Ibu dan gerakan perempuan Indonesia kontemporer

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ibu dan gerakan perempuan Indonesia kontemporer

ANTARA FOTO

Kebaikan tidak lahir dari mereka yang diam dan tunduk, pada saat penindasan terjadi. Teladan lahir dari mereka yang melawan

Bagaimana sebaiknya kita memaknai hari ibu? Sebelum menjawab itu ada baiknya kita membaca laporan Human Development Report 2015. Dalam laporan itu ada fata yang menunjukan bahwa angka presentasi kematian ibu melahirkan Indonesia berada pada posisi 110 dunia dengan rasio  190 kematian per 100.000 kelahiran. Angka ini tentu masih terlalu tinggi. Semestinya tidak ada lagi kematian ibu karena melahirkan.

Tapi mengapa hari ibu? Mengapa 22 Desember dipilih sebagai Hari Ibu di Indonesia? Jika anda menengok dan mau sedikit saja membaca sejarah, anda akan menemukan nama Presiden Soekarno di bawah Dekrit Presiden No. 316 tahun 1953. Sejarawan Bonie Triyana menyebutkan bahwa  22-25 Desember 1928 merupakan hari dimana Kongres Perempuan Indonesia pertama kali diselenggarakan. Faktor pendorong penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia tak lain adalah kondisi kehidupan perempuan di Indonesia yang masih dikungkung budaya patriarkis yang berdiri di atas nilai-nilai feodal.

Masih di artikelnya, Bonie menuliskan sejarawan Saskia Eleonora Wieringa menyebutkan ada sejumlah organisasi perempuan yang terpenting ikut serta dalam kongres perempuan tersebut, antara lain Wanita Oetomo, Aisyah, Poetri Indonesia, Wanita Katolik, Wanito Moeljo, dan bagian-bagian perempuan di dalam Sarekat Islam, Jong Islamieten Bond dan Wanita Taman Siswa. Tiga tokoh perempuan penggagas pertemuan itu adalah Nyi. Hadjar Dewantara dari Wanita Taman Siswa, Ny. Soekonto dari Wanita Oetomo dan Sujatin Kartowijono dari Poetri Indonesia.

Dalam kongres itu ada beberapa hal yang dibahas, menariknya, tema itu masih sangat relevan dalam konteks hari ini. Seperti pembahasan mengenai pendidikan kaum perempuan, nasib anak yatim piatu dan janda, perkawinan anak-anak, reformasi undang-undang perkawinan Islam, pentingnya meningkatkan harga diri kaum perempuan sampai dengan kejahatan kawin paksa yang masih marak terjadi saat itu. Fokus pembahasan kongres perempuan pertama ternyata masih menjadi perjuangan kita hari ini berpuluh tahun sesudah kemerdekaan Indonesia.

Menariknya, jika diteliti lagi, Kongres Perempuan Indonesia pertama melahirkan aktivisme dan kemauan untuk berserikat. Artinya sudah ada kesadaran politik antar perempuan untuk memperjuangkan hak hak mereka. Selain juga memperjuangkan nilai-nilai seperti anti permaduan/poligami. Sayang belakangan pemaknaan ruang emansipatoris dan keterlibatan perempuan dalam berdialektika direduksi hanya sebagai peran ibu belaka.

Ada banyak argumen yang mendasari reduksi ini. Intervensi negara melalui orde baru yang menanamkan mitos kemuliaan ibu yang diam di rumah, mengabdi pada suami, merawat anak. Mariana Amiruddin, dalam artikelnya Hari Ibu di Indonesia Bukan Mothers Day! Menyebutkan adanya upaya reduksi perempuan oleh rezim penguasa. Makna Hari Ibu, kata ia, mengalami pendangkalan akibat ideologi  “State Ibuism” yang ditanamkan Orde Baru.

Paham ini menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dengan menekankan fungsi reproduksi dan ”kodrat perempuan” untuk melayani, mengabdi, dengan menjadi ”istri yang patuh”  Intinya peran perempuan yang mulanya besar dan setara mengalami domestikfikasi menjadi peran sempit yang jauh dari dialektika ruang publik. Dalam banyak hal, perayaan hari Ibu merupakan kemunduran bagi perempuan Indonesia yang masih harus terus berjuang dalam upaya kesetaraan gender.

Tapi apakah salah merayakan hari ibu? Tentu saja tidak. Saya kira, menjadi ibu tidak kemudian melepaskan diri dari identitas sebagai seorang pejuang, aktivis dan yang lebih penting menjadi manusia. Nj. Soewarni Pringgodigo dalam Boekoe Peringatan Konggres Perempoean Indonesia II di Djakarta menyebutkan bahwa peran seorang istri, seorang ibu dan seorang perempuan tidak terbatas hanya soal-soal domestik. Ini ia utarakan pada 1933 dan hari ini perdebatan tentang peran ibu masih terjadi. Soal mana yang lebih baik? Ibu yang tinggal di rumah atau mereka yang bekerja?

