Sejarah gerakan gay di Indonesia: Perdebatan tentang homoseksualitas pada 1980-an

Hendri Yulius

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sejarah gerakan gay di Indonesia: Perdebatan tentang homoseksualitas pada 1980-an
Indonesia setidaknya mulai dikejutkan dengan keberanian individu gay dan lesbian untuk 'coming out'

Ini adalah bagian pertama dari seri sejarah gerakan gay di Indonesia. 

Hiruk pikuk homoseksualitas di media

Sebenarnya, ribut-ribut tentang homoseksualitas yang terjadi sekarang bukanlah hal baru di negeri ini. Menurut Dede Oetomo, selama rentang 1981-1983, untuk pertama kalinya perdebatan tentang homoseksualitas menjadi wacana nasional, terutama ditandai dengan merebaknya beragam tulisan tentang homoseksualitas di berbagai media nasional, seperti Majalah Tempo, Liberty, Kartini, Anda, Puteri, hingga Harian Kompas. 

Bahkan, dalam salah satu makalahnya yang berjudul Charting Gay Politics in Indonesia, Dede juga turut menulis bahwa kecenderungan media Indonesia untuk meliput dan membahas tentang homoseksualitas dimulai sejak akhir 1970-an.

Waria sebenarnya jauh lebih “diterima” oleh masyarakat. Sejak akhir 1960-an, pendirian organisasi waria pertama, Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad), justru didukung oleh Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Ali Sadikin.

Tetapi, penggunaan kata “wadam” (wanita-adam) kemudian mendulang protes karena kelompok agama tidak setuju nama Adam yang ada dalam kitab suci digunakan untuk menandai kelompok transgender. Untuk mengganti kata “wadam”, akhirnya kata “waria” (wanita-pria) pun digunakan. Sejak saat itu pula, kelompok waria yang dianggap sebagai “socially-disabled” mulai menerima banyak dukungan pemerintah, terutama dari Departemen Sosial. 

Keramaian di awal 1980 ini dipicu oleh “pernikahan” kedua perempuan, Jossie dan Bonnie yang menjadi perempuan lesbian pertama yang menyatakan hubungan dan “pernikahannya” secara publik. Menurut liputan Majalah Tempo pada 30 Mei 1981, Jossie yang saat itu berusia 25 tahun, terlihat tampan dalam kemeja dan dasi berwarna merah. Pasangannya, Bonnie yang terpaut tiga tahun lebih muda, terlihat sebaliknya: cantik dalam balutan gaun berwarna merah.

Pesta pernikahan tersebut berlangsung di sebuah bar, The Swinging Pub Bar, di area Blok M, Jakarta Selatan. Meskipun menurut hukum yang ada, pernikahan sesama perempuan itu tidak sah. Tetapi, Bonnie tidak menginginkan Jossie untuk mengganti kelaminnya menjadi lelaki, hanya demi hubungan mereka diterima secara resmi. 

Sebelum pernikahan sepasangan perempuan ini, kisah cinta tragis antara Aty dan Nona pun muncul di Majalah Tempo seminggu sebelumnya, 23 Mei 1981. Aty—yang berusia 21 tahun dan merupakan salah seorang grup musik terkemuka di ibu kota—menjalin hubungan “terlarang” dengan Nona yang berusia lima belas tahun. Karena Nona masih dianggap di bawah umur, maka Aty terpaksa harus mendekam dalam penjara selama delapan bulan. 

Perdebatan kasus ini bukan saja berkisar antara hubungan “terlarang”, tetapi juga wacana tentang “normalitas” seseorang yang menyukai sesama jenis. Menurut ibu Aty, anak perempuannya ini telah mengalami gangguan mental sejak kecil karena ia lebih memilih untuk berpakaian dan berperilaku seperti laki-laki, lalu bergaul dan tertarik perempuan. 

Sang ibu sempat membawa anaknya ke psikiater yang menyebutkan bahwa ada kelebihan hormon lelaki dalam diri Aty yang sebenarnya dapat disembuhkan. Tetapi, menurut Aty sendiri, ia merasa tidak ada yang salah dengan dirinya. Pasangan lesbian yang bunuh diri bersama di Solo karena merasa cintanya tak akan bisa bersatu seperti layaknya suami-istri juga dimuat di Kompas Minggu (28 Maret 1982) dan Majalah Liberty (24 April 1982). 

