Mengapa kita perlu membela Yulian Paonganan dalam kasus UU ITE

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa kita perlu membela Yulian Paonganan dalam kasus UU ITE

ANTARA FOTO

Menyebut 'lonte' bukanlah ujaran kebencian. Harus dipisahkan antara 'hate speech' dan 'mockery'

(UPDATED) Ada yang salah ketika Yulian Paonganan ditangkap karena dugaan penyebaran konten pornografi. Beberapa orang menganggap ini adalah kebaikan dan memuji kerja keras polisi dalam proses penangkapan Yulian. 

Ini wajar, karena selama ini Yulian dianggap musuh dan benalu yang mengganggu banyak orang. Sepak terjangnya di media sosial dirasa membuat pendukung Presiden Joko “Jokowi” Widodo berang.

Puncaknya adalah ketika Yulian mengunggah foto Jokowi bersama artis Nikita Mirzani. Tak berhenti sampai di situ, ia menambahkan tagar #PapaDoyanLonte. Tentu hal ini membuat para pendukung Jokowi geram. Dalam banyak hal, saya sepakat ini salah. Tapi melanggar hukum? Tunggu dulu. Mari kita periksa prasangka dan sikap kita, sudahkah adil?

Yulian dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU Pornografi. Ia diduga bertanggung jawab terhadap 200 kali postingan foto selama 12-14 Desember 2015.

(BACA: Diduga langgar UU ITE dan UU Pornografi, Bareskrim tangkap pemilik akun Twitter @ypaonganan)

Menurut Damar Juniarto​, aktivis Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Pasal 28 ayat 2 UU ITE yang disangkakan pada Yulian adalah delik aduan yg harusnya mengacu pada pasal 156 KUHP. 

Artinya, harus ada yang mengadukan dan ia tidak bisa berdiri sendiri. Harus jelas siapa yang mengadukan Yulian dan soal penyebaran kebencian apa yang dijadikan alasan.

Saya sepakat dengan Damar, Pasal 156 KUHP yang menjadi rujukan UU ITE menyebutkan, “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian/penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, maka harus diperiksa bersama”.

Kebencian ini soal apa? Kalau soal #PapaDoyanLonte, golongan mana yang dirugikan oleh twit Yulian?

Di media sosial disebutkan yang melaporkan bukan Jokowi. Lalu siapa? Dan apa yang membuat si pelapor merasa dirugikan dari foto tersebut? Lalu belakangan Polri mengatakan bahwa Yulian juga terindikasi melakukan ujaran kebencian (hate speech).

(BACA: Kapolri terbitkan surat edaran ‘hate speech’)

Kebencian seperti apa? Ejekan, makian, dan juga kata-kata kasar semestinya bukan dan tidak termasuk ujaran kebencian. Ia memang menyebalkan dan memuakan, tapi ia bukanlah ujaran kebencian.

Ujaran kebencian terjadi, misalnya, jika Yulian mengajak atau menyerukan tindakan kriminal/kekerasan terhadap seseorang atau kelompok. Atau jika ia menyerukan melakukan makar dan penggulingan pemerintahan terpilih dengan kekerasan. Maka itu termasuk ujaran kebencian.

Namun menyebut “lonte”, “Cina”, “komunis”, dan apapun bukanlah ujaran kebencian. Ia ejekan dan makian. Memuakkan memang, tapi mesti dipisahkan antara hate speech dan mockery.

Membela Yulian bukan berarti membenarkan ucapan dan tindakannya. Yang dilawan adalah penggunaan pasal karet yang ada dalam UU ITE. Pasal karet UU ITE sudah tidak lagi untuk memidana netizen yang melakukan perbuatan ilegal, tetapi sudah menjadi arena balas dendam dan barter hukum, dan bahkan lebih buruk lagi sudah menjadi pasal anti-demokrasi. Pasal karet dalam UU ITE selama 2015 sudah ditimpakan kepada 70 orang. Angka ini lebih tinggi dari tahun lalu.

Ada cara yang lebih elegan untuk menghukum Yulian. Jika yang dilanggar etika, maka norma sosial yang semestinya berlaku bukan undang-undang. Apa yang dilakukan Yulian selama ini, misal menyerukan kemarahan, makian, dan hal-hal yang membuat kita kesal, tidak membuatnya layak dihukum tanpa diberikan keadilan. Dalam hal ini, ia perlu dibela sebagai korban pasal karet UU ITE, bukan membela kata-kata atau tindak tanduknya di media sosial.

Yang dibela adalah semangat untuk memiliki ruang kebebasan berekspresi. Seperih apapun, sepedih apapun, sekasar apapun, dan sekeras apapun. Selama ia tidak memiliki muatan kriminal, kekerasan, ajakan melakukan pelanggaran hukum, dan tindakan merusak fasilitas publik. Sekali lagi, saya sepakat Yulian keterlaluan, tapi memenjarakannya karena kemarahan dan kebencian, hanya akan membuat kita tak lebih baik daripada dia.

(BACA: Kontroversi ‘hate speech’ dari latar belakang hingga siapa bisa terjerat)

Semestinya surat edaran Polri tentang hate speech bisa lebih efektif menangani masalah lain yang lebih penting, seperti seruan kebencian terhadap kelompok minoritas, agama, dan ras. Tindakan melakukan kekerasan, pelanggaran hukum, dan kebencian yang tampak nyata, seperti seruan membunuh kelompok Ahmadiyah dan Syiah.

