Philippine volleyball

Kekerasan dalam pacaran fenomena sunyi di Indonesia

Devi Asmarani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Renata, seorang mahasiswi, sudah memahami polanya. Jika sahabatnya Alia memakai kacamata hitam di dalam ruangan, atau jika ia tidak seperti biasanya memakai blus lengan panjang bukannya kaos singlet, atau jika ia menghindar bertemu di kampus selama seminggu penuh, Renata tahu apa yang tidak seharusnya ia tanyakan.

“Kita tahu apa yang terjadi, tapi rasanya tidak nyaman untuk bertanya dan ia tidak akan menjawab juga. Ia tidak pernah membiarkan saya berkata yang buruk tentang pacarnya,” ujar Renata.

Suatu kali ia pernah mencoba bertanya, ketika Alia sempat membuka kacamata hitamnya dan terlihat ada lebam di dekat matanya, tapi ia segera menepis pertanyaan itu. Renata tidak mendengar kabar kawannya itu selama tiga minggu setelahnya.

Respon Renata atas hubungan berisi kekerasan yang dijalani sahabatnya bukanlah hal yang tidak umum. Di Indonesia, ketika kekerasan dalam pacaran jarang dibicarakan, banyak orang seringkali menutup mata pada penyiksaan yang terjadi di depan mata mereka, membuat masalah itu fenomena yang sunyi.

Tahun 2014, Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima sekitar 800 laporan mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam wilayah pribadi, 59 di antaranya terjadi dalam perkawinan, 21 persen dalam hubungan pacaran, dan 20 persen terhadap anak-anak. Sisanya adalah kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, dan terhadap pembantu rumah tangga. Angka ini, tentu saja, hanya mewakili puncak gunung es. 

Gabungan berbagai faktor telah memicu peningkatan jumlah kekerasan dalam berpacaran, di antaranya fakta bahwa teman-teman tidak melakukan intervensi, masyarakat Indonesia yang umumnya masih patriarkal, dan sistem hukum yang tidak berpihak pada korban.

Ragam wajah kekerasan

Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan, kekerasan dalam pacaran terjadi karena cinta masih dianggap sebagai kepemilikan dalam budaya Indonesia. Selain itu, banyak orang Indonesia yang tidak sadar akan hak-hak hukum dan pribadi mereka.

“Banyak orang tahu apa yang benar dan apa yang seharusnya mereka lakukan, namun mereka tidak tahu hak-hak mereka,” ujar Mariana dalam sebuah seminar mengenai kekerasan dalam pacaran, yang diadakan baru-baru ini oleh Yayasan Pulih di Universitas Indonesia (UI).

Hal-hal sederhana seperti privasi, misalnya, dianggap remeh. Banyak orang Indonesia tidak menganggap pengecekan secara diam-diam atas telepon atau surat elektronik pacar, atau peretasan akun Facebook mereka sebagai bentuk kekerasan.

Cemburu ekstrim, posesif dan rasa tidak aman dianggap sebagai ekspresi cinta. Merendahkan pacar atau mempermalukannya di depan umum tidak dilihat sebagai bentuk penyiksaan, demikian juga mengisolasi pasangan dari keluarga atau teman-temannya. Bagi sebagian besar orang Indonesia, penyiksaan itu terjadi hanya jika ada kekerasan fisik.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk kekerasan/penyiksaan, lihat infografis di bawah ini.

Infografis oleh Stu Astuti

“Tujuan dari kekerasan dalam pacaran adalah untuk menanamkan kontrol,” ujar Angesty Putri Ageng, psikolog sukarela di Yayasan Pulih, yang memberikan konseling dan bantuan litigasi untuk para korban kekerasan.

“Biasanya ada pola untuk perilaku kekerasan. Pertama, periode ledakan ketika kekerasan fisik, emosional, verbal atau seksual terjadi; diikuti dengan masa bulan madu ketika pelaku meminta maaf, menyalahkan kekerasan yang dilakukannya terhadap hal lain dan berjanji berubah.” 

Seringkali para korban tidak dapat membedakan antara perilaku romantis dan posesif. 

Selain itu, dalam sebuah budaya yang masih menganggap keperawanan hal yang sakral, hubungan seksual pra-pernikahan dianggap sebagai bukti cinta dan kepercayaan. Tapi bagi perempuan muda, hubungan seksual seringkali terkait dengan pemerasan emosional, misalnya dengan perkataan: “Jika kamu berbuat baik pada saya, saya akan menikahimu, tapi jika kamu tidak melakukan apa yang saya katakan, saya akan meninggalkanmu dan memberitahu semua orang bahwa kamu sudah tidak perawan lagi.” 