Perdebatan tentang penyebab homoseksualitas

Di saat yang sama, media massa juga mulai beramai-ramai membahas dan memperdebatkan homoseksualitas. Beragam teori dan rekomendasi diajukan sebagai bahan diskusi. Menanggapi “fenomena” baru ini, sebuah wacana untuk memisahkan “kegiatan homoseksualitas” di penjara pun diajukan. 

Selama ini, banyak praktik hubungan sejenis terjadi di penjara, sehingga dalam Harian Sinar Harapan (11 Mei 1982), ditulis bahwa untuk menghindari hal tersebut, setiap sel di dalam penjara harus diisi dengan jumlah ganjil. Satu, tiga, atau lima orang dalam satu sel akan menghindari mereka untuk berpasangan dalam berhubungan seks. 

Wacana tentang kembalinya orang-orang Sodom dan Gomora juga muncul dalam majalah Adam dan Eva edisi nomor 015 yang ditulis oleh Ady Saputra, untuk mengingatkan bahwa seksualitas masyarakat saat ini telah “kebablasan”. Ady menampilkan ketakutannya tentang kebebasan seksual masyarakat Barat—seperti gampangnya akses pornografi dan merenggangnya institusi pernikahan di Barat sana. Wacana tentang potensi penularan homoseksualitas terhadap anak-anak juga diangkat dalam tulisannya. 

Di tengah beberapa artikel yang mengemukakan sikap anti terhadap homoseksual, Dede Oetomo yang waktu itu sedang studi di Universitas Cornell, Amerika Serikat, aktif menulis artikel yang merespons hiruk-pikuk nasional ini dengan menunjukkan bahwa homoseksualitas bukanlah penyakit dan sudah merupakan tradisi dari budaya Indonesia. 

Beberapa argumennya  dibangun atas temuan ilmuwan Barat pada saat itu, seperti Sigmund Freud, Dr. Evelyn Hooker, Clellen S. Ford, dan Frank A. Beach. Dede juga coming out sebagai gay dan menulis sebuah surat untuk para ibu untuk mengajak para ibu berdiskusi secara terbuka tentang homoseksualitas. Surat ini dimuat di Majalah Kartini tertanggal 28 Februari 1982. 

Rumah tangga yang tidak harmonis dapat menjadi penyebab homoseksualitas

Novelis V. Lestari menulis di Harian Kompas (4 April 1982) dan mengungkapkan kesulitannya untuk menyetujui bahwa homoseksualitas adalah penyakit. Tetapi, ada beberapa potensi penyebab homoseksualitas yang diidentifikasi olehnya. 

Pertama, homoseksualitas bisa disebut seperti “perasaan” kepada sesama jenisnya, dan Lestari bertanya, apakah perasaan itu lantas bisa diubah. 

Sebut saja seseorang jatuh cinta dengan A yang berjenis kelamin sama dengannya. Meskipun ia punya banyak teman lawan jenis, tetapi ketika ia menemukan A memiliki karakter negatif, maka bisa saja orang tersebut tidak lagi mencintai A. Membaca teks ini memang membingungkan untuk menebak bagaimana posisi Lestari sesungguhnya—apakah perasaan itu memang bisa benar-benar diubah. 

Kedua, yang lebih menarik adalah Lestari kemudian menulis bahwa penyebab homoseksualitas justru disebabkan oleh keluarga yang tidak harmonis, terutama bila kedua orang tua selalu bertengkar. Ketika seseorang memiliki kesempatan untuk melihat dengan jelas hubungan heteroseksual yang harmonis, maka harapan dan rasa percaya (terhadap heteroseksualitas) akan meningkat. Dalam posisi Lestari yang ambivalen ini, ia kemudian menutup tulisannya dengan sebuah pertanyaan, siapa yang bisa menjamin kebahagiaan seseorang sekalipun ia memilih heteroseksualitas. 

Argumen tentang pengaruh keharmonisan keluarga, seperti yang ditulis oleh Lestari ternyata cukup banyak diajukan dalam beberapa tulisan tentang penyebab homoseksualitas. Dalam Majalah Puteri, disebutkan bahwa hal terpenting adalah keluarga yang harmonis dan penuh kehangatan dan figur ibu yang tidak boleh menjadi seperti polisi yang keras melarang anak; si ibu justru harus menjadi seorang administrator.

Lanjutnya, seorang anak perempuan juga harus diberikan kamar tidur sendiri ketika menjelang dewasa, setiap tiga bulan sekali dibawa konsultasi dengan psikiater, dan sebagai orangtua harus dapat mendengarkan dan menyelesaikan permasalahan anak-anak mereka sendiri. 

