Indeks persepsi korupsi 2015: Mengapa Surabaya lebih baik daripada Bandung?

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Indeks persepsi korupsi 2015: Mengapa Surabaya lebih baik daripada Bandung?

AFP

Surabaya dan Bandung sama-sama alami kenaikan skor dari survei persepsi korupsi sebelumnya

JAKARTA, Indonesia — Transparency International Indonesia (TII) mengumumkan hasil survei Indeks Persepsi Korupsi di 11 kota, hari ini, Selasa, 15 September. Berdasarkan hasil survei, Surabaya mendapatkan skor lebih tinggi dari Bandung.

Skor indeks persepsi korupsi Surabaya adalah 65 poin, sedangkan skor untuk Bandung adalah 39. Semakin tinggi skor, kota tersebut dianggap semakin bersih dari korupsi. 

Apakah ini berarti Surabaya lebih baik dari Bandung?

Menurut Ketua Dewan Pengurus TII Natalia Soebagjo tidak ada perbedaan antara Surabaya dan Bandung dalam hal indeks persepsi korupsi tahun ini. Natalia memaparkan data bahwa Surabaya dan Bandung sama-sama mengalami kenaikan skor sebesar 6-7 poin.

Surabaya naik 6 poin dari survei sebelumnya, yaitu 59 poin. Sedangkan skor indeks persepsi korupsi untuk Bandung naik 7 poin dari skor sebelumnya sebesar 32 poin. 

Pertimbangan lainnya, Surabaya dan Bandung berangkat dari skor yang berbeda. Surabaya telah lebih dulu mendapat skor tinggi. Sedangkan Bandung memang berangkat dari skor rendah. 

Justru, kata Natalia, kenaikan skor Surabaya dan Bandung memiliki pesan yang sama.

“Ada optimisme dari pengusaha bahwa Bu Risma (Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini) akan tetap terus memperbaiki sistemnya. Sama dengan (Wali Kota Bandung) Ridwan Kamil,” kata Natalia.

Namun demikian, Koordinator Knowledge Management Program TII Wawan Heru Suyatmiko memberikan catatan khusus pada kedua kota ini.

Menurutnya, Surabaya memang memiliki kelebihan dari Bandung. Salah satunya adalah Sistem One Window Service yang dimiliki Kota Surabaya.

Sistem tersebut, kata Wawan, merupakan salah satu faktor penunjang tingginya indeks persepsi korupsi kota ini.

“Meskipun mereka enggak punya PTSP (Pelayanan Terpada Satu Pintu) tetapi mereka mengadopsi SOP (Standar Operasi Prosedur) dan SPM (Standar Pelayanan Minimal) yang benar-benar on the right time, free of charge, dan hanya butuh waktu 3-5 hari,” ujar Wawan.

Sedangkan, masih menurut Wawan, di Bandung saat ini belum terjadi hal-hal tersebut.

“Pengusaha lebih melihat inovasi apa yang Ridwan miliki. Apakah PTSP sudah sesuai dengan SOP dan SPM? Karena hal-hal tersebut lah yang kemudian dinilai oleh para pengusaha.”

Tidak dapat dipungkiri bahwa seorang kepala daerah memiliki peranan penting dalam pemberantasan korupsi. Pengusaha di Bandung kini justru menunggu gebrakan birokrasi dari Ridwan.

Akan tetapi, menurut Natalia, dalam indeks ini yang dinilai adalah kualitas interaksi pengusaha dengan lembaga-lembaga negara yang terkait dengan dunia usaha mereka.

“Jadi bukan Risma-nya, bukan Ridwan-nya,” jelas Natalia.

Apalagi, Ridwan baru menjabat sebagai wali kota Bandung sejak 2013. Hal ini, ujar Natalia, tak bisa dibandingkan dengan Risma yang sudah menjabat selama satu periode.—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!