Kekerasan dalam pacaran tidak hanya terjadi pada remaja, namun juga orang dewasa. Namun bagi remaja, faktor biologis berperan besar karena otak mereka belum sepenuhnya berkembang. 

Kekerasan dalam pacaran terjadi karena cinta masih dianggap sebagai kepemilikan dalam budaya Indonesia.

 – Mariana Amiruddin, Komnas Perempuan

Menurut Melia Christo, dosen di Fakultas Psikologi UI: “Dalam otak remaja, amygdala yang mengatur emosi berkembang lebih cepat dibandingkan pre-frontal cortex yang mengatur fungsi eksekutif. Karena bagian korteks tersebut belum berkembang penuh, hal ini mengarah pada perilaku berisiko. Mereka masih yakin dalam ‘dongeng pribadi’ mereka, mereka tidak akan menderita konsekuensi-konsekuensi yang mereka lakukan, sehingga terjadilah hal-hal seperti hubungan seks tidak aman.” 

Periode lanjut masa remaja atau awal 20an adalah juga masa ketika banyak laki-laki dan perempuan muda bergulat dengan isu kepercayaan diri atas citra tubuh dan kebingungan akan peran gender, seperti bagaimana menjadi pasangan yang baik, dan bagaimana menjadi perempuan dan laki-laki ideal.  

Konstruksi gender tradisional kita juga memainkan peran besar. Kristi Poerwandari, psikolog dan profesor studi gender di UI, mengatakan, pria cenderung melihat emosi seperti takut, malu dan sedih sebagai feminin, sehingga ketika mereka merasa takut atau terancam, emosi itu secara mudah bergeser menjadi kemarahan, yang dianggap sebagai maskulin. 

Ironinya adalah pria lebih mungkin mengalami kekerasan dibandingkan perempuan, ujar Kristi. Anak laki-laki lebih mungkin dipukuli oleh orangtua mereka dan secara fisik di-bully oleh teman sebayanya. Hal ini menjelaskan mengapa sulit bagi laki-laki untuk menemukan solusi atas masalah tanpa melibatkan kekerasan. 

Dalam hubungan yang tidak setara, pria merasa berhak menuntut pasangannya memenuhi kebutuhannya. Jika si perempuan pernah melakukan hubungan seks sebelumnya, ia akan menuntut hal yang sama. 

“Persepsinya adalah bahwa perempuan yang ‘tidak baik-baik’ dapat diperlakukan seenaknya. Dan dalam kasus kekerasan, pelaku seringkali menyalahkan korban, atau meminimalisir dampak kekerasan, atau bahkan menganggap diri sebagai korban,” ujarnya. 

Cari pertolongan

Ada beberapa tempat bagi korban kekerasan untuk mencari pertolongan. Beberapa rumah sakit, seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Jakarta, memiliki pusat-pusat layanan terintegrasi untuk perempuan dan anak-anak, dan beberapa kantor polisi menyediakan layanan khusus untuk melaporkan kasus kekerasan.

Namun kurangnya kapasitas sumber daya manusia dalam menangani kekerasan dalam pacaran masih nyata terlihat. Sebagian besar penegak hukum praktis tidak memiliki perspektif kesetaraan gender. 

“Biasanya petugas pria yang melakukan pemeriksaan dan sayangnya, mereka cenderung bias budaya dan melihat perempuan lebih rendah daripada laki-laki,” ujar Melia. 

Hal ini membuat penanganan kasus-kasus kekerasan bersifat ceroboh, sehingga korban tidak diberi perlindungan yang dibutuhkan dan bahkan dipersalahkan atas kekerasan yang terjadi. Bias agama merupakan sebagian dari akar permasalahan karena melihat hubungan pra-nikah sebagai dosa. 

“Ada orang-orang yang menganggap hubungan pra-nikah terlarang karena merupakan zina,” ujar Mariana. 

“Dalam kasus-kasus pemerkosaan, perempuan ditanya oleh para hakim, ‘Pakaian seperti apa yang kamu kenakan? Apakah kamu menikmati hubungan seks?’ Para siswi atau mahasiswi yang hamil karena seks pra-nikah dipersalahkan karena merayu laki-laki. Dalam kenyataannya, banyak perempuan muda yang melaporkan kekerasan seksual pada kita bersifat pemalu dan sangat penakut,” tambahnya. 

