Korban praktik dokter asing bisa lebih banyak dari perkiraan

Koesworo Setiawan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Korban praktik dokter asing bisa lebih banyak dari perkiraan
Peraturan sudah ada dan cukup memadai. Namun banyak kejanggalan dalam pendirian klinik, diduga tak lepas dari adanya permainan

JAKARTA, Indonesia — Kepolisian telah menetapkan Randal Cafertty sebagai tersangka atas tewasnya Allya Sisca Nadya. Warga Amerika Serikat ini adalah chiropractor – terapis yang menangani ketidaknormalan tulang pada diri Allya.

Ditangani Randall di Klinik Chiropractic First Pondok Indah, Allya bukannya sembuh, malah menderita.  Ia akhirnya meninggal dunia saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Pondok Indah, pada Agustus 2015.

Polisi mencurigai, Randall menjadi penyebab wafatnya Allya. Ini diperkuat dengan hasil otopsi pada jenasah Allya yang menunjukkan patahan tulang leher, yang menyebabkan pendarahan serius.

Untuk meringkus Randall, Polri melibatkan Badan Penyelidik Federal AS (FBI) untuk menangkap Randall yang batang hidungnya belum terlihat sejak Allya meninggal dunia.

(BACA: Polri gandeng FBI untuk ungkap kasus malpraktik chiropractic

Pengawasan lemah

Menurut Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta, kasus yang menimpa Allya adalah fenomena gunung es: satu dari banyak kasus sama yang belum terungkap.

“Kasus Allya ini kan hilirnya. Nah, selama hulunya tidak diperbaiki, maka akan terus terjadi. Meskipun mungkin tidak selalu berakhir dengan kematian,” kata Marius kepada Rappler.com, Senin, 25 Januari.

Menurutnya, hulu masalah ada pada penegakan aturan yang lemah. “Peraturannya sudah baik, tapi penegakan aturannya yang lemah,” ujarnya.

Sebagai contoh, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 11 tahun 2014 tentang Klinik sudah membuat klasifikasi tentang apa itu klinik pratama dan klinik utama. 

Klinik pratama melayani kesehatan dasar, dengan dipimpin dokter umum atau dokter gigi umum. Klinik utama melayani spesialis, dengan dipimpin dokter spesialis.

“Banyak klinik pratama tapi melayani operasi kecantikan. Ini kan menyalahi aturan?” kata Marius. 

Ia juga heran dengan praktik kesehatan yang memiliki klinik di mall dan hotel, padahal syarat-syarat berpraktik menjadi dokter maupun mendirikan klinik sangat ketat. 

Pemerintah juga tidak menuyusun standarisasi kesehatan nasional. Klinik dan rumah sakit memiliki standar sendiri-sendiri.

“Akhirnya sulit dibedakan mana malpraktik dan mana yang tidak,” katanya.  

Sebenarnya, UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah menjamin hak pasien, antara lain hak mendapat informasi yang benar, hak mendapat jaminan keamanan dan keselamatan, hak pelayanan tidak diskriminatif, dan hak menuntut denda ganti rugi. 

Namun, di lapangan tidak berjalan baik.

“Kini hak-hak pasien dilanggar karena tidak  ada informasi yang benar. Pasien tidak tahu apakah suatu klinik punya izin atau tidak. Tahunya karena berada di lokasi yang wah, lalu dianggap memberikan layanan terbaik,” kata Marius.

Padahal sejumlah syarat pendirian klinik tidak dipenuhi. “Bagaimana di hotel mereka membuang limbah medisnya?” katanya.  

Menurut Marius, izin klinik menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat.

Keberadaan tenaga kesehatan asing, apakah dokter atau non-dokter, juga penuh kejanggalan. “Kalau mereka dokter asing, harus mendapat izin dari KKI,” kata Marius. 

Dalam kasus ini, polisi telah membentuk satuan tugas (satgas) yang terdiri dari imigrasi, dinas kesehatan, dan dinas tenaga kerja untuk kegiatan razia klinik ilegal yang membahayakan.

KKI atau Konsil Kedokteran Indonesia berwenang memberikan izin berupa Surat Tanda Registrasi (STR)  dan Surat Izin Praktik (SIP). Berbekal dua jenis surat ini, seorang dokter baru dinyatakan legal berpraktik.

“KKI memang belum memberikan izin terhadap praktik dokter asing ini,” kata Ketua KKI Prof. Dr. Bambang Suprayitno kepada Rappler. 

Namun, Bambang menekankan, sejauh yang ia tahu, kasus yang menimpa Allya tidak terkait dengan praktik dokter.

Allya ditangani oleh orang yang menerapkan teknik pengobatan alternatif. “Kalau mereka bukan dokter, maka bukan kewenangan KKI,” kata Bambang.

KKI berwenang menindak dokter bila ia juga berpraktik alternatif. “Itu namanya malpraktik,” katanya. Masalahnya, sesuai kewenangannya, KKI akan bertindak bila ada laporan dari masyarakat.

Menyikapi kasus semacam Allya, KKI kini mengambil inisiatif untuk bergerak. Namun dengan jalan berkoordinasi dengan instansi lain. Seperti kepolisian, imigrasi, Kementerian Kesehatan, dan sebagainya. —Rappler.com

BACA JUGA

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!