Bagaimana rasanya jalan-jalan di Korea Utara?

Bla Aguinaldo

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bagaimana rasanya jalan-jalan di Korea Utara?
Seorang penjelajah bernama Bla Aguinaldo berpetualang di Korea Utara

Saya selalu ingin jalan-jalan di Korea Utara sejak dulu. Saya penasaran bagaimana rasanya menjelajahi salah satu tempat paling terisolasi di dunia. Saya ingin mencari tahu yang belum diketahui, berinteraksi dengan penduduk lokal, serta mempelajari kisah mereka.

Sebenarnya saya baru tahu bahwa turis asing dapat masuk ke Korea Utara setidaknya satu tahun lalu. Untuk berkunjung ke sana, seorang turis harus bergabung dengan grup tur. Meskipun saya bukanlah penggemar grup tur, saya kemudian mulai mencari paket perjalanan termurah, namun sama sekali tidak ada yang murah! Tapi karena rasa penasaran saya yang begitu tinggi, akhirnya saya bertekad untuk tetap mendaftarkan diri di penjelajahan paling menegangkan seumur hidup, setidaknya hingga sekarang.

Perjalanan saya dimulai dengan kereta dari Beijing ke Dandong, kota di Tiongkok yang berbatasan dengan Korea Utara. Sepanjang perjalanan selama 14 jam tersebut, saya menempati bagian tengah dari tempat tidur susun di kereta.

Dalam perjalanan kami menuju Dandong, ada sedikit keributan: salah satu penumpang panik dan ingin membatalkan perjalannya menuju Korea Utara. Ia khawatir karena teringat pernah menulis tentang Korea Utara dalam blog nya. Akhirnya ia naik kembali ke Beijing saat kereta tiba di Dandong.

Di dalam kereta dari Beijing menuju Dandong. Foto oleh Bla Alguinado.

Serangan panik

Para penumpang masih tertidur pulas saat saya terbangun di atas tempat tidur. Saat itu pukul 5 dini hari dan saya menengok ke arah luar jendela; sejauh mata memandang, hanya ada kabut. Tidak ada rumah maupun bangunan lainnya. Hanya pepohonan dan kabut putih. Sangat menyeramkan dan saya mulai bertanya pada diri saya, “apakah saya sudah sampai di Korea Utara? Apakah ini yang dinamakan Korea Utara?”

Jantung saya berdebar sangat cepat. Saya takut. Pikiran untuk mundur dari perjalanan sempat terbesit dalam benak saya, namun akhirnya saya memutuskan untuk kembali tidur. Ketika saya bangun pukul setengah tujuh pagi, pemandangan sudah lebih baik. Sudah ada rumah-rumah dan gedung-gedung yang terlihat di kejauhan.

Keluarga

Saya tiba di Dandong sekitar pukul delapan pagi. Saya mengirimkan pesan singkat kepada kakak saya, bahwa saya mungkin akan sulit dihubungi selama tiga hari ke depan. Saya tidak memberitahu keluarga saya tentang rencana saya ke Korea Utara, terutama karena di Pyongyang, Ibukota Korea Utara, tidak ada sinyal ponsel sama sekali.

Kereta ke Pyongyang. Foto oleh Bla Alguinado.

Kereta menuju Pyongyang

Kami pindah ke kereta lainnya di Dandong, yang akan membawa kami menyebrangi jembatan persahabatan antara Tiongkok dan Korea Utara. Setelah menyebrangi jembatan tersebut, barulah para petugas imigrasi masuk ke kereta dan memeriksa dokumen para penumpang.

Jembatan persahabatan Tiongkok-Korea Utara. Foto oleh Bla Alguinado.

Proses imigrasi

Setelah mengecek paspor dan visa kami, petugas imigrasi lainnya datang untuk memeriksa ponsel dan barang bawaan lainnya.

Petugas memeriksan ponsel saya selama sekitar 5-10 menit. Pada saat itu tangan saya terasa dingin, namun saya berusaha untuk tetap terlihat tenang. Saya juga baru sadar, saya punya aplikasi Al-Kitab dan lupa menyembunyikannya! Saya mulai berpikir tidak akan lolos imigrasi, dan lebih parahnya lagi, bagaimana jika saya dipenjara?

Kita tidak diijinkan membawa buku maupun perlengkapan relijius atau yang berbau pornografi ke dalam Korea Utara. Saya sangat takut hingga keenam roti di tangan saya habis dan hampir satu liter air saya minum. Saat petugas imigrasi mengembalikan ponsel tersebut, saya hampir menangis karena merasa benar-benar lega.

