Potret buram dunia pers Indonesia selama 2015

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Gaji jurnalis masih di bawah UMR, LBH Pers khawatir dengan independensi mereka

JAKARTA, Indonesia—Lembaga Bantuan Hukum untuk Pers (LBH Pers) mencatat ada 47 kekerasan terhadap jurnalis selama tahun 2015. Bukan hanya itu, insan pers juga dikriminalisasi, hingga dibayar di bawah Upah Minimum Regional oleh perusahaannya sendiri. 

“Ini sesuatu yang mengkhawatirkan, karena itu tahun ini masih menjadi potret buram untuk kebebasan pers,” kata Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin dalam konferensi pers di Jakarta Selasa, 22 Desember. 

Apa saja daftar hitam LBH Pers di tahun ini? Berikut rangkumannya: 

47 kasus kekerasan terhadap Jurnalis 

Selama tahun ini, LBH Pers mencatat ada 47 kasus kekerasan terhadap jurnalis di seluruh tanah air. Bentuk kekerasan berupa pelarangan peliputan, teror, pemukulan dan penyerangan, hingga pembunuhan. 

Daerah yang paling tidak ramah terhadap jurnalis adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Papua. Setidaknya ada 8 kasus kekerasan di DKI Jakarta, 6 kasus di Jawa Barat, dan 5 kasus di Papua. 

Pelaku kekerasan terhadap jurnalis didominasi oleh aparat. Berikut laporan lengkapnya: 

Pendataan Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis

Proses penanganan kekerasan masih terus berlanjut. Seperti kasus yang menimpa Zuhdi. Ia menjadi korban penganiayaan oleh puluhan polisi lengkap dengan pentungan rotan. Zuhdi menderita luka berat di kepala dan pingsan.

Peristiwa itu dipicu lantaran polisi marah karena wartawan merekam aksi pemukulan polisi terhadap mahasiswa saat kericuhan terjadi di Kongres Himpunan Mahasiswa Islam, di Gelanggang Remaja, Pekanbaru, Sabtu, 5 Desember. Polisi memaksa merampas kamera wartawan dan meminta foto dihapus.  

“Saat ini sudah ada tindakan hukum terhadap kasus Zuhdi, tapi polisi juga membuat laporan baru untuknya dengan tudingan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, karena dianggap menghina institusi kepolisian,” kata Nawawi.

Kriminalisasi pada narasumber, insan pers, dan netizen 

Nawawi mencontohkan kasus pelaporan atas peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo dan Emerson Yuntho oleh ahli hukum pidana Universitas Padjadjaran Bandung, Romli Atmasasmita. 

Adnan dan Emerson sebelumnya diwawancara media dan menyebut bahwa rekam jejak Romli buruk, sehingga dinilai tidak pantas untuk menjadi calon Panitia Seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Penyebabnya adalah Romli pernah menjadi saksi ahli dari kubu Budi Gunawan yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. 

Untuk kasus yang menimpa peneliti ICW ini, Dewan Pers telah mengeluarkan pernyataan resmi bahwa keterangan narasumber menjadi tanggung jawab media yang menerbitkan. 

Akhirnya nama Romli memang tidak masuk dalam Panitia Seleksi KPK yang sudah dipilih Presiden Joko Widodo. 

Untuk kasus kriminalisasi insan pers, Nawawi mencontohkan kasus Mantan Ketua DPR Setya Novanto yang melaporkan Pemimpin Redaksi Metro TV Putra Nababan atas tudingan pencemaran nama baik, karena tidak dianggap tidak berimbang. Kasus ini akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan. 

Di dunia maya, LBH Pers mencatat 134 netizen terjerat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronika. 

Monopoli kepemilikan perusahaan media

Menurut Nawawi, ada tiga grup media yang tidak mematuhi pasal 18 Undang-undang Penyiaran. Yakni satu badan hukum hanya memiliki satu lembaga penyiaran swasta di satu wilayah siar. 

Siapa saja mereka? 

  • MNC Group memiliki empat stasiun TV yakni RCTI, Global TV, MNC TV, dan I-News. 
  • Elang Mahkota Teknologi menaungi dua stasiun TV, yakni Indonesia dan SCTV. 
  • Vivanews Grup memiliki dua TV, yakni TV One dan ANTV. 

Gaji jurnalis di bawah UMR 

Survei yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama International Federation of Journalists (IFJ) dilakukan pada tahun 2005, dengan responden jurnalis yang tersebar di 17 kota di Indonesia, menunjukkan bahwa sebanyak 1,5% jurnalis yang disurvei mengaku mendapatkan upah di bawah Rp 200 ribu alias kurang dari US$ 25 sebulan. Ini bukan hanya rendah, tapi lebih burruk dari upah minimum yang dibuat oleh pemerintah.

Jumlah jurnalis yang mendapatkan upah kurang dari Rp 599 ribu juga cukup besar, yaitu sebanyak 22,5%. Padahal, saat survei AJI dilakukan, upah minimum provinsi tertinggi saat itu adalah DKI Jakarta dengan Rp 711.843.

Upah minimum terendah ada- lah Jawa Tengah (Rp 390 ribu). Hasil survei juga menemukan, bahwa sebanyak lebih dari 50 persen jurnalis bergaji kurang dari Rp 1,4 juta. 

Laporan lengkapnya bisa dibaca di sini. 

Kondisi upah jurnalis tersebut ternyata tak membaik. Jurnalis masih digaji di bawah Upah Minimum Regional (UMR). 

LBH Pers khawatir, kondisi kesejahteraan yang memprihatinkan di kalangan jurnalis ini bisa mempengaruhi independensi mereka. 

Pasal untuk membungkam kebebasan pers 

LBH Pers mencatat sebelumnya ada 46 pasal dalam Rancangan Kitab Undag-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang berpotensi mengancam kebebasan pers kebebasan pers. Jumlah pasal tersebut kemudian bertambah menjadi 68. 

Selain itu ada Surat Edaran Hate Speech yang dikeluarkan oleh Kepala Polisi RI Jenderal Badrodin Haiti. Selengkapnya tentang Hate Speech bisa dibaca di sini. 

Selanjutnya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika yang sempat memblokir sejumlah situs yang dianggap bermuatan negatif. Baca selengkapnya di sini. — Rappler.com

BACA JUGA

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!