Sementara itu, dalam majalah Kartini edisi 178, diceritakan tentang seorang homoseksual laki-laki bernama Iwan yang memiliki masa lalu dengan ayah yang meninggalkan keluarganya saat ia baru berusia beberapa bulan.

Artikel lain juga memberi wejangan agar anak tak menjadi lesbian yang ditulis oleh A. Prayitno dalam Majalah Puteri dan menyebutkan bahwa beberapa penyebabnya adalah kehidupan keluarga yang melonggar dan kurangnya komunikasi yang harmonis di keluarga. 

Argumen dengan pola serupa muncul juga di Majalah Kartini edisi 178. Seseorang menjadi homoseksual—bukan karena gen atau takdir—tetapi karena lingkungan. Selama perkembangan psikoseksual anak antara 2-5 tahun, seorang perempuan merasa kekurangan penis (lack of a penis), sehingga ia memandang lelaki yang berpenis sebagai pihak yang lebih kuat dan diuntungkan, seperti ayahnya. 

Bila di saat perasaannya yang “tidak lengkap” ini, ia diperlakukan dengan buruk oleh ayahnya, maka ia akan memendam dendam dan tumbuh berperilaku seperti laki-laki untuk membalaskan dendamnya. Selain itu, penyebab homoseksual perempuan juga dikarenakan sikap ketergantungan yang berlebihan pada ibu sehingga ketika bertumbuh, ia mencari teman sejenisnya untuk menggantikan figur ibunya. 

Untuk anak laki-laki, penyebabnya justru karena figur ayah yang lemah dan tidak memiliki peran utama dalam keluarga, si anak kehilangan figur maskulin sebagai obyek identifikasinya. Sebab si anak harus menginternalisasi maskulinitas dari ayahnya sendiri.

Masih dengan argumen serupa, dalam majalah Anda edisi 38, teori psikonalisis ini juga digunakan untuk menyebut peran ayah yang lemah akan membuat anak menjadi homoseksual laki-laki. Pada awal tahun-tahun pertamanya, anak adalah biseksual.

Pada usia 4 tahun, seorang anak mulai bisa membedakan ayah dan ibunya, sehingga anak laki-laki ingin berada di posisi sang ayah untuk bisa mendapat cinta sang ibu (Oedipus Complex). Bila figur ayah lemah dibanding istri, maka tidak ada contoh bagi anak laki-laki tersebut untuk mengidentifikasi dirinya sendiri seperti ayahnya.  

Dalam karya sastra populer, lesbianisme juga dikaitkan dengan family dysfunctions. Novel Masa Remaja yang Hilang karya Abdullah Harahap—diterbitkan pada Februari 1977—menampilkan seks dan moralitas yang berjalin kelindan dalam adegan seksnya. 

Kisah ini bercerita tentang seorang remaja, Kiky, yang merasa terkekang dengan ayahnya akibat trauma terhadap kakak Kiky, Viny, yang hamil di luar nikah. Kekangan ini, bukannya membuat Kiky terhindar dari “pergaulan bebas”, malah menjerumuskan Kiky ke dalam lesbianisme dan narkotika. 

Sahabat Kiky, Sumi, adalah seorang gadis bebas yang mengajari Kiky untuk menyuntikkan cairan “terlarang” itu. Di dalam rumah orang tua Cori, salah seorang sahabat mereka, Kiky, Sumi, dan geng mereka menjadikan tempat itu, seperti yang dikatakan Sumi, sebagai “…singgasana orang-orang yang ingin menikmati kebebasan dalam hidup. Kebebasan yang tidak akan kuperoleh atau kauperoleh di rumah.” 

Kiky lantas mengecup bibir Kiky dan serta merta ia marah, sebab katanya, itu menjijikan. Pesta seks pun menjadi menu utama di dalam singgasana kebebasan ini. 

Dari sudut pandang Kiky yang sudah teler, pembaca dibawa ke dalam adegan panas ini: “Aku cuma tahu, bahwa bukan saja Sumi, tapi juga Cori dan kemudian satu dua wajah lelaki yang tak kukenal muncul di depan biji mataku…Mereka tak lain dari laki-laki yang tadi berkumpul di ruangan tengah, dan berganti-ganti menggelutiku… Segera saja kami semua bergumul, ganti berganti, tanpa peduli siapa yang digumuli.” 

Dalam kisah ini, seks—termasuk juga hubungan seks antar-perempuan—sebagai bagian dari kenakalan remaja. Rumah tangga yang tidak harmonis menjadi penyebab semua ini. 