Selanjutnya, petugas pun memeriksa kamera kami; saya kaget, mereka mahir menggunakan berbagai jenis kamera — mulai dari yang simpel hingga SLR yang lebih rumit. Seorang perempuan asal Jerman yang berada di gerbong yang sama dengan saya mencoba membantu petugas, namun ditolak.

Saya pun memberikan kamera GoPro saya ke petugas, namun ternyata, ia tidak tahu cara menggunakannya. Selama lima detik ia sempat memperhatikan merek kamera saya, mungkin mencoba mengingat bagaimana cara mengoperasikannya. Namun setelah itu ia mengembalikan kamera tersebut.

Para petugas juga memeriksa laptop, buku, serta tas bawaan kami. Seorang penumpang mengaku mendapati sebuah aplikasi berbahasa Korea di laptopnya setelah dikembalikan oleh pihak imigrasi. Petugas juga memeriksa buku yang kami bawa. Sang perempuan Jerman memberikan majalah fashion miliknya, yang setiap halamannya diperiksa oleh petugas.

Seluruh proses imigrasi memakan waktu sekitar tiga hingga empat jam, namun terasa sangat lama. Saat akhirnya kereta mulai bergerak, semua penumpang akhirnya bersorak. Dari titik itu, dibutuhkan waktu sekitar empat jam untuk tiba di Pyongyang.

Kami sudah tiba — apa selanjutnya?

Para turis tidak diijinkan menjelajahi Korea Utara tanpa pemandu. Namun pada saat itu sedang ada perayaan 70 tahun landasan partai, sehingga lumayan banyak orang yang lalu-lalang di jalan.

Hari tersebut merupakan hari libur nasional di Korea Utara, dan para penduduk lokal berhamburan di jalan untuk merayakannya. Parade militer juga akan ditampilkan. Semua orang terlihat gembira karena negara sedang merayakan salah satu peristiwa sejarahnya.

Warga lokal saat perayaan landasan partai ke-70. Foto oleh Bla Alguinado.

 Foto oleh Bla Alguinado.

Tersesat di Pyongyang 

Kami menunggu sekitar dua jam hingga parade dimulai. Saya bertanya kepada pemandu saya letak toilet, dan ia menunjuk ke arah bangunan terdekat. Saat saya masuk ke dalamnya, saat melihat pameran bunga yang cantik.

Saat saya kembali dari toilet (dan memotret bunga-bunga tentunya!), ternyata pemandu dan anggota tur yang lain tidak terlihat di mana pun.

Bukannya panik, saya justru memanfaatkan waktu untuk berkeliling dan mengambil gambar anak-anak yang sedang bermain di sekitar saya, meskipun kebanyakan mereka lari saat saya mencoba mendekat. Kemudian saya memutuskan untuk kembali ke dalam gedung dan mencoba mengambil gambar para perempuan berbaju Joseon-ot — baju khas Korea Utara.

Awalnya mereka menolak, tapi akhirnya bersedia saya foto. Sebenarnya saya ingin mengobrol, namun sayang, tidak ada yang mengerti bahasa Inggris. 

Foto oleh Bla Alguinado.

Tiba-tiba, saya mendengar orang-orang berteriak. Semuanya berlarian keluar gedung, termasuk saya. Lalu saya melihat pemandangan menakjubkan, asap warna warni dari pesawat jet yang terbang di angkasa.

Asap warna warni dari formasi pesawat jet di langit Pyongyang. Foto oleh Bla Alguinado.

Foto oleh Bla Alguinado.

Saya hanya punya kamera GoPro dan kamera iPhone pada saat itu (sial!) dan saya tidak dapat menggunakan GoPro karena jarak pandang yang terlalu jauh. Akhirnya saya menggunakan iPhone untuk mengambil gambar terus-menerus.

Jika saja saya tidak ditinggal rombongan, pasti saya tidak bisa menikmati pemandangan indah barusan. Beberapa menit kemudian, pemandu saya datang dan meminta saya mengikutinya menuju penginapan.

Perempuan dari Jerman

Orang asing dilarang mengambil gambar petugas militer atau kepolisian. Jika ketahuan, mereka akan mengambil kameramu dan menghapus semua gambar yang kamu ambil. Bahkan jika kamu berhasil lolos, petugas imigrasi akan mengecek ponsel, kamera, dan laptop, serta menghapus seluruh foto saat kamu keluar dari wilayah Korea Utara. Di sana juga tidak ada koneksi internet, jadi kamu tidak akan bisa mengunggahnya ke mana pun.

