Perlukah Brimob memiliki senjata standar militer?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Perlukah Brimob memiliki senjata standar militer?

ANTARA FOTO

Pengadaan senjata harusnya bergantung kepada tantangan dan ancaman yang ada. Perlu aturan lebih jelas

 

JAKARTA, Indonesia – Sebenarnya Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tak lagi harus  minta izin kepada TNI, termasuk dalam soal pengadaan senjata. Menurut pasal 8 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri berada di bawah Presiden. Dan pasal 11 undang-undang yang sama menyebutkan bahwa  Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam konsideran “menimbang” poin C, disebutkan telah terjadi perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang  menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. 

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.  UU Polri yang dibuat di era reformasi itu memberikan status mandiri kepada Polri, termasuk dalam menyusun program dan anggaran.

Merujuk kepada undang-undang tersebut, maka sebenarnya sah saja bagi Polri untuk menganggarkan sistem persenjataan yang dianggap bisa menunjang tugas pokok dan fungsinya (tupoksi). Sepanjang Presiden dan DPR setuju dengan program dan anggaran, polisi bisa menjalankannya. 

Tetapi, kemudian lahir UU No 16 Tahun 2012 Tentang  Industri Pertahanan.  Pasal 8  ayat (1) UU Industri Pertahanan mengatur pihak mana yang dimaksud sebagai pengguna industri pertahanan.

Ada empat pihak, yaitu (a) Tentara Nasional Indonesia, (b) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (c) Kementerian dan/atau lembaga pemerintah non kementerian, dan (d) pihak yang diberi izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Merujuk kepada poin (d) di atas, disebutkan bahwa pihak pemberi izin terhadap pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan alias Menhan.

Prosedur impor senjata

UU Industri Pertahanan juga melahirkan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP).  Ketuanya adalah Presiden ex officio atau Presiden yang sedang menjabat. Ketua Harian dipegang oleh Menhan, dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai Wakil Ketua. Kedua menteri merangkap sebagai anggota, beserta tujuh menteri lain, serta Panglima TNI dan Kapolri.

Tugas KKIP adalah menyelenggarakan fungsi merumuskan dan mengevaluasi kebijakan mengenai pengembangan dan pemanfaatan Industri Pertahanan.  Termasuk di dalamnya, pada butir (i) merumuskan mekanisme penjualan dan pembelian Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan hasil Industri Pertahanan ke dan dari luar negeri. Rencana impor yang dilakukan pengguna, termasuk Polri, tunduk kepada mekanisme yang diatur KKIP.

Jadi, ketika Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan bahwa  tak ada prosedur yang dilanggar terkait impor senjata oleh Polri, kita bisa asumsikan bahwa proses di KKIP sudah dilewati.  Apalagi pengumuman pengadaan dilakukan sesuai prosedur melalui situs lelang elektronik Polri.  Anggarannya dari APBN-P 2017, yang berarti sudah dibahas dengan DPR dan disetujui.  Menhan Ryamizard mengatakan Polri telah meminta izin Kemenhan sebelum mengimpor senjata tersebut.

Sebelum lahirnya UU NO 16/2012, pengaturan tentang Pedoman Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Militer Di Luar Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dilakukan dengan payung hukum Peraturan Menteri Pertahanan No 7 Tahun 2010. Artinya, impor senjata Polri yang bikin heboh itu juga masuk dalam kewenangan Permenhan ini.

BACA: Polemik impor senjata, skenario drama politik yang gagal?

Jadi, posisi Menhan “merestui” impor tersebut didasarkan kepada dua aturan hukum. Permenhan itu menyebutkan yang dimaksud dengan  senjata api standar militer adalah senjata api yang digunakan oleh TNI  untuk membunuh dalam rangka tugas pertahanan negara dengan kaliber laras mulai dari 5,56 mm ke atas dengan sistem kerja semi otomatis atau full otomatis, termasuk yang telah dimodifikasi.

Senjata api non standar militer adalah senjata api yang digunakan untuk  melumpuhkan dalam rangka tugas penegakan hukum dan kamtibmas,  kepentingan olah raga, menembak dan berburu serta koleksi dengan kaliber aras di bawah 5,56 mm dengan sistem kerja non otomatis, termasuk yang telah dimodifikasi.

