar 38%. Prediksi ini akan menjadi kenyataan  jika melihat rencana pemerintah yang secara dominan masih menggunakan PLTU dalam penyediaan energi. nasional untuk mewujudkan program listrik 35 ribu Megawatt. 

Direktur Eksekutif WALHI Abetnego Tarigan, seperti dikutip laman www.mongabay.co.id mengatakan  bahwa rencana tersebut malah akan membuat emisi karbon makin besar. Pembangunan  listrik 35 ribu MW yang ditargekan rampung pada 2019, ditaksir akan menghasilkan  emisi karbon sebanyak  90.37 juta ton. 

Hitungan kasar pihak WALHI, dari setiap PLTU bertenaga 1.000 MW, akan menghasilkan emisi karbon senilai 5.4 juta ton per tahun. Dengan kapasitas 22.000 MW, akan menghasilkan 119 juta ton emisi karbon.  Pada tahun 2030, diperkirakan akan terakumulasi emisi karbon sejumlah 1.309 juta ton. 

Sebuah tambahan yang luar biasa besar. Senada dengan hal ini, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), mengatakan bahwa tanpa serious phasing out coal sulit bagi Indonesia untuk mencapai target Kesepakatan Paris pada 2030.

Gagasan lain muncul sebagai solusi permasalahan ini,  yaitu pengembangan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) dalam melistriki Indonesia, menggantikan peran PLTU. Sumber energi baru dan terbarukan yang potensial digunakan di Indonesia seperti tenaga surya, angin, panas bumi, micro-hydro, arus bawah laut, dan lain-lain. 

Namun sayangnya beberapa pihak, seperti lembaga akuntan publik PricewaterhouseCoopers (PwC) masih menilai bahwa pengembangan dan pemanfaatan sumber-sumber EBT membutuhkan biaya yang sangat tinggi, serta dinilai belum cukup untuk memenuhi target listrik 35 ribu MW.

Pakar energi yang kini menjadi anggota parlemen, Kurtubi, menilai perlunya mempertimbangkan pemanfaatan teknologi pembangkit listrik tenaga nuklir. Laman metrotvnews.com memuat pernyataan Kurtubi itu di acara Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada 17 Januari 2017. Energi nuklir dikenal sebagai energi yang bersih.  Masalahnya, siapkah masyarakat Indonesia menerima sumber energi ini? – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!