‘Orang-orang di persimpangan jalan’

Pangeran Siahaan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

‘Orang-orang di persimpangan jalan’

GATTA DEWABRATA

Puisi tentang sejarah kemerdekaan Indonesia dan mereka yang dilupakan olehnya.

Pangeran Siahaan, seorang penulis politik muda, mengajak kita untuk mengingat kembali sepenggal bagian kecil dari perjalanan Bung Besar, Bung Kecil, Muhammad Hatta, Tan Malaka, Chaerul Saleh, Wikana, Soekarni, Darsono, Semaun, Alimin dan Amir Sjarifuddin, melalui sebuah puisi.

Berikut ini adalah puisi yang ia bacakan dalam sebuah acara open mic malam puisi Unmasked 2: Roots yang diadakan di Paviliun 28, Jakarta Selatan.

Orang-orang di persimpangan jalan

Sejarah tidak hanya ditulis oleh mereka yang menang perang

tapi juga oleh mereka yang senang perang

yang terus memberang saat ada terang dalam pikiran 

yang membebaskan jiwa-jiwa dari pelukan manja abdi negara berujung sangkur dan peluru 

 

Ketika Ibu menggelar pesta rumah baru

ia memanggil semua orang datang membantu

Dari tukang batu, tukang baju, tukang baru, hingga tukang ragu. 

Selalu ada ruang kosong di rumah yang belum rampung 

untuk menampung berbagai pelampung

dari Banda Aceh hingga Bandar Lampung

Dari ujung ke ujung

Kampung ke kampung

Karung ke karung

Sarung ke sarung

Mulut ke lambung

Yang membuat seruan khas rumah bordil terdengar revolusioner:

Bung, ayo bung!

 

Namun ketika pesta usai dan ibu tertidur lunglai karena mabuk kacang sangrai

Mereka yang berada di persimpangan jalan

Terpaksa menghapus nama mereka dari catatan

Agar tak dikenal oleh peradaban

Agar lekang oleh ingatan

Agar menguap oleh perkembangan zaman

Agar lenyap dari buku-buku yang diajarkan dari SD Inpres hingga SMA unggulan

 

Pada akhirnya bukan peluru Belanda yang membunuh mereka

Bukan pedang Jepang yang membuat mereka mengerang

Tanya mengapa mereka terpaksa kabur dan tak bisa pulang

Tanya mengapa Soekarno hanya diobati dokter hewan

Tanya mengapa Sjahrir harus berdiam di Switzerland

Tanya mengapa pada akhirnya tangan-tangan yang mencengkeram mereka 

Adalah tangan-tangan yang pada suatu pagi jaya di bulan puasa mereka sebut saudara

 

Maka aku bersaksi atas nama:

Bung Besar

Bung Kecil

Muhammad Hatta

Tan Malaka

Chaerul Saleh

Wikana

Soekarni

Darsono

Semaun

Alimin dan

Amir Sjarifuddin

 

Sekali lagi ku katakan bahwa aku bersaksi atas nama:

Bung Besar

Bung Kecil

Muhammad Hatta

Tan Malaka

Chaerul Saleh

Wikana 

Soekarni

Darsono

Semaun

Alimin dan 

Amir Sjarifuddin

 

Inilah konklusi yang hakiki dari dramaturgi republik berkalang minyak, darah, dan api

Kepalan tangan di Ikada adalah kepalan tangan yang sama di Trisakti dan Semanggi

Terhapus, tersingkir, terpinggir, tapi tak akan pernah hilang sama sekali.

Dari dalam kubur, suara kami akan lebih nyaring dari di atas bumi!

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!