Pasal 7 ayat (1) Permenhan menyebutkan: untuk ekspor, impor pembelian, penjualan, produksi, pemilikan, penggunaan, penguasaan, pemuatan, pembongkaran, pengangkutan, penghibahan, peminjaman, pemusnahan senjata api standar militer dan amunisinya diperlukan izin Menteri. Ayat (2) menyebutkan: Senjata api standar militer dan amunisinya sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) untuk kepentingan instansi pemerintah non Kemhan dan TNI, Badan Hukum Nasional Indonesia tertentu, perorangan, kapal laut Indonesia dan pesawat udara Indonesia.

Ayat (3) Pasal 7 menyebutkan menteri berwenang menerbitkan atau tidak menerbitkan sebagian atau  seluruh perizinan untuk ekspor, impor, pembelian, penjualan, produksi, pemilikan, penggunaan, penguasaan, pemuatan, pembongkaran, pengangkutan, penghibahan, peminjaman, pemusnahan senjata api standar militer dan amunisinya.

Polri masuk dalam kategori institusi non-TNI dan non-Kemhan yang diatur dalam Pasal 7 Permenhan tersebut. Sebagaimana diakui Menhan Ryamizard, pihaknya sudah memberikan izin impor senjata ini.

Padahal, karena tingkatannya Peraturan Menteri, Polri bisa menganggap Permenhan 7/2010 tidak mengatur mereka.  Termasuk, kewenangan yang diberikan kepada Mabes TNI dalam Permenhan itu untuk mengawasi dan mengendalikan senjata api standar militer sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Permenhan. 

Lalu, mengapa heboh?  Ini merujuk suasana kebatinan yang terjadi sejak pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo di depan purnawirawan TNI, pada 22 September 2017.

 Dalam rekaman yang beredar di publik,  Gatot mengatakan, “Ada satu institusi yang akan membeli 5.000 pucuk senjata, bukan militer, ada itu Pak. Ada yang memaksa, ada yang akan mempidanakan. Data-data kami akurat. Kami masuk kepada relung-relung intinya, Pak. Tapi hanya untuk kami saja (data itu). Bahkan, TNI pun akan dibeli, tidak semua isinya bersih. Ada yang sudah punya keinginan dengan cara yang amoral untuk meraih jabatan. Saya sudah berjanji mereka akan saya buat merintih, bukan hanya menangis, Pak. Karena ini berbahaya, Pak kalau sudah TNI ke politik, selesai negara ini. Itu lah awal dari perkelahian, kehancuran negara. Maka apa pun akan kami lakukan. Kami mohon doa restu saja, Pak. Mereka memakai nama Presiden, seolah-olah itu dari Presiden yang berbuat. Informasi yang saya dapat kalau bukan A1 maka saya tidak akan sampaikan di sini.”  

Gatot juga mengatakan, “Dan polisi pun tidak boleh memiliki senjata yang bisa menembak tank, dan bisa menembak pesawat, dan bisa menembak kapal. Saya serbu kalau ada. Ini ketentuan.

Gatot mengakui adanya ucapan itu.  Yang dia bantah adalah bahwa informasi yang dia sampaikan bersifat informasi intelijen. Informasi itu pun menurut Gatot tidak dia sampaikan secara resmi kepada media melalui siaran pers.

Menteri Koordinator bidang politik, hukum dan keamanan Wiranto akhirnya memberikan klarifikasinya pada Minggu, 24 September 2017. Wiranto menyebut isu soal pembelian 5.000 senjata ilegal hanya masalah miskomunikasi. Total senjata yang dibeli hanya 500 pucuk, itu pun senjata laras pendek buatan Pindad. Rencananya, senjata itu akan digunakan untuk sekolah intelijen yang dikelola Badan Intelijen Negara (BIN). 

Klarifikasi Wiranto membuat informasi yang disampaikan Gatot menuai kritik karena dianggap tidak akurat.  Tidak sedikit yang menuding Gatot mulai berpolitik dan menyimpan hasrat maju menjadi calon presiden dalam Pemilu 2019.  Minimal menjadi calon wakil presiden. Tapi, tidak sedikit pula yang membela dan memujanya. Termasuk di sini adalah kelompok masyarakat yang menganggap PKI dan komunis sebagai ancaman. 