Sejumlah anak memeluk ibu mereka saat mengikuti lomba kehangatan ibu dan anak yang digelar oleh komunitas perempuan lintas Banten di Tangerang, Banten, 22 Desember. Foto oleh Lucky R./Antara

Nj. Soewarni Pringgodigo menyebutkan bahwa Kongres Perempuan Indonesia “ boekan kita anti “kerdja roemah”, akan tetapi anti “perempoean malas”, jang hanja bersoeami sadja tetapi tidak bekerdja dengan setjara berhasil oentoek kemadjoean dan kesoeboeran isi roemahnja, terlebih poela oentoek rajatnja”. Ia berpendapat, perempuan yang melulu bergantung kepada suami, tanpa ada kesadaran kritis untuk bangkit dan memiliki kemandirian hanya akan menjadi “perempoean-parasiet ini selamanja tergantoeng dari lakinja”.

Kritik keras itu bukan untuk mendiskreditkan atau merendahkan ibu atau perempuan yang memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Namun kritik kepada mereka, para perempuan dan ibu, yang hanya tunduk,ditindas dan hura-hura tanpa mau mendidik dirinya sendiri menjadi seorang yang berdaulat. Perdebatan ini toh masih terjadi, di media sosial kerap ada perdebatan antara mana yang lebih mulia antara ibu yang bekerja atau ibu yang tinggal di rumah. Keduanya mengklaim paling mulia, sementara yang lain menyalahi kodrat dan tertindas.

Tapi upaya untuk memberdayakan perempuan dan sosok ibu khususnya barangkali masih berupa jalan panjang di Indonesia. 28 Mei 2013 Felix Siauw, seorang selebtweet, menuliskan bahwa “bila wanita habiskan untuk anaknya 3 jam sedangkan kantor 8 jam, lebih layak disebut ibu ataukah karyawan,” ia, yang belakangan dianggap ustad, merepresentasikan kelompok masyarakat yang percaya bahwa perempuan secara kodrati adalah ibu yang semestinya tinggal di rumah.

Legitimasi label “ustad” membuat ia banyak dibenarkan. Meski sebenarnya ia punya masalah substansial, bahwa ibu yang bekerja untuk keluarganya layak disebut ibu, terlepas ia kodrat atau bukan. Twit ini melahirkan polemik keras bahkan sampai hari ini saya kira perdebatan soal ibu ideal masih ada. Norma sosial, norma agama, dan juga pemuka agama yang konservatif membuat gerakan perempuan, khususnya ibu di Indonesia menghadapi banyak gugatan dan cercaan karena dianggap tak bertanggung jawab pada keluarganya.

Hari Ibu, atau baiknya kita sebut saja Hari Gerakan Perempuan Indonesia, semestinya bisa lebih luas daripada itu. Kebaikan tidak lahir dari mereka yang diam dan tunduk, pada saat penindasan terjadi, teladan lahir dari mereka yang melawan. Seperti yang dilakukan oleh Ibu-ibu di Rembang sana, yang menolak pendirian pabrik semen yang berpotensi merusak lingkungan hidupnya. Atau yang dilakukan oleh ibu-ibu Kamisan yang telah bertahun-tahun berjuang melawan impunitas dan pelanggaran hak asasi manusia.

Gerakan Perempuan di Indonesia Kontemporer barangkali adalah gerakan kaum ibu. Mereka yang memperjuangkan hak atas keadilan anak, keluarga, lingkungan dan juga sosial politik. Meski demikian, mereka yang tak mau dan tak memiliki anak berhak juga disebut ibu. Pemaknaan ibu bukan sekedar perempuan yang memiliki anak, kata Ibu saya kira layak disematkan sebagai tafsir terhadap sebutan mulia terhadap perempuan yang dianggap lebih bijak, lebih tua dan lebih berani.

Perempuan Indonesia, semestinya sudah lepas membahas soal mana yang lebih baik apakah seorang perempuan mestinya memenuhi kodrat dengan menjadi ibu, atau tidak melahirkan sama sekali. Saya kira tidak semua orang yang melahirkan anak dapat disebut ibu dan mereka yang tulus merawat anak, meski tak punya pertalian darah, berhak disebut ibu. Lagipula tidak semua peremuan menginginkan menjadi ibu. Beberapa perempuan dipaksa menikah, padahal mereka tidak mau, yang lain dipaksa memiliki anak padahal secara sadar mereka tak menginginkan anak.

Untuk itu, saya menawarkan, kepada anda sekalian yang membaca ini. Untuk kembali memaknai hari Ibu. Dengan mengingat Ibu Ibu Rembang, Ibu-Ibu Kamisan, dan juga Mama-Mama Papua yang tengah menuntut haknya sebagai warga negara, sebagai ibu, dan sebagai manusia kepada negara, kepada para despot serta para tiran.   ̶   Rappler.com

 

BACA JUGA

 

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!