Bincang Mantan: Terlalu banyak berharap pada si dia

Adelia Putri, Bisma Aditya

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Media sosial berperan penting dalam mengukur kadar ekspektasi pada seseorang

Kedua penulis kolom baru Rappler, Bincang Mantan, adalah antitesa pepatah yang mengatakan kalau sepasang bekas kekasih tidak bisa menjadi teman baik. Di kolom ini, Adelia dan Bisma akan berbagi pendapat mengenai hal-hal acak, mulai dari hubungan pria-wanita hingga (mungkin) masalah serius.

Bisma Aditya: Ekspektasi terlalu tinggi berujung kecewa

Pasti ada alasannya mengapa kolom ini disebut “Bincang Mantan”. Salah satunya mungkin karena saya dan Adelia sudah dianggap saling mengerti cara berpikir satu sama lain dan akan menarik untuk membandingkan komentar kami atas suatu isu. 

Adelia pasti akan bilang sesuatu tentang, “Ekspektasi tinggi adalah awal dari kekecewaan”, kan? Saya enggak pernah tahu isi tulisan dia sebelum artikelnya diterbitkan, tapi saya yakin pernyataan itu akan terlontar. 

Menurut saya, sih, pernyataan itu terlalu nyalahin orang yang kecewa dan saya kurang setuju karena sebetulnya ada kok alasan rasional di balik ekspektasi tinggi dala suatu hubungan. 

Penyebabnya apa lagi kalo bukan media sosial?

Semua orang pasti berkali-kali lipat lebih baik di akun media sosialnya. Mungkin di dunia maya orang itu adalah orang yang rajin beribadah, aktif berkegiatan sosial, sayang sama keluarga, suka ke museum, jago main musik, jago masak, suka baca buku, punya banyak teman, berprestasi, pokoknya yang baik-baik, deh. You name it.

Sesuai dengan teori saya di tulisan ini, hampir semua orang jika tertarik dengan lawan jenis, pasti ngecek media sosialnya, bahkan sebelum first date. Media sosial sekarang ini udah menjelma jadi first impression seseorang, dan siapa sih yang tidak tahu kekuatan dari first impression? 

Siapa yang bisa untuk enggak jatuh cinta pada pandangan pertama dengan orang yang punya first impression se-sempurna itu? Siapa juga yang bisa tahan untuk tidak berekspektasi berlebihan? 

Jadi, kekecewaan yang diawali ekspektasi tinggi sudah menjadi tantangan baru yang harus dihadapi setiap manusia modern. Jika ada yang masih nyalahin orang yang punya ekspektasi berlebih, dia pasti masih hidup di masa lalu. Pola pikirnya usang. (Mungkin Adelia ketika membaca ini akan tertohok dibilang usang, haha!).

Daripada memaksakan kehendak melawan arus zaman dengan berusaha tidak memiliki ekspektasi berlebih, apalagi nyalah-nyalahin aja, mungkin sebaiknya kita berpikir bagaimana caranya supaya tidak terlampau kecewa ketika ekspektasi kita tidak sesuai kenyataan.

Caranya adalah, boleh kita punya ekspektasi setinggi apapun juga. Wajar. Tapi kita harus ingat bahwa tidak ada orang yang sempurna, supaya tidak terlalu kecewa. 

Semua orang pasti ada kurangnya, dan kita harus belajar menerima kekurangan itu. Coba sekarang dibalik, ngaca deh

Lihat media sosial kalian. Yakin isinya enggak terlalu sempurna, kalau dibandingin ke kondisi kalian yang sesungguhnya? Yakin kalian sesempurna itu? 

Kalo kalian aja enggak yakin bahwa kalian sempurna, adil enggak sih kalo berharap akan ketemu dengan orang sempurna? Setahu saya sih yang sempurna cuma Tuhan. Yakin mau buru-buru ketemu sama yang Maha Sempurna? Bersyukur kan ketemunya masih sama yang enggak sempurna?

