Bicara seks: Taruhan emosi demi ‘friends with benefits’

Anindya Pithaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bicara seks: Taruhan emosi demi ‘friends with benefits’
Apakah pola hubungan FWB sepadan dengan risikonya?


Saya memulai tulisan ini dengan sebuah keyakinan bahwa di luar sana banyak yang penasaran dengan konsep friends with benefits (selanjutnya disebut FWB). Penasaran namun hanya berani mendengarkan cerita sembunyi-sembunyi, dengan keingintahuan terpancar nyata di mata. Atau, penasaran namun menghakimi: kok, mau sih digituin?

Yah, sekali lagi, dengan semua argumen moral dikesampingkan, hidup ini pada dasarnya bisa dilabeli hashtag #cukuptauaja. Ya kalau ngga atau belum pernah menjalankan, ngga usah menilai berdasarkan kompas moral yang Anda gunakan. Semua ngga akan masuk akal sampai terjadi dan dijalani.

Begitupun FWB. Atau bila mau lebih blak-blakan, fuck buddy.

Buat yang belum pernah FWB-an, saya mau bilang, film itu, Friends with Benefits dan No Strings Attached, adalah bohong belaka. Pertama-tama, Anda dan rekan seks bukanlah Ashton Kutcher dan Natalie Portman. Juga bukan Justin Timberlake dan Mila Kunis. Cakep engga, lebih clueless pula (untuk ngga mengatakan polos, naif, atau bego). Dan tidak ada happy ending untuk FWB. Belum ada sih, sejauh yang saya tahu. Atau mungkin masih perlu diuji waktu.

FIlm romcom memang menyederhanakan permasalahan. Urusan seks dan hati tidak pernah semudah itu. Ada yang dirisikokan dalam FWB. Ngga usah lah hal-hal altruistik seperti persahabatan atau hubungan baik. FWB bagi perempuan merisikokan kewarasan si perempuan itu sendiri.

Dalam edisi lalu, saya menulis bahwa orgame memberikan kenyamanan psikologis only sex can provide. Ada kinerja hormon yang mempengaruhi kinerja emosi dan, akui saja lah, perempuan itu makhluk yang serba terintegrasi. Seperti ouroboros (ular yang gigit ekornya itu lho), perempuan butuh kenyamanan sebelum seks, jika nyaman akan orgasme, jika orgasme akan makin nyaman dan yah, lalu terbangun tengah malam setelah kali kesekian menghabiskan malam bersama fuck buddy dengan perasaan, “Sialan kenapa jadi sayang”, elus-elus rambut dan “Masnya gemesin kalo bobo”.

Lama-lama cinta dan napsu tidak bisa dipisahkan dan yah, terjadilah baper. Bawa perasaan. Mulailah WhatsApp “Jangan lupa sarapan”, “Sudah makan belum?”, “Lagi apa?” atau kirim-kiriman meme lucu. Lalu jadi resah ketika tidak dihubungi. Dan sejuta kecurigaan dan kekhawatiran yang sebetulnya tidak perlu.

Perempuan, jangan pernah meng-overestimate kemampuan diri untuk bisa jadi cold-hearted bitch yang bisa bercinta semaunya layaknya pria. Kita memang tidak dirancang seperti itu. Fisik, emosi, dan psikologi kita semua berjalin berkelindan. Memaksakan diri FWB hanya akan membuat perempuan akan berakhir seperti lirik lagu Lady Antebellum, Need You Now. Lagu yang terdengar romantis padahal lagu booty call: rather hurt than feel nothing at all. Atau kata salah seorang kawan laki-laki, “Padahal lo sebenernya bisa 0, tapi malah milih -1”.

Karena memang begitu adanya. Perempuan terkadang menukar seks dengan cinta, tanpa sadar. Berpikir dia sanggup menjalani FWB sekadar sebagai mekanisme pelepasan dorongan seks yang membuncah (hey, perempuan juga punya libido dan nafsu lho) namun berakhir dengan ingin menghabiskan waktu bersama selama mungkin.

Catatan: makanya jangan pillow talk apalagi sampai nginep apalagi sarapan bareng. Nanti jadi sayang loh.

Ya tapi ngga papa. Dicoba saja. Supaya kalau ada teman perempuan yang bercerita ngga lantas dihakimi dan bilang “Apa susahnya bilang tidak?”. Susah bok. Ya itu tadi. Jauh di lubuk hati tahu bahwa FWB ini tidak ada ujungnya tapi yah, savor it while it last. Menukar kebahagiaan sesaat dengan emotional rollercoaster beberapa hari tiba-tiba terasa sepadan. Tidak percaya, ya coba saja. Kalau siap dan berani.

Kesalahan perempuan saat FWB adalah berpikir rasa nyaman yang dia rasakan juga dirasakan pria. Ngng, you know what? Jawabannya, tidak. Bagi lelaki pelepasan ya pelepasan saja. Seperti teman laki-laki saya yang lain lagi bilang, “FWB kan kaya kebelet pup. Kalau sudah dikeluarkan ya selesai, ngga pengen lagi, selesai”.