Beberapa waktu kebencian terhadap etnis Tionghoa dan ancaman kekerasan juga semakin meningkat. Beberapa sudah ditindak, namun toh masih banyak yang lain tetap melakukan.

Dalam catatan Safenet sejak 2008, ada delapan kasus penodaan agama lewat media sosial yang dijerat pasal 28 ayat 2 UU ITE. Tapi dari kasus-kasus itu tak satupun berupa kejahatan ujaran kebencian. Maka perlu perhatian serius bagi kepolisian untuk memerhatikan surat edaran Kapolri agar benar-benar menangkap pelaku dan bukan sekedar menakut-nakuti. Jangan sampai penindakan terhadap pelaku penyebar kebencian dilakukan secara tebang pilih dan tanpa didasari oleh argumen yang jelas.

Membela Yulian bukan berarti membenarkan ucapan dan tindakannya. Yang dilawan adalah penggunaan pasal karet yang ada dalam UU ITE.

Selain itu, ada yang lebih memuakkan daripada sekadar persoalan membela atau mendukung pemidaan Yulian, yaitu sikap bebal, ogah mau tahu, dan malas berpikir terhadap esensi masalah. Banyak netizen yang budiman — tidak semua — yang melakukan standar ganda sikap demokratis dalam penangkapan Yulian.

Jika pelakunya adalah orang yang Anda benci, maka kemungkinan besar Anda akan menerima pemberlakuan UU ITE. Namun jika sebaliknya, akan ada orang yang menganggapnya tidak demokratis. Ini tentu tak bisa digenelarisir, namun kemungkinan ini ada.

Ketika pelakunya adalah seseorang yang anti-Jokowi, entah mengapa mereka yang dulu keras menyuarakan anti UU ITE cenderung diam. Tapi jika kelompok pro-Jokowi melakukan hal serupa dibela mati-matian sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Masih ingat meme Prabowo yang dibuat mirip dengan Hitler? Jika posisinya dibalik, apakah pendukung Jokowi akan memidanakan si pelaku?

Netizen yang budiman mengkritik saya karena dianggap melakukan pengkotakkan. Saya maklum saja, sih. Tidak semua orang bisa pintar membaca teks dan wacana. Misal begini, dulu ada meme Nurdin Halid yang digambar seperti Hitler. Apakah Anda akan membela Nurdin Halid jika ia melaporkan pelakunya? Atau diam saja, karena toh sama sama membenci Nurdin Halid dan menganggapnya lucu?

Atau, misalnya begini. Dulu ada kasus yang menjerat Muhammad Arsyad, aktivis Garda Tipikor Makasar. Arsyad dituntut menggunakan ITE karena menulis status di BlackBerry Messenger, “No Fear Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan pilih adik koruptor!” 

Apakah Anda akan membela adik Nurdin Halid karena ia dicemarkan namanya, atau akan membela Arsyad karena membenci Nurdin Halid? Terkadang ada orang yang merasa paling adil, tapi sebenarnya, ya, oportunis. 

Ini bukan masalah siapa pendukung siapa. Apakah pro-Jokowi atau pro-Prabowo atau masih belum move on dari Pilpres. Perjuangan memperoleh ruang demokrasi yang sehat dan bebas telah dilakukan sejak lama. Hal itu dilakukan tidak baru-baru ini saja.

Safenet dan orang-orang seperti Damar Juniarto telah mengadvokasi korban pasal karet UU ITE dan isu revisi UU ITE sejak lama. Mereduksi ini jadi sekedar isu pengkotakkan Jokowi vs Prabowo jelas bebal atau kebanyakan piknik. 

Sejauh ini mari kita periksa. Anda mendukung penahanan Yulian karena ia menghina Presiden atau sebenarnya karena bersebrangan paham politik dengan Anda? Bisakah Anda adil jika hal serupa terjadi pada teman Anda sendiri? 

Misal, ia menghina, sebut saja, Fadli Zon, Fahri Hamzah, dan Prabowo misalnya? Atau menghina dan merendahkan Jokowi adalah salah, namun merendahkan dan menghina Fadli Zon atau Fahri Hamzah dibenarkan?

Disclaimer dari penulis:

Salah pisau, salah argumen 

Muammar Fikrie, dari beritagar.id, baru saja menghubungi saya dan menjelaskan apabila Yulian dijerat hukum karena UU ITE pasal 27 ayat 1 (kesusilaan). Bukan pasal 28 ayat 1 tentang berita bohong dan ayat 2 tentang rasa kebencian. Sisanya soal pornografi (UU No. 44 tahun 2008). Maka, seluruh argumen saya sebelumnya untuk membela Yulian bisa jadi salah dan kurang tepat.

Ini kecerobohan saya yang tidak memverifikasi ulang, berkali-kali, dan hanya bersandar pada satu sumber saja. Awalnya saya mengira Yulian dijerat UU ITE pasal 28 ayat 1 tentang berita bohong dan ayat 2 tentang rasa kebencian. Karena saya rasa Yulian memang punya potensi bersalah jika dijerat UU ITE pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan.

Salah memahami masalah akan membuat seluruh argumen yang dibuat untuk menjelaskan masalah akan berantakan. Ini pelajaran bagi saya. Karena penjelasan yang saya sampaikan adalah tentang hate speech, atau seruan kebencian. Namun jika yang disangkakan adalah tentang pornografi dan kesusilaan ia punya cara pikir yang berbeda lagi. —Rappler.com

BACA JUGA:

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!