Setya Novanto dan kepentingan Jokowi di Partai Beringin

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Setya Novanto dan kepentingan Jokowi di Partai Beringin

ANTARA FOTO

Sejarah Golkar diwarnai 'khianat' atas kesepakatan

Ada 171 Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar serentak pada 27 Juni 2018.  Rangkaian Pemilihan Umum yang diadakan pada 17 April 2019 juga dimulai tahun depan. Pada tanggal 4 Juli – 7 Juli 2018, partai harus mengajukan daftar calon anggota DPR dan DPRD.  Bulan berikutnya, 4 – 10 Agustus 2018 proses pendaftaran calon presiden dan wakil presiden dimulai.

Merujuk kepada jadwal pesta demokrasi di atas, saya melihat goncangan yang terjadi di Partai Golkar setelah ketua umumnya, Setya Novanto, resmi menghuni ruang tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setya Novanto yang juga ketua DPR RI itu resmi ditahan selama 20 hari, atas dugaan terlibat kasus megakorupsi KTP Elektronik. Drama perburuan menjerat Novanto mengalahkan keseruan menonton sinetron.

(BACA : Linimasa perburuan Setya Novanto).

Mesin politik partai akan berderu kencang saat rangkaian masa kampanye pemilu termasuk pilkada. Sekarang sudah mulai dipanaskan, dengan informasi tentang ragam komposisi calon pasangan kepala daerah di berbagai tempat.  

Partai Golkar sebagai parpol dengan jumlah suara nomor dua terbanyak di Pemilu 2014, berkepentingan untuk minimal ada di peringkat yang sama. Pilihannya cuma bertahan di posisi kedua atau melorot. 

Berdasarkan hasil survei 3 tahun Pemerintahan Jokowi yang dirilis tangki pemikir Center for Strategic and International Studies (CSIS), ada sejumlah faktor menurunkan elektabilitas parpol.

Sebanyak 44,2% responden menempatkan lemahnya kepercayaan masyarakat pada parpol sebagai masalah utama terbesar saat ini. Berikutnya adalah kepemimpinan parpol yang bermasalah (21,2%), jenjang karier kader yang tidak terencana dengan baik (11,1%), demokrasi internal parpol yang tidak berjalan dengan baik (9,8%), dan menguatnya politik dinasti di sejumlah parpol (7,2%).

Kepemimpinan parpol yang bermasalah, yang paling gampang dibaca publik adalah sosok Setya Novanto di pucuk Beringin, lambang parpol warisan Orde Baru itu.

Pada 2017, ada 101 daerah yang menggelar pilkada, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Namun, Golkar dengan Novanto hanya memperoleh 58% kemenangan dari seluruh calon yang diusung.

Jadi, saat mesin mulai panas, Partai Golkar harus mengerem mendadak. Kali ini “tiang lampu”nya adalah keputusan berani KPK menyeret Novanto ke penjara. Supaya tidak terjungkal dan bisa melanjutkan perjalanan, Partai Golkar segera menggelar rapat pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Selasa siang, 21 November 2017.

Sekretaris Jenderal Idrus Marham sudah mengumumkan, Golkar memutuskan menarik Novanto dari posisi ketua DPR RI dan ketua umum parpol. Hal ini akan diputuskan dalam rapat pleno DPP.  Setelah itu, siapa pengganti Novanto di kursi ketum?  

Golkar punya mekanisme-nya. Ketum dipilih oleh musyawarah nasional luar biasa (munaslub). Yang diputuskan dalam pleno DPP adalah Pelaksana tugas (Plt) ketum. Novanto menjadi ketum Golkar lewat munaslub juga, tanggal 17 Mei 2016.

Dari media dan bisik-bisik di kalangan elit parpol, dua nama mencuat sebagai calon pelaksana ketua umum selama Novanto berhalangan tetap.  Airlangga Hartarto yang pernah mencalonkan diri sebagai ketua umum Golkar tahun lalu, dianggap sebagai calon yang direstui Istana untuk menggantikan Novanto. 

Airlangga kini menjabat Menteri Perindustrian. Masuknya Airlangga ke kabinet Jokowi adalah bukti merapatnya rezim Golkar pimpinan Novanto ke kubu penguasa, Presiden Joko “Jokowi” Widodo.  Salah satu bukti keberhasilan konsolidasi politik Jokowi.

Ketika dicegat media setelah bertemu Jokowi di Istana, Senin, 20 November 2017, Airlangga mengatakan, “Pertama, saya bergantung kepada aspirasi yang berkembang di daerah dan kedua, kepada bapak.”  Ini menjawab pertanyaan tentang apakah dia siap menjadi pengganti Novanto sebagai ketum.