Saya berjalan ke tengah jalanan untuk mengambil gambar dua orang prajurit yang berdiri di jalan kosong dan di saat yang sama saya melihat seorang wanita tua, sekitar 60 tahunan, sedang berdiri tak jauh dari saya. Kami saling memberi senyum, dan kemudian mulai berbincang.

Katanya, ia berasal dari Jerman, dan dua hari yang lalu ia sempat keluar dari hotel pada pukul 5 pagi. Setibanya kembali di hotel, rombongan dan pemandunya tidak terlihat, akhirnya ia memutuskan untuk berjalan-jalan selama lima hingga sepuluh menit. Namun saat tiba di hotel, ia mendapati seorang polisi di lobby hotel yang mencarinya, dan menanyakan kemana ia pergi sambil memeriksa seluruh barang bawaannya.

Foto oleh Bla Alguinado.

Petualangan di Pyongyang

Saya sedang melihat sekeliling saat saya mendapati sekelompok prajurit sedang berbaris di belakang saya. Seketika, saya pun berlari agar dapat mengambil gambar yang bagus. Saya sangat takut pada saat itu, terutama saat beberapa orang didekati oleh petugas polisi dan dimintai foto yang mereka ambil. Akhirnya saya mengatakan pada diri saya: “Bla, Kamu pasti bisa. Tutup saja matamu dan ambil gambarnya.”

Parade militer

Saat parade dimulai, langit mulai gelap. Suara sorakan penonton terdengar tiap kali ada tank dan truk militer yang melintas. Setiap warga lokal terlihat sangat gembira, melambaikan tangan dan bunga ke arah para prajurit militer. Sementara saya berada di seberang bersama para turis lainnya. Posisi kami lebih jauh, sehingga pemandangan para warga lokal pasti lebih baik.

Parade militer. Foto oleh Bla Alguinado.

Saya mengalami kesulitan mengambil gambar yang bagus dari tempat saya berdiri. Saya tahu polisi pasti akan meniupkan peluit ke arah saya jika ketahuan mengambil gambar, tapi itu tidak membuat niat saya hilang. Akhirnya, saya berlutut, menghirup napas dalam-dalam, dan berlari ke seberang jalan, tempat para warga lokal menonton. Beberapa polisi melihat saya, namun sepertinya tidak menyadari bahwa saya adalah turis. “Rencana berhasil! Saya seperti ninja!”

Tapi beberapa saat kemudian, seorang polisi meniup peluit ke arah saya, dan meminta saya kembali ke sisi jalan sebelah kanan, kembali tempat semula. Tapi saya pura-pura tidak sadar dan terus berjalan ke arah kerumunan. Tiba-tiba saya sudah berada di tengah-tengah warga lokal. Saya pun melemparkan senyuman ke arah seorang perempuan tua yang membalas senyuman saya dan mengucapkan Gomapseumnida (terima kasih dalam bahasa Korea). Pengalaman yang sangat menakjubkan karena saya benar-benar merasakan kecintaan dan support yang begitu besar kepada militer.

From Pyongyang, with love

Kartu pos yang saya kirim untuk saya di masa depan dari Korea Utara. Foto oleh Bla Alguinado.

Di hari terakhir, saya dan rombongan sarapan pagi-pagi sekali karena harus mengejar kereta menuju Dandong, Tiongkok. Saya membeli beberapa kartu pos di hotel dan mengirimkannya ke beberapa teman dan keluarga.

Saya juga menuliskan pesan untuk diri saya di masa depan, namun beberapa minggu kemudian, kartu tersebut tak kunjung datang.

Saat saya kembali dari perjalanan saya yang lainnya, saya menemukan sebuah kartu pos di atas meja makan. Kartu tersebut membuat saya tersenyum dan berkaca-kaca, ketika saya membaca pesan yang saya tulis saat di Korea Utara. —Rappler.com

Bla adalah seorang pecandu jalan-jalan. Ia merupakan akuntan publik dan bekerja sebagai konsultan SAP. Ia suka melakukan perjalanan, yang kebanyakan dengan biaya murah. Saat ini ia sedang menjelajah ke tempat yang orangtuamu larang untuk kunjungi. Kunjungi blognya atau follow di Facebook.

BACA JUGA: 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!