Adelia Putri: Tak ada salahnya memiliki ekspektasi tinggi

OK, fine. Mas yang di atas ada benarnya. Tentu saja argumen utama saya adalah “ekspektasi ketinggian itu adalah awal dari kekecewaan”. 

Semakin tua, saya semakin sadar kalau kita tidak bisa mendapatkan semua yang kita inginkan, termasuk dalam masalah pasangan. Meskipun semua kotak di checklist kamu terpenuhi, cepat atau lambat pasti ada sesuatu yang salah. Seperti soal ujian fisika, kalau menurutmu itu terlalu gampang, pasti ada sesuatu yang kamu lewatkan. If it’s too good to be true, then it is.

Tapi, saya enggak setuju kalau masalah ekspektasi ini disalahkan ke media sosial. Trust me, kita sudah melewati masa-masa iri pada hidup orang lain yang tertampang di linimasa mereka. Kita sudah sadar kalau semua orang hanya menampilkan apa yang mereka mau tampilkan di media sosial. 

Lebih dari itu, sepertinya kita sudah sampai tahapan menyinyiri semua postingan orang. Di mesjid? Ah, paling hari Jumat doang. Dinner di tempat fancy? Ah, ala-ala. Belajar? Pencitraan, biasanya juga cuma maraton di Netflix. Belanja barang mewah? Ah, simpanan om-om. Ya, kan?

OK, kembali ke masalah ekspektasi. Buat saya, tingginya ekspektasi seseorang ke orang lain kembali lagi ke perspektif masing-masing orang. Ada orang yang dari sananya selalu punya ekspektasi tinggi ke orang yang baru dikenal. Orang yang percaya pada dialog film Andai Ia Tahu ini:

“Punya hati jangan dibawa terbang tinggi. Sekalinya jatuh, sakit banget.”

“Tapi, kalau enggak terbang tinggi kan enggak bisa lihat pemandangan bagus!”

Buat mereka, lebih baik mulai dari 100, lalu mengurangi poin satu persatu daripada harus memulai dari angka negatif. Lagipula, jatuh cinta dan semua kemanisannya adalah kenikmatan hidup yang tidak perlu ditolak, kan?

Ada juga orang yang memulai semuanya dengan ekspektasi buruk, sehingga orang yang satu lagi harus melakukan pembuktian terbalik dari semua hipotesa itu. 

Mana yang lebih baik? Saya tidak bisa bilang. Dua-duanya punya resiko kekecewaan dan sakit hati. Tapi, buat saya, kalau bisa senang dulu baru sakit, kenapa tidak? Daripada harus manyun karena negative thinking terus.

Kalau menurut saya, sih, punya ekspektasi tinggi tidak ada salahnya, asal bisa di-manage dengan baik. Artinya, kalau ekspektasi kamu ternyata salah sasaran, kamu bisa menerimanya kekurangannya (artinya, kamu sudah cukup dewasa untuk sadar kalau tidak ada orang yang sempurna) atau kamu bisa beralih ke orang lain tanpa perlu dendam atau emosi berlebihan (artinya, kamu penganut paham ‘Hempas datang lagi’-nya Teteh Syahrini yang baik).

Pada akhirnya, saya yakin, seiring berjalannya waktu (dan kekecewaan yang kamu lewati) kamu bisa belajar manajemen ekspektasi yang baik dan menerima kenyataan bahwa tak ada orang yang sempurna. Bahwa pada akhirnya, kamu harus menerima kekurangan orang lain, karena kamu pun tidak sempurna. 

Seperti yang Ika Natassa bilang dalam novelnya, Critical Eleven, “In life there are no heroes and villains, only various kinds of compromises”. —Rappler.com

Adelia, mantan reporter Rappler, kini sedang menempuh pendidikan pascasarjana di London, sementara Bisma adalah seorang konsultan hukum di Jakarta. Keduanya bisa ditemukan dan diajak bicara di @adeliaputri dan @bismaaditya.

Baca juga lainnya di Bincang Mantan:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!