Nyanyi sunyi Nawa Cita setahun Jokowi-JK

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Nyanyi sunyi Nawa Cita setahun Jokowi-JK
Berangkat dari Nawa Cita, bagaimana refleksi setahun kepemimpinan Jokowi-JK?

Apa yang bisa kita banggakan dari pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo dan Jusuf Kalla selama setahun terakhir? Jika Anda percaya bahwa Jokowi bisa membawa kebaikan, maka berbahagialah. 

Jika Anda percaya bahwa kondisi bangsa ini masih buruk atau justru makin tidak beres, maka itu hak Anda. 

Kedua perspektif ini tentu punya argumennya masing-masing, saya sendiri masih berpikir bahwa pemerintahan ini masih belum bisa diukur. Setahun adalah waktu yang terlampau singkat untuk bisa mengukur capaian-capaian sebuah pemerintahan.

Tapi pun, jika mesti melakukan pengukuran, katakanlah menilai apakah setahun terakhir Jokowi-JK bekerja dengan baik, tentu bisa dilakukan. Tapi indikator apa yang kita sepakati untuk digunakan? Bagaimana cara mengukurnya dan dengan apa kita mengukurnya? 

Perdebatan macam ini bisa jadi lebih seru daripada menentukan tanggal satu Syawal. Atau bahkan bisa jadi diskusi yang lebih keras daripada menentukan mana yang lebih baik antara Liverpool dan Persija.

Setahun pemerintahan Jokowi-JK saya kira bisa kita ukur kinerjanya berdasarkan Nawa Cita yang mereka tawarkan selama kampanye. Apakah mereka berhasil memenuhi janji dasar yang telah mereka ucapkan sendiri saat kampanye. 

Misalnya, janji bahwa saat terpilih Jokowi dan JK akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional, dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.

Meski bahasanya lumayan njelimet, berlapis, dan tidak jelas apa maksudnya, namun kita bisa sederhanakan bahwa Nawa Cita pertama pemerintahan terpilih saat ini adalah untuk menghadirkan negara di tengah masyarakat. Bentuknya apa? Yaitu memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. 

”Apakah pemerintah sudah memberikan rasa aman pada seluruh warganya? Apakah negara sudah hadir di Sampang, Lombok, Singkil, Paniai, dan Lumajang?”

Pertanyaannya kini apakah pemerintah sudah memberikan rasa aman pada seluruh warganya? Apakah negara sudah hadir di Sampang, Lombok, Singkil, Paniai, dan Lumajang? Jika iya, maka pemerintahan Jokowi-JK tentu saja sudah sukses memenuhi Nawa Cita pertama.

Nawa Cita kedua adalah membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Ini agak rumit, karena sejauh ini tata kelola pemerintahan Jokowi-JK kerap menghadirkan tanda tanya.

Misal, ketika Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Panjaitan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang cenderung negatif. Libas dan buldozer, misalnya. Sebenarnya pemerintahan kita dikelola oleh negarawan atau preman? Tapi jika Anda pikir ini perlu dan wajar, atau memaknainya sebagai ketegasan, maka Nawa Cita kedua pemerintahan ini sudah top markotop.

Selanjutnya, Jokowi-JK menjanjikan akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Kalau ini mah, saya jamin berhasil. Misalnya, alih-alih membangun transportasi publik memadai di luar Jawa seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, atau Papua. Pemerintah kita bekerja sama dengan Tiongkok untuk membangun kereta super cepat dari daerah pinggiran Bandung menuju Jakarta. Haibat betul, bukan? Ini adalah bentuk komitmen pemerintah ini pada Nawa Cita!

Janji kampanye Nawa Cita yang lain adalah akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Ini juga sudah dilakukan oleh Jokowi.

Jokowi masih menyisakan banyak PR sejak dilantik sebagai presiden tahun lalu. Foto dari Facebook

Misalnya, alih-alih melakukan rekonsiliasi terhadap pelanggaran HAM berat 1965 atau menegakan hukum bagi keluarga Munir, pemerintah kita mencanangkan program Bela Negara sebagai usaha untuk menunjukan bahwa negara tidak lemah. Program ini adalah pengejawantahan maha aduhai dari Nawa Cita keempat. Perkara sistem hukum kita berantakan melalui pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu belakangan, yang penting negara kuat dulu.

Pemerintah juga berjanji melalui Nawa Cita kelima untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program Indonesia Pintar wajib belajar 12 tahun bebas pungutan. Pendidikan kita semakin lama semakin asoi. Kalau tak percaya lihat saja bagaima beberapa pejabat daerah menerjemahkan Nawa Cita ini dengan berbagai kebijakan ciamik. 

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menjalankan 5 hari sekolah tanpa peduli beban belajar anak-anak sekolah, sementara Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini melarang penjualan kondom buat anak sekolah. Khusus kebijakan terakhir perlu kita dukung, karena melarang penjualan kondom bisa mencegah seks bebas, sama seperti melarang penjualan motor ke anak remaja akan mengurangi angka kecelakaan anak di jalanan.

Jokowi dan JK juga berjanji akan meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Selain itu, mereka juga menjanjikan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, misalnya melalui sawit dan sawah. 

Di Papua, contohnya, kan diubah menjadi lumbung padi, hutan-hutan yang menyimpan sagu akan disingkirkan menjadi sawah. Sawit tentu saja, meminjam istilah Pak Luhut, industri sawit mesti dilindungi!

Nawa Cita ke delapan konon berisi revolusi karakter bangsa, melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan. Sayangnya, kita tidak bisa mengukur ini. Lha piye, gimana coba ngukur karakter? Kalau mata pelajaran kewarganegaraan masih bisa diukur. Apakah revolusi karakter bangsa itu? 

Ini tentunya berkaitan dengan Nawa Cita terakhir dari Jokowi-JK, yaitu memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia, melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.

Dialog ini misalnya dengan menangkap eksil korban peristiwa 1965 bernama Tom Iljas dan mencekalnya masuk kembali ke Indonesia. Menolak melakukan rekonsiliasi terhadap korban kejahatan kemanusiaan. Membiarkan kasus pembunuhan Paniai tanpa ada penyelesaian yang menyeluruh. Atau mungkin ngotot meresmikan PLTU Batang dan Waduk Jatigede tanpa peduli dampak sosial yang terjadi. Ini adalah dialog dan pendidikan kebinekaan yang ditawarkan pemerintah kita. 

Luar biasa, bukan? —Rappler.com

BACA JUGA:

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!