Laki-laki selalu punya target, dan selalu punya langkah-langkah terstuktur, sistematis, meski tidak masif untuk mendapatkan targetnya. Ada yang mulai terpikat saat si perempuan berkebaya saat wisuda dan mencoba peruntungan pedekate 3 tahun kemudian. Ada yang ngajak FWB-an waktu kuliah dan ditolak lalu mencoba lagi sekian tahun kemudian saat sudah bekerja.

Ada yang berakhir dengan “cukup tahu saja”, “aftertaste-nya ngga enak”, ada juga yang “I had a huge crush on you”, atau malah “I love you”.

Tapi, tapi, tapiiiii…

Hanya kata-kata. Tak ada tindak lanjutnya. WhatsApp atau berkirim pesan ya hanya karena ingin saja, sesuka dia. Bukan karena ingin sesuatu lebih atau merasakan hal yang sama juga (coba itu baris putih dan hijau dibandingkan yah). Atau ke-baper-an ini dibicarakan bersama rekan FWB tapi hanya untuk mengakui bahwa si lelaki tiba-tiba punya perasaan dan ngga bisa menghadapi luapan emosi lalu memilih mengakhiri FWB. Cold feet. Lari saat benteng emosionalnya bocor tipis. Tidak siap dan tidak bisa menghadapi emosi karena yah, niatan awalnya ya memang cuma cari WC (dengan analogi “FWB rasanya sama seperti kebelet pup” tadi itu). Tidak sanggup menghadapi kemungkinan bahwa yang dia inginkan cuma penyaluran, ngga mau dong direpotkan dengan pertanyaan semacam “Bang, ini cinta apa nafsu Bang”, atau “Kamu sayang aku nggak?”.

Tidak. Itu bukan cinta. Yang jelas saat dia di dalam, itu bukan cinta. Sudah tidak bisa mikir malah. Apapun yang dikatakan saat itu, itu di luar kendali akal. Lha wong darahnya mengalir semua ke bawah sana, otaknya blank lah. Or maybe he’s in love with you AT THAT MOMENT, or he loves you but no, not that much.

Dia bisa saja memiliki si perempuan seutuhnya, lengkap dengan segala demons-nya. Namun tujuan awalnya memang bukan itu kan? Bukan buat berhadapan dengan perempuan itu secara utuh kan? Malas repot karena yah, kalau bisa beli sate kambing, ngapain piara kambing kan?

Kadang perempuan merasa yang dibutuhkan lelaki itu hanyalah diyakinkan. Dengan lebih banyak seks, lebih banyak perhatian, lebih banyak cinta. Ya tidak? Yang dibutuhkan lelaki ya kadang memang cuma seks. Kebutuhan emosional dan psikologisnya bisa dia dapat dari perempuan lain. Mereka punya kemampuan pemisahan setegas itu. Perempuan berbeda.

Semakin cepat perempuan menerima bahwa seks juga harus membuatnya sehat secara emosional semakin baik. Kalau alarm sudah bunyi, lari segera. Kalau rekan seksnya hanya membuatnya merasa hampa atau menatap langit-langit, atau bahkan sudah ngga berasa apa-apa ya berarti sudah tidak ada kenyamanan secara emosional dan psikologis lagi. Apalagi sampai malah bikin stres dan depresi.

Perempuan harus tahu kapan berhenti dan menolak ketika pertukarannya sudah tidak seimbang. Apa sih keuntungannya? Seks? Kalau sudah tidak terasa menyenangkan lagi, artinya alasan utama melakukan itu sudah hilang dong. Mengapa bertahan? Tapi ya begitulah, berhenti dan pergi itu lebih susah daripada bertahan. Butuh berliter air mata untuk akhirnya sampai di kesimpulan “Ternyata begitu saja” atau #cukuptauaja.

Anyway, sama seperti setiap pola relasi, setiap FWB adalah unik. Saya tidak melarang Anda mencoba. Makin dilarang toh makin penasaran. Percuma bilang “api itu panas”, panas tak bisa dirasakan, sebagus apapun saya mendeskripsikannya.

Coba saja, untuk jadi lebih tahu diri sendiri. Tahu apa yang dimau dan tahu apa yang tidak dimaui. Coba saja. Tapi ya itu tadi. Kuat dan siap tidak menghadapi segala konsekuensi emosionalnya? FWB bukan buat semua orang.

Jangan pernah berlebihan menilai kapasitas emosional diri untuk bisa tidak merasa atau tidak peduli.

Masih banyak sih, ceritaan soal FWB ini. Dibuat beberapa tulisan gimana?
Atau mau bahas sexting? —Rappler.com

Anindya Pithaloka adalah seorang copywriter yang percaya pada kekuatan lipstik merah.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!