Ada sejumlah nama yang dianggap ingin menjajal kekuatan sebagai ketum. Termasuk Idrus Marham.  Idrus, politisi berpengalaman yang mengendalikan mesin sekretariat Golkar secara penuh waktu, sejak rezim ketua umum Aburizal Bakrie, mendapat dukungan kuat untuk menjadi Pelaksana tugas (Plt) ketum dari Novanto. Ketua Dewan Pakar Agung Laksono menyampaikan dukungan atas penunjukan Idrus Marham dalam jumpa pers sesudah rapat pleno dewan pakar, Senin, 20 November 2017.

Bahkan kubu Wakil Presiden Jusuf Kalla disebut-sebut bisa sepakati penunjukan Idrus Marham sebagai Plt ketum, seraya mempersiapkan musyawarah luar biasa (munaslub) untuk memilih pengganti Novanto.  

Jusuf Kalla yang pernah menjadi ketum Partai Golkar sangat kritis kepada Novanto. Dia misalnya, meminta Rumah Sakit yang merawat Novanto saat mengaku sakit bulan lalu, menjelaskan apa penyakit Novanto.

Dewan pakar menyarankan munaslub digelar Desember 2017.  Jadwal pendaftaran pasangan calon ke Komisi Pemilihan Umum tanggal 8-10 Januari 2018.

Restu Presiden

Siapa Plt dan ketum berikutnya tidak hanya penting bagi Golkar, termasuk bagi Novanto yang tentu ingin keputusannya dijalankan.  Siapa memimpin Golkar juga penting bagi Jokowi untuk Pilpres 2019.  

Golkar rezim Novanto-Idrus sudah menyatakan dukungan kepada Jokowi di Pilpres 2019.  Dukungan kepada Jokowi juga diberikan Ketua Dewan Pembina Golkar Ical Bakrie, dan Ketua Dewan Pakar Agung Laksono.

(BACA : Golkar dukung Jokowi di Pilpres 2019)

Komunikasi politik antara Jokowi dan Golkar selama ini dijembatani sosok Luhut Binsar Panjaitan, kader Golkar dan karib dekat Ical Bakrie yang kini menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman.  

Luhut juga bertemu dengan Jokowi, Senin, 20 November.  Sebagaimana Airlangga Hartarto, dia mengelak dari sinyalemen dirinya bertemu Jokowi membicarakan tentang kosongnya kursi ketum Golkar sesudah Novanto ditahan.

Jika Idrus bisa diterima semua faksi di Golkar sebagai Plt, apakah dia layak melaju ke kursi ketum dan secara definitif menggantikan Novanto? 

Menilik rekam jejak, ketua umum di parpol Beringin biasanya dijabat oleh orang yang memiliki dukungan atau akses di kekuasaan, dan atau memiliki pundi-pundi uang. Di era Soeharto praktis keputusan ada di tangan Soeharto. Setelah reformasi, Akbar Tanjung menjabat sebagai ketum seraya menjadi ketua DPR RI.  Jusuf Kalla memenangi kursi ketum ketika menjabat wapresnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.  

Aburizal Bakrie merebut kursi ketum ketika menjabat menko kesra di ujung periode pertama Presiden SBY.  Ical yang pengusaha punya duit juga. Keketuaan Akbar didukung untuk mengamankan posisi  Presiden BJ Habibie di era transisi pemerintahan dari Soeharto ke Habibie.  Akbar juga dinilai berjasa menjaga suara Golkar tidak terjun bebas dari peringkat selalu menjadi juara 1 di era Orba.  Golkar yang dihajar habis oleh kritik publik saat reformasi bertengger di posisi kedua.  Sampai sekarang. 

JK dan Ical juga cerminan dukungan ke kekuasaan SBY. Meskipun kemudian JK dan SBY berpisah jalan di Pilpres 2009, dan Ical memilih mendukung SBY bahkan sempat didapuk menjadi ketua sekretariat gabungan koalisi parpol pendukung SBY.

Dengan rekam jejak dan kebiasaan Golkar untuk selalu menjadi bagian dari kekuasaan, tidak heran jika siapa bakal ketum pengganti Novanto bergantung pula kepada restu Presiden saat ini, yaitu Jokowi.

Ada simbiosis mutualisme politik. Golkar butuh kekuasaan, karena mendatangkan akses dan peluang politik serta mengamankan kepentingan bisnis elitnya. Golkar ditopang jejaring pengusaha sampai ke daerah, terutama  anggota Kadin. Jokowi membutuhkan dukungan politik, karena bergantung kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menugasinya sebagai presiden, tidak cukup untuk mengamankan dukungan di parlemen dan di Pilpres 2019.

Membiarkan KPK mencokok Novanto pun tak lepas dari proyeksi 2019.  Elektabilitas Jokowi bisa terganggu jika dianggap publik masih runtang-runtung, foto bersama senyam-senyum dengan dalih hubungan antar pimpinan lembaga negara.  

Kalaupun ada yang menganggap strategi “menyandera” Golkar dengan membiarkan parpol ini dipimpin figur bermasalah akan lebih mudah bagi Jokowi mengendalikan parpol, ini bisa menjadi bumerang.

