Perlawanan dalam Sumpah Pemuda dan Karbala

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Perlawanan dalam Sumpah Pemuda dan Karbala
Sumpah Pemuda adalah simbol bagi mereka yang percaya bahwa ada satu waktu di mana seluruh pemuda di Nusantara membangun komitmen untuk maju


Theodor W. Adorno, pemikir Mazhab Frankfurt itu pernah menulis. “To write poetry after Auschwitz is barbaric.

Ia sedang menulis dengan sinis, bagaimana tragedi Auschwitz semestinya dimaknai dengan duka, bahkan puisi tidak mampu menggambarkan kepedihan serta tragedi yang terjadi dalam peristiwa itu. Duka akibat genosida melahirkan generasi baru manusia yang membenci perang, membenci despot, mereka yang menyintas selamanya akan mengerti arti teror dari Auschwitz.

Tahun ini perayaan Sumpah Pemuda di Indonesia berdekatan dengan peringatan duka Asyura. Hari di mana Imam Husein, cucu Kanjeng Nabi Muhammad, meninggal secara syahid di padang Karbala. Ia, yang telah dimuliakan dengan julukan Pemuda Penghulu Surga, mati dengan terhormat di hadapan despot. Ia menolak tunduk. Ia menolak membenarkan tiran, seperti juga para pemuda-pemuda lain yang syahid di Padang Karbala bersamanya.

Bagi saya Peringatan Duka Karbala yang berdekatan dengan perayaan Sumpah Pemuda memiliki arti tersendiri. Terlebih hari ini ketika di mana banyak penindasan terjadi dan kaum muda melawan dengan segala yang ia punya. Perlawanan-perlawanan itu lahir di Rembang, di Urutsewu, di Batang, di Kulonprogo dan di Teluk Benoa. Kelompok muda ini menolak tunduk, menolak ditundukan dan yang lebih penting menolak berkompromi dengan penguasa yang punya kecenderungan menjadi despotik.

Latar belakang Peristiwa Duka Karbala bagi saya begitu pedih. Ia bercerita tentang dua kelompok muslim yang saling bertikai. Masing masing kelompok merepresentasikan idiologinya. Yazid bin Muawiyah dengan segala yang ia miliki memaksakan diri untuk menjadi pemimpin kaum muslim. Sementara Imam Husein, selaku Ahlul Bait atau keturunan Kanjeng Nabi Muhammad, dipaksa berbaiat. Jika ia menolak maka ia akan dibunuh, fakta sejarah kemudian kita ketahui, bagaimana Karbala menjadi saksi pembantaian keji terhadap kelompok Imam Husein.

Maka meminjam kata kata Adorno, “To write poetry after Karbala is inhuman“. Kita semestinya meneladani perlawanannya. Meneladani sikap dari Imam Hussein. Ketika melawan pasukan yang diutus Yazid bin Muawiyah ia sadar bahwa ia kalah jumlah. Ia sudah bersiap untuk menjadi martir, bahwa hidup yang terhina adalah berkompromi pada penguasa yang lalim. Maka kematian menjadi satu satunya kemuliaan yang bisa diraih oleh mereka yang percaya melawan tiran adalah kesyahidan.

Bertahun kemudian peristiwa Karbala menjadi inspirasi. Ia menjadi simbol perlawanan kelompok tertindas terhadap tiran yang berkuasa. Ia menjadi label harapan. Bahwa dalam kondisi terpojok sekalipun, meski dalam keadaan yang terhimpit, ketika semua cara sudah dilakukan, dan perlawanan sepertinya berujung kepada kekalahan. Ia masih punya harapan untuk bisa diselamatkan. Peristiwa Karbala memberikan kita teladan itu semua.

Peristiwa Karbala bukan ekslusif milik mazhab Islam Syiah untuk ditangisi dan diteladani. Bagi saya kisah kesyahidan Imam Hussein di Karbala adalah milik mereka yang berani melawan. Mereka yang tertindas dan menolak tunduk. Mereka yang percaya bahwa tidak ada perjuangan yang sia-sia dan bagi mereka para pemuda yang ingin meraih kemuliaan dengan berpegang teguh kepada prinsip hidupnya. Karbala adalah semangat semua manusia yang tak diam ketika penindas berkuasa dan melanggengkan kekerasan untuk nafsu tiraninya.


Sumpah Pemuda juga demikian. Ia menjadi simbol bagi mereka yang percaya bahwa ada satu waktu di mana seluruh pemuda di Nusantara membangun komitmen untuk maju. Bahwa dalam sebuah peristiwa bersejarah pemuda-pemuda terbaik di Nusantara bertemu untuk kemudian bersepakat membangun solidaritas nasional. Solidaritas untuk melawan penjajah, melawan mereka yang menindas dan berkomitmen melawan penindasan.

Bagi saya perayaan Sumpah pemuda sebenarnya adalah perayaan yang nisbi sia-sia. Bukan, bukan karena ia tidak punya nilai, tapi lebih daripada itu perayaan ini jadi sia-sia karena hampir tidak ada teladan dari peristiwa itu yang bisa kita resapi. Jika anda belajar secara serius tentang sejarah Kongres Pemuda yang menjadi dasar peristiwa ini, maka sebenarnya kita sedang abai pada sejarah. Sumpah Pemuda adalah peristiwa toleransi, diselenggarakan di rumah orang Tionghoa, dalam satu sesinya mendengarkan lagu Indonesia Raya yang dikarang oleh seorang Ahmadiyah. Hari ini? Boro boro dengerin, ada masjid ahmadiyah aja disegel.

Bangsa ini gemar melupakan sejarah namun mudah sekali tersinggung. Sejarah Sumpah Pemuda dianggap sebagai momen kebangsaan, momen bersatunya bangsa-bangsa di nusantara menjadi satu kesatuan. Hari ini perayaan Sumpah Pemuda lebih dekat dengan gincu daripada dengan semangat, mau ngomong persatuan kok tiap ada perbedaan dikit dianggap masalah. Padahal kita tahu Indonesia, dibentuk dan didirikan oleh pemuda pemuda yang punya visi persatuan.

Tapi itu dulu. Ketika pemuda-pemuda bangsa ini lebih memikirkan tentang negaranya, ketimbang diri sendiri.—Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!