Yang menarik adalah Kiky berasal dari keluarga yang berada, tetapi keluarga ini tidak bahagia, apalagi ketika papa Kiky malah membawa pulang seorang gadis yang usianya pantas menjadi anaknya sendiri. Singkat cerita, Kiky yang kecanduan pun meninggal di akhir cerita, dan sudah terlambat bagi ayahnya untuk mengetahui kalau anaknya selama ini membutuhkan kasih sayang. 

Apa yang diusung oleh Abdullah Harahap di sini adalah kritik terhadap keluarga borjuis, kelas menengah atas yang lupa akan pentingnya kasih sayang. Materi tidak selalu membawa kebahagiaan, dan karya ini seperti sebuah cerminan sebuah “ketakutan” terpendam dari kelas menengah atas. 

Argumen tentang keluarga bukanlah sesuatu yang asing. Meskipun Sigmund Freud dalam tulisan-tulisan aslinya tidak pernah secara eksplisit menulis tentang lemahnya figur ayah sebagai penyebab homoseksualitas, setelah kematian Freud, Sando Rado pada 1940 mulai menulis bahwa homoseksualitas disebabkan oleh penghindaran terhadap lawan jenis yang disebabkan oleh larangan orang tua terhadap seksualitas anak. 

Kemudian, pandangan Rado diikuti oleh Irving Bieber yang menulis bahwa peran orang tua dan keluarga menjadi penyebab homoseksual. Tak heran bila pandangan ini menjadi basis untuk conversion therapy. Yang menarik, sebenarnya Freud sendiri cukup pesimis terkait dengan pengubahan orientasi seksual manusia.

Bagaimana dengan Indonesia?

Domestisasi perempuan dilakukan oleh negara dengan melakukan pelemahan peran perempuan

Negara Indonesia pada saat itu juga tidak bisa dilepaskan dari ideologi gender yang menempatkan keluarga heteroseksual dengan peran gender tradisional yang kaku sebagai suatu “keharusan”. Julia Suryakusuma menelurkan “Ibuisme Negara” (State Ibuism) untuk menjelaskan bagaimana pemerintah Orde Baru mendisiplinkan perempuan dan mengekalkan norma gender tradisional. 

Menurutnya, domestisasi perempuan dilakukan oleh negara dengan melakukan pelemahan peran perempuan. Melalui Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), perempuan dirumahkan dan peran ibu dirayakan dengan menekankan pembagian ruang publik (untuk laki-laki) dan ruang privat atau domestik (untuk perempuan). 

Lebih lagi, perempuan diasosiasikan dengan “kodrat”-nya sebagai ibu, sementara pencari nafkah dan kepala keluarga adalah laki-laki atau bapak. Karenanya, sebagai ibu, perempuan harus melayani suami dan anak-anaknya di dalam ruang domestik. 

Nada yang sama muncul dari Saskia Wieringa yang melihat bahwa era Orde Baru dibangun melalui penghancuran seksualitas perempuan. Penelitiannya menunjukkan bagaimana pemerintah Orde Baru mencitrakan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebagai iblis yang penuh seksual, menari telanjang, dan mencincang tubuh Angkatan Darat dari tragedi 30 September 1965. 

Inilah gambaran palsu bikinan Orde Baru. Dampaknya adalah perempuan yang seksual dan kuat dianggap sebagai iblis. Karena itu, perempuan feminin adalah yang keibuan, pasif secara seksual, dan tidak melawan. Cocok dengan imaji Orde Baru. Peran mereka sebagai ibu untuk menjaga keutuhan dan kelangsungan keluarga amat sangat dibutuhkan. Sementara itu, peran ayah sebagai kepala keluarga juga tak kalah penting. 

Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa pandangan tentang lemahnya peran keluarga sebagai penyebab homoseksualitas juga secara kebetulan berjalan beriringan dengan ideologi keluarga Orde Baru saat itu. Homoseksual dianggap produk kegagalan dari fungsi keluarga, sehingga pembagian peran gender yang kaku dapat mendukung harmoni keluarga, yang pada akhirnya akan menghindarkan anak dari homoseksualitas. 

Di tengah tegangan dan perdebatan ini, masyarakat Indonesia setidaknya mulai dikejutkan dengan keberanian individu gay dan lesbian untuk coming out, bahkan mengumumkan hubungannya secara terbuka pada publik. Inilah yang kelak akan mendorong kemunculan organisasi gay pertama di Nusantara. 

(Bersambung)

—Rappler.com 

Hendri Yulius adalah penulis buku ‘Coming Out’ dan pengajar kajian gender dan seksualitas

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!