Banyak orang Indonesia tidak menganggap pengecekan secara diam-diam atas telepon atau surat elektronik pacar, atau peretasan akun Facebook mereka sebagai bentuk kekerasan.

Situasi ini diperburuk dengan tidak adanya aturan mengenai kekerasan dalam pacaran. Meski ada undang-undang mengenai kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap anak-anak, sebagian besar korban kekerasan dalam pacaran kesulitan mendapatkan keadilan karena tidak ada undang-undang mengenai kekerasan yang terjadi dalam hubungan non-pernikahan. 

Ratna Batara Munti, Direktur Lembaga Bantuan Hukum – Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), yang memberikan konseling hukum bagi perempuan korban, mengatakan: “Tidak ada lex specialis (hukum yang mengatur hal khusus) mengenai kekerasan dalam pacaran. Secara teori, kekerasan dalam pacaran dapat dibawa ke pengadilan menggunakan beberapa pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tapi pembuktian gugatan merupakan tantangan, terutama dengan adanya bias personal dari mereka yang ada di dalam sistem peradilan.” 

Menyeret kasus kekerasan seksual atau pemerkosaan ke pengadilan terutama sulit. Berdasarkan undang-undang di Indonesia, kasus pemerkosaan harus diverifikasi oleh dua saksi, termasuk korban pemerkosaan. Menemukan saksi lain dalam kasus pemerkosaan hampir mustahil. Dalam kasus kekerasan dalam pacaran, sejarah seksual pasangan tersebut sering digunakan untuk menepis gugatan korban. 

“Petugas penegakan hukum enggan memproses kasus-kasus tersebut dan seringkali menyimpulkan bahwa kekerasan seksual atau pemerkosaan adalah tindakan seksual yang konseksual. Seringkali kita sebagai pendamping sukarela untuk para korban dibebani tugas mencari bukti, pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh penegak hukum,” ujar Ratna. 

Dalam banyak kasus, solusi untuk kekerasan dalam pacaran, khususnya yang melibatkan kekerasan seksual, adalah pernikahan, terutama untuk menyelamatkan nama keluarga, tetapi hal ini semakin mengorbankan keamanan perempuan. 

Namun masih ada harapan. Angesty mengatakan sistem pengadilan Indonesia semakin terbuka menerima testimoni psikolog sebagai saksi ahli, terutama dalam kekerasan seksual dan psikologis. Yayasan Pulih menyediakan psikolog sukarela untuk konseling bagi korban kekerasan, serta menyediakan saksi ahli dalam kasus-kasus kekerasan. 

“Psikolog memiliki peran bernilai di Yayasan Pulih, kami selalu memerlukan mereka terutama dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Kami memberikan mereka pelatihan gratis, bekerja sama dengan APIK,” tambahnya. 

Yang harus dilakukan 

Jika kamu korban kekerasan dalam pacaran, berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan:

  • Percayai insting sendiri bahwa ada yang tidak beres dengan hubungan.
  • Perhatikan intensitas kekerasan: apakah semakin memburuk/meningkat seiring waktu?
  • Luangkan waktu bersama orang-orang yang mempedulikanmu. Jangan hilang kontak dengan sahabat-sahabat terdekat.
  • Lakukan aktivitas-aktivitas yang dinikmati untuk mempertahankan hal-hal positif dalam hidup.  
  • Cari informasi mengenai dukungan bagi para korban kekerasan di sekelilingmu. Ada tempat-tempat yang dapat memberikan bantuan seperti terlihat dalam daftar di sebelah kiri.

Jika kamu punya teman atau tahu seseorang yang menjadi korban kekerasan:

  • Tanya apakah ada sesuatu yang salah dengan mereka. Jangan menunggu sampai mereka memberitahumu, karena saat itu terjadi kadang-kadang keadaan sudah terlambat.
  • Perlihatkan kekhawatiranmu, jangan persalahkan mereka.
  • Dengarkan dan tanya lagi untuk memastikan kita mendengar kisah mereka. Jangan paksa mereka untuk memberitahu, dan jangan mencoba menawarkan solusi.
  • Beri mereka informasi dan tawarkan bantuan. Jangan beri mereka nasihat.
  • Dukung keputusan mereka.
  • Bicarakan dengan orang dewasa yang kamu percayai.

 

Devi Asmarani adalah pemimpin redaksi Magdalene.co, situs yang membahas isu-isu kewanitaan. Follow Twitter-nya,  @dasmaran.

Artikel ini diterjemahkan dari versi Bahasa Inggris

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!