‘Nikahkan saja, biar tidak zina’

Adelia Putri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

‘Nikahkan saja, biar tidak zina’

EPA

Logika berpikir siapa yang salah sebenarnya?

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan peningkatan usia minimum pernikahan kemarin, Kamis, 18 Juni. Menurut para hakim, usia 16 tahun sudah cukup memadai bagi perempuan untuk menikah — terlepas dari fakta jika umur 16 tahun masih tergolong anak-anak yang belum matang dan tentunya belum siap untuk punya anak. 

Sembilan hakim MK punya rentetan alasan untuk menolak permohonan ini. Kamu bisa baca di sini. Hanya ibu Maria Farida, satu-satunya perempuan di jajaran hakim konstitusi, yang sepertinya punya logika baik sehingga ia mengeluarkan dissenting opinion.

Hanya ia yang mempertimbangkan resiko yang dialami perempuan ketika menikah muda dan melihat pembatasan usia pernikahan sebagai upaya melindungi anak, bukan membatasi hak asasi mereka. Rasanya saya ingin tepuk tangan ketika ia membacakan dissenting opinion. Sayangnya, tidak boleh ribut di dalam ruang sidang.

Dari segala macam alasan mahkamah, ada satu yang membuat saya melongo.

Dari asas perkawinan tersebut tidaklah dikenal umur minimal demi untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar, apalagi perkembangan dewasa ini, bagi manusia pada zaman sekarang, di mana kemungkinan kemudharatan tersebut jauh lebih cepat merebak karena dipengaruhi oleh berbagai macam keadaan seperti makanan, lingkungan, pergaulan, teknologi, keterbukaan informasi, dan lain sebagainya, sehingga mempercepat laju dorongan birahi. Dorongan birahi itu semestinya dapat disalurkan melalui perkawinan yang sah sebagaimana ajaran agama sehingga tidak melahirkan anak di luar perkawinan atau anak haram atau anak ranjang.”

Terlalu panjang? Intinya, mereka ingin bilang kalau usia perkawinan muda dapat mengurangi zina, apalagi saat ini, kemungkinan anak untuk berbuat yang macam-macam semakin besar.

Masih bingung? Saya buat singkat ya. “Daripada zina, nikahkan saja!” Begitu.

Pemohon dan pihak terkait setelah persidangan MK. Foto oleh: Adelia Putri/Rappler

Jadi, dengan melegalkan perkawinan anak, angka perzinaan bisa ditekan, begitu? Kalau masalahnya ada di perilaku seks di luar nikah, kenapa bukan itu yang diurus? Kenapa malah menciptakan masalah baru dengan menyuruh mereka menikah?

Alasan tersebut mungkin bisa diterima untuk orang dewasa, tapi apa iya agama memaksudkan “Menikahlah kamu untuk menjauhi zina” kepada mereka yang belum akil baligh?

Ingat, akil baligh bukan hanya masalah organ tubuh, tapi juga kematangan jiwa, sosial, dan ekonomi.

Lagi pula, memangnya anak umur 16 tahun sudah siap membina rumah tangga? Apa mereka sudah tahu apa artinya menikah dan menghabiskan hidup dengan satu pasangan? Saya yang sudah berusia 24 tahun saja masih suka bingung melihat teman-teman yang menikah di umur 22 atau 23.

Yang paling penting, memangnya menikah cuma urusan seks?

Menikah itu, kalau mengutip risalah sidang kemarin, “Tidaklah semata-mata urusan duniawi. Beberapa asas dalam perkawinan adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kemitraan suami istri, untuk selama-lamanya, dan personalitas pasangan.”

Jadi, harusnya alasan seks tidak dijadikan landasan utama untuk menyuruh seseorang menikah, apalagi kalau masih di bawah umur.

Sepertinya ada yang salah dengan logika berpikir para hakim. Melegalkan pernikahan anak untuk mengurangi perzinaan itu ibarat mengatasi masalah dengan masalah. Kalau teman saya bilang, gatalnya di mana, garuknya di mana. Nggak nyambung.

Kalau niatannya ingin mengurangi zina, ya bukan pernikahan jawabannya. Apalagi untuk anak remaja di bawah umur. Kalau ingin memperbaiki perilaku anak-anak, bisa melalui pendidikan dan penyuluhan, bukan dengan memberikan mereka tanggung jawab besar.

Tahu apa sih, anak-anak itu tentang tanggung jawab berumah tangga? Saya yang tinggal di ibukota saja masih sibuk memikirkan nilai dan boyband favorit ketika saya berumur belasan tahun.

Lagipula, jika dilihat, pernikahan dini lebih banyak terjadi karena kondisi sosial ekonomi yang tidak memadai, bukan karena tidak bisa menahan nafsu. Jadi, bukankah pernikahan anak dan perzinaan dua hal yang sebenarnya tidak dekat korelasinya?

Mungkin logika ini tidak terpikirkan oleh majelis hakim saat memberikan pendapat. Ah, sudahlah. Toh putusan sudah keluar.

Kini kita cuma punya satu upaya terakhir: membujuk anggota DPR mengubah UU Perkawinan melalui legislative review. Itu juga kalau mereka mau menggunakan logika berpikir yang masuk akal. —Rappler.com 

  Adelia Anjani Putri adalah multimedia reporter di Rappler Indonesia. Follow Twitter-nya di @adeliaputri. 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!