Suasananya memang dejavu.  Bagi yang membaca sejarah, polemik senjata ini mengingatkan kepada situasi September 1965.  Ketika di kalangan masyarakat tersebar desas-desus tentang kudeta.  Bedanya kini desas-desus ditumpahkan di ranah media sosial. Menjadi topik pemberitaan media konvensional. Informasi “copas dari grup sebelah” menambah hangatnya suasana kebatinan.

BACA: Lima pernyataan kontroversial Jenderal TNI  Gatot Nurmantyo

Jadi, ketika beredar informasi tentang masuknya senjata dan amunisi pada dini hari menjelang 30 September 2017, sebagian menganggap ini yang dimaksud Gatot.  Padahal dari Gatot tidak ada pernyataan lagi.  Kapolri Muhamad Tito Karnavian pun menahan diri tidak komentar. 

Pada tanggal 30 September 2017, malam hari, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Mayjen Pol Setyo Wasisto menggelar jumpa pers bersama Komandan Brigade Mobil (Brimob) Mayjen Pol Murad, mengakui bahwa senjata yang tertahan di kargo Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang itu adalah milik Polri dan barang yang sah.

Perlukah Brimob impor senjata militer?

Setyo mengatakan bahwa ini bukan kali pertama mereka membeli senjata serupa. Pada tahun 2015 dan 2016, benda serupa juga masuk ke Indonesia.  Ia menjelaskan jika Polri membutuhkan senjata dan amunisi tersebut untuk kegiatan anti teror.

“Tugas pokok Brimob kan sebagai personel kepolisian khusus. Intensitas mereka tinggi, ada yang menangani peristiwa anti teror, anti bahan peledak dan sebagainya,” kata Setyo.

 Pernyataan Mabes Polri ini untuk menjawab mengapa polisi membutuhkan senjata standar militer.  Perlukah Brimob memiliki senjata standar militer?

Menilik ke situsnya, dijelaskan bahwa tugas Brimob Polri adalah menanggulangi gangguan kamtibmas berkadar tinggi, utamanya kerusuhan massa, kejahatan berorganisir bersenjata api, bom, bahan kimia, biologi dan radiokatif bersama dengan unsur pelaksana operasional kepolisian lainnya guna mewujudkan tertib hukum serta ketentraman masyarakat diseluruh yuridis Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) dan tugas-tugas lain yang dibebankan padanya.

Menilik sejarahnya Brimob awalnya terbentuk dengan nama Tokubetsu Keisatsutai atau Pasukan Polisi Istimewa. Kesatuan ini pada mulanya diberikan tugas untuk melucuti senjata tentara Jepang, melindungi kepala negara, dan mempertahankan ibukota. Brimob turut berjuang dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Di bawah pimpinan Inspektur Polisi I Mohammad Yasin, Pasukan Polisi Istimewa ini ikut terlibat dalam pertempuran 10 November 1945 melawan Tentara Sekutu, pada masa penjajahan Jepang Brimob dikenal dengan sebutan Tokubetsu Keisatsutai. Pasukan ini yang pertama kali mendapat penghargaan dari Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno yaitu Sakanti Yano Utama

Pada tanggal 14 November 1946, Perdana Menteri Sutan Sjahrir membentuk Mobile Brigade sebagai pengganti Pasukan Polisi Istimewa. Tanggal ini ditetapkan sebagai hari jadi Korps Baret Biru. Pembentukan Mobrig ini dimaksudkan Sjahrir sebagai perangkat politik untuk menghadapi tekanan politik dari tentara dan sebagai pelindung terhadap kudeta yang melibatkan satuan-satuan militer.

Pada tanggal 14 November 1961, satuan Mobrig berubah menjadi Korps Brimob setelah mendapat Pataka Nugraha Sakanti Yana Utama atas perannya dalam perjuangan kemerdekaan dan memerangi separatis. Brimob pernah terlibat dalam beberapa peristiwa penting seperti Konfrontasi dengan Malaysia tahun 1963 dan aneksasi Timor Timur tahun 1975. Brimob sampai sekarang ini kira-kira berkekuatan 30.000 personel, ditempatkan di bawah kewenangan Kepolisian Daerah masing-masing provinsi.

Di dalam tubuh Brimob dibentuk satuan I Gegana, yang memiliki kemampuan khusus seperti anti teror, penjinakan bom, intelijen, anti anarkis, dan penanganan KBR (Kimia, Biologi, Radio aktif).

Tim Gegana yang dijuluki Walet Hitam Gegana menjadi bagian dari satuan khusus Polri mampu menangani tugas-tugas berkadar tinggi. Beberapa tugas yang telah berhasil dilaksanakan oleh satuan ini antara lain Konflik Aceh, Penangkapan teroris Poso, penjinakan bom, dan lain-lain.

Anggota Brimob kini sekitar 30.000 yang tersebar di berbagai kepolisian daerah.

Tentu saja ada situasi di mana Brimob menuai sorotan dalam melaksanakan tugas di lapangan.  Dalam insiden penembakan di Deiyai, Papua, polisi akui 9 anggota Brimob salah prosedur. Kritik atas pelanggaran HAM ditanggapi dengan menyusun modul pelatihan HAM bersama Komnasham.  Saat menangani demo mahasiswa pada Reformasi Mei 1998 pun pasukan huru-hara Brimob menuai kritik pedas.

Begitupun, melihat sejarah, peran dan fungsinya kini, bisa dikatakan Brimob masuk kategori paramiliter yang bernaung di bawah Polri.  Jadi, wajar kah jika Brimob memesan senjata dengan standar militer?

Ini yang harus dijawab pemerintah, terutama oleh KKIP yang merumuskan kebijakan industri pertahanan sesuai kebutuhan yang ada.  Sesuai tantangan yang ada.  Senjata militer atau non militer, canggih atau sederhana, bergantung kepada siapa yang memegangnya. The man behind the gun.

Kalau benar ada isu mengenai ketimpangan anggaran dan kesan bahwa polisi diprioritaskan, harus menjadi perhatian bagi Presiden dan DPR.  Ingat, isu kesenjangan yang terus ditiup-tiupkan bisa membakar nafsu memberontak.  Sejarah sudah memberikan banyak contohnya.  Patokannya adalah tantangan yang ada di depan mata. Apa prioritas negara? 

Heboh pernyataan Panglima TNI Gatot seharusnya tak perlu terjadi jika komunikasi antara pejabat pemerintah lancar dan tulus.  Jika benar Gatot sudah menyampaikan informasi intelijen tentang bakal masuknya senjata ilegal kepada Presiden,seharusnya Presiden sudah memerintahkan memproses  pelakunya sesuai aturan hukum yang berlaku.

 Kalau benar ada impor senjata ilegal dalam jumlah ribuan, maka itu ancaman bagi negara.  Tugas TNI dan Polri bahu-membahu membantu Presiden menjaga negara dan warganya.  Kalau benar, meskipun belum masuk ke Indonesia, tak sulit melacak bukti dokumen pemesanannya.  Kalau sudah ada di Indonesia, yang gerebek saja.  Wong, menggerebek gudang beras saja bisa.  Kalau perlu mengundang media massa.

Kalau Polri menyalahi aturan dalam impor senjata, sikap siap re-ekspor pun menuai pertanyaan.  Mana mau produsen merugi karena sudah terlanjur membayar sewa pesawat, misalnya?  Pilihannya adalah “menitipkan” senjata-senjata itu ke Mabes TNI.  Ini berpotensi menimbulkan kekesalan baru.

Publik lelah dan gagal paham menonton serial kegaduhan yang diproduksi petinggi-petinggi negeri.  Tak habis-habisnya.  

Sejujurnya, salam komando bersama, cium pipi kiri dan kanan di antara para jenderal tak bisa memupus kekhawatiran akan adanya potensi perpecahan di antara instansi yang tugasnya sama-sama melindungi warga bangsa. Kalau muncul lagi polemik serupa, maka salam dan senyum bakal dianggap sebagai topeng pencitraan belaka.  Biasanya yang gemar melakukan pencitraan adalah politisi. – Rappler.com

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!