Mengendus rute perdagangan perempuan dari Indonesia timur

Kanis Dursin

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengendus rute perdagangan perempuan dari Indonesia timur
Kisah pilu para pembantu rumah tangga yang dibujuk-rayu datang ke Jakarta

JAKARTA, Indonesia – Dengan uang saku Rp 600 ribu per bulan sebagai babysitter di Bajawa, Flores, YD belum berada dalam tekanan untuk mencari “pekerjaan” baru. Usianya masih 17 tahun dan tidak mempunyai tanggungan.

Tetapi iming-iming gaji Rp 1,2 juta per bulan dan naik pesawat gratis ke Jakarta, serta telepon bujuk-rayu dari laki-laki paruh umur bernama Oskar, membuat YD nekat meninggalkan rumahnya di Kampung Toda, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, dan berangkat ke Jakarta awal 2016 lalu.

Dua bulan bekerja, YD melarikan diri jam 3:00 pagi dari rumah majikannya di Teluk Gong, Jakarta Utara, awal April lalu. Ia kabur bersama rekan kerja Erika Jadu (35 tahun) asal Kampung Bui, Desa Kajumangi, Manggarai Timur, Flores.

“Oskar kasih tahu pekerjaannya hanya menyapu rumah, ngepel lantai, dan lap kaca. Ternyata saya harus angkat ratusan air galon dan beras berkarung-karung setiap hari,” kata YD, yang sekarang ingin kembali ke rumahnya di Kabupaten Ngada.

“Kami tidak mampu kerja dari jam 5 pagi sampai 11 malam,” kata Erika di rumah salah satu kenalan di Ciracas, Jakarta Timur.

Sama seperti YD, Eri, demikian ibu 4 anak itu dipanggil, diberitahu pekerjaannya di Jakarta hanya menyapu rumah, ngepel lantai, dan lap kaca.

“Dalam kenyataanya, kami harus bangun jam 4:30 dan mulai kerja jam 5:00, ngepel lantai kos lima lantai, bersihkan kamar mandi, dan lap kaca jendela kos,” aku Eri, yang mulai bekerja di Teluk Gong sejak 20 Desember 2015.

“Mulai jam 6:00, kami harus mulai bantu di toko majikan sampai jam 11 malam, melayani pembeli dan mengangkat ratusan air galon dan beras berkarung-karung setiap hari.”

Eri dan YD tidak pernah diberitahu nama wilayah mereka bekerja. Tiap kali mereka berbicara dengan orang lain di luar toko, majikan dan anak-anaknya menakut-nakuti mereka: “Awas, kamu akan ditangkap polisi.”

“Rekan kerja saya sebelumnya, Regin dari Ngada, dikembalikan ke Gopama hanya karena suara tawanya kencang dan sering berbicara dengan tukang becak di depan toko,” ujar Eri, yang mengaku tahu nama tempat mereka bekerja Teluk Gong dari tukang becak.

“Mereka (tukang becak) meminta kami menghafal kalau kami bekerja di Teluk Gong, Jakarta Utara,” kata perempuan tamatan Sekolah Dasar ini. 

Eri dan YD direkrut dan disalurkan oleh PT Gopama Tunas Bermuda. Eri mulai bekerja pada 20 Desember 2015, bersama Regin. Hana, yang menurut undang-undang, masuk kategori anak-anak, sudah bekerja dua bulan sebelum melarikan diri.

Di baju seragam yang Eri dan YD terima, tertera alamat kantor Gopama Tunas Bermuda di Jalan Jatiluhur Raya, Jakasampurna, Bekasi, Jawa Barat, lengkap dengan nomor telepon dan alamat email.

Rappler berulang kali menelepon ke dua nomor yang tertera di baju tersebut. Dua-duanya aktif (ada nada sambung), tetapi tidak pernah diangkat. Pesan SMS tidak dijawab dan email bounced alias kembali karena alamat tidak dikenal.

Alamat PT Gopama Tunas Bermuda yang tertera di baju kaus seragam Gopama yang ternyata berbeda dari alamat yang terdaftar di Kementerian Tenaga Kerja. Foto oleh Kanis Dursin/Rappler

Rappler melacak alamat Gopama ke Kementerian Tenaga Kerja dan memang Gopama terdaftar di Departemen Tenaga Kerja, artinya resmi, tetapi alamatnya di Perumahan Pondok Mitra Lestari, Jakasetia, Bekasi, bukan di Jalan Jatiluhur Raya, Jakasampurna, seperti tercetak di baju kaus Gopama.

“Benar, ini kantor Gopama Tunas Bermuda, tetapi saya tidak tahu, saya hanya seorang office boy di sini,” kata seorang yang mengaku Arif ketika Rappler meminta konfirmasi kalau benar Gopama menyalurkan Eri dan YD ke toko Usia Baru di Teluk Gong.

Menurut Arif, Gopama tidak pernah aktif sejak didirikan pada 2012. Tetapi data Kementerian Tenaga Kerja mengatakan Gopama masih aktif. “Mungkin ada orang lain yang menggunakan nama Gopama Tunas Bermuda,” kata Arif.

Arif mengaku tidak tahu nomor HP Agus Prayitno, orang yang didaftar sebagai penanggung jawab Gopama di Kementerian, tetapi meminta identitas lengkap Eri dan YD.

Sementara itu, seorang bernama Papin, orang yang mengirim Eri dan YD dari Bajawa ke Jakarta, mengaku telah merekrut dan menyalurkan Eri dan Hana lima bulan lalu.

“Tetapi mereka sudah lari dari majikan mereka dan sesuai dengan perjanjian mereka harus menanggung resiko. Silakan kalau Bapak mau urus mereka, silakan. Mereka harus bertanggung jawab atas diri mereka sendiri sekarang,” kata Papin melalui telepon pada Jumat, 22 April.

Papin menolak memberi nomor Julius, orang yang disebut Eri dan YD sebagai bos Gopama di Bekasi. Dia juga tidak mau menanggapi pengakuan Eri dan YD bahwa Julius menyita KTP dan telepon mereka berdua setelah tiba di tempat penampungan di Bekasi.

Rute senyap perdagangan perempuan Flores

Menurut Suster Maria Yosephina, seorang pegiat pemberdayaan perempuan di Keuskupan Ruteng, jumlah perempuan Flores yang direkruit dan dibawa ke Jawa, Sumatera, dan bahkan Malaysia, terus bertambah sejak 2007.

“Perusahaan tenaga kerja mengeksploitasi kemiskinan masyarakat Flores untuk merekrut para perempuan sebagai tenaga kerja murah di Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan bahkan Malaysia,” kata biarawati Katolik yang sering menolong perempuan korban perdagangan manusia di Manggarai Raya.

Undang-Undang No. 21 tahun 2007 mendefinisikan perdagangan orang sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

“Ketika kami mendapat informasi perempuan Flores akan dikirim ke Jawa, kami memberitahu pihak kepolisian di Labuan Bajo untuk mengecek dan merekalah yang menggagalkan pengiriman tersebut,” kata Suster Yosephina.

Rute perjalanan tenaga kerja murah asal Flores memang tergolong sederhana. Baik Eri maupun YD menyebut Papin di Lekosoro, Bajawa, sebagai orang yang mengirim mereka ke Jakarta. Dari Lekosoro, mereka diantar Papin ke Labuan Bajo, Manggarai Barat, di mana mereka dititipkan ke Tian. 

“Memasuki kota Labuan Bajo, kami (tenaga kerja perempuan) disuruh duduk terpencar di dalam mobil. Katanya supaya tidak kelihatan dari dari luar. Kami juga diminta untuk mematikan HP dan dilarang kontak keluarga di Labuan Bajo,” kata YD, seorang lulusan Sekolah Menengah Pertama.

“Kalau ada polisi yang tanya, beritahu kalau kamu datang ke ini (Labuan Bajo) untuk berwisata dan belanja,” kata YD menirukan instruksi Papin.

Tian mengantar calon pembantu rumah tangga ini ke Kota Bima di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dalam kasus rombongan YD pada awal 2016, mereka dibawa Tian masuk kapal feri di Labuan Bajo pukul 20:00 untuk keberangkatan jam 3:00 keesokan harinya ke Sape, satu setengah jam dengan bis sebelah timur Kota Bima.

“Sejak dari Labuan Bajo, Tian sudah memberitahu akan melepaskan kami di Bima. Dan benar saja, setelah makan siang di Bima, Tian pamit untuk kembali ke Labuan Bajo dan kami melanjutkan perjalanan dengan bis ke Mataram,” kata YD.

Di Mataram, rombongan Gopama ini dijemput oleh laki-laki yang memperkenalkan diri sebagai Kordi. “Pak Kordi itu baik. Dia membawa kami ke rumahnya dan kasih makan sebelum membawa kami ke bandara untuk terbang ke Jakarta,” kata Eri.

Menunggu majikan menjemput

Suasana di tempat penampungan Gopama di Bekasi, menurut Eri dan YD, selalu ramai. Ada penghuni yang baru tiba dari daerah, ada juga yang baru kembali dari majikan, entah karena kontrak mereka berakhir dan tidak diperpanjang lagi atau karena dipulangkan majikan.

Kegiatan mereka juga bermacam-macam: pelatihan memasak dan membersihkan rumah. Ada juga yang hanya menunggu majikan menjemput mereka.

“Setiap kali ada majikan datang, kami disuruh ke lantai dua. Pembantu yang dipilih langsung disuruh mengambil pakaian dan pergi. Tidak ada kesempatan untuk pamit atau memberitahu teman-teman,” kata YD.

“Saya ingat satu teman seperjalanan dari Flores. Dia memeluk saya sambil berbisik, ‘Saya pergi sekarang’. Tetapi ketika saya tanya ‘ke mana’ dia menjawab ‘tidak tahu’ sambil meneteskan air mata. Sampai sekarang saya tidak tahu dia kerja di mana,” ujar YD.

Eri diantar langsung oleh Julius dan Agus ke toko Usia Baru di Teluk Gong pada 20 Desember 2015 lalu. “Tiba-tiba saja saya diminta mengambil pakaian. Di mobil baru saya tahu kalau Regin akan kerja bersama saya. Saya tidak sempat pamit