Posisi Jokowi di Pilpres 2019 belum aman, meskipun lembaga survei masih menempatkannya di peringkat 1 dari sisi elektabilitas. Survei Populi Center dilakukan pada 19 Oktober-26 Oktober 2017 mengunggulkan Jokowi dengan elektabilitas 49,4%. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di posisi ke-2 dengan elektabilitas 21,7%.

Menurut survei CSIS yang dirilis 12 September 2017, elektabilitas Jokowi masih tertinggi dibandingkan yang lain, yaitu 50,9%, meningkat 9% dibandingkan tahun 2016. Sementara, di posisi kedua ada Prabowo Subianto di posisi kedua dengan 25,8%, relatif stagnan dibandingkan dengan angka 2016 sebesar 24,3%.

Hasil survei Polmark , yang dipimpin Eep Saefulloh Fatah, jika diadakan Pilpres hari ini, Jokowi mendapatkan dukungan 41,2%, sedangkan Prabowo 21%.   

Eep berada di kubu Anies Baswedan dan Sandiaga Uno saat pasangan ini memenangi Pilkada DKI 2017. Anies-Sandi mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful yang sebelumnya diunggulkan sejumlah lembaga survei politik.

Saiful Mujani Research & Consulting yang juga melakukan survei pada September 2017, mengumumkan tingkat keterpilihan Jokowi adalah 38,9%, sedangkan Prabowo di peringkat ke-2 dengan hanya 12%.  Bedanya jauh.

Hasil survei menunjukkan elektabilitas Jokowi belum aman untuk menang di Pilpres 2019. Gencarnya membangun infrastruktur belum cukup.  Pertumbuhan ekonomi tidak sesuai janji, meskipun ini dipengaruhi aspek global.  

Elektabilitas di Pilpres 2019 bakal lebih sulit dicapai. Tidak hanya cukup dengan bagi-bagi sepeda dan buku tulis dan selfie. Bahkan berkah konser megah bertabur selebriti belum tentu mujarab lagi.

Survei-survei di atas juga dilakukan saat belum ada kandidat penantang yang secara resmi mengumumkan bakal berlaga melawan Jokowi.

Masih ingat bagaimana Basuki “Ahok” Purnama melenggang jauh di depan di awal menghangatnya mesin Pilkada DKI Jakarta?

Direktur Eksekutif CSIS Phillip J. Vermonte dalam sebuah acara yang digelar Kennedy, Voice & Berliner, sebuah perusahaan komunikasi, mengakui uniknya pemilih di Indonesia. “Cuma di sini, terutama dalam Pilkada Jakarta, di mana calon yang memiliki tingkat kepuasan publik tinggi saat menjabat di periode pertama, kalah untuk periode ke-2,” kata dia. 

Menurut SMRC Jokowi memiliki tingkat kepuasan 60% saat ini.  Pilkada DKI Jakarta dianggap unik karena ada calon yang dianggap punya stigma minoritas ganda, yaitu Ahok yang berasal dari etnis Tionghoa dan beragama Kristen.  

Di Pilkada lain, dan di Pilpres kasusnya mungkin berbeda karena biasanya kandidatnya beragama Islam. Variasi adalah dalam hal asal daerah wapres.  Presiden selalu dari suku Jawa yang jumlahnya paling besar.

Dalam konstelasi politik 2019 lah, kita melihat kepentingan Jokowi di Partai Golkar. Pentingnya dukungan Golkar, misalnya disampaikan oleh Ace Hasan Syadzili, politisi partai Beringin. 

“Tanpa dukungan Partai Golkar, mungkin pemerintahan Jokowi tidak bisa stabil. Contohnya, kami berada di garis pendukung pertama yang mendukung program tax amnesty dan kasus Kapolri sebelumnya,” ujar Ace, dalam diskusi  terkait survei politik.  Ace adalah anggota Komisi III DPR , yang juga sekretaris tim pemenangan Ahok-Djarot di Pilkada DKI Jakarta.

Apakah berarti Airlangga Hartarto kandidat kuat ketum?  Masih ada waktu sampai munaslub. Airlangga sudah mengatakan tergantung “bapak”.  Di sini artinya Presiden.  

Pentingnya posisi puncak ini juga berkaitan dengan kelangsungan keputusan dukungan bagi calon kepala daerah.  Jika menang di Pilkada serentak 2018, mereka diharapkan menjadi mesin pelumas bagi roda organisasi ke Pemilu April 2019. Jokowi berharap berkahnya di etape terakhir Pilpres 2019.

Tapi Golkar juga parpol yang diwarnai gonjang-ganjing saling ‘khianat’ atas kesepakatan.  Tak heran lahir dalam perjalanannya lahir parpol-parpol sempalan.  Apakah kali ini bakal muncul gertakan lain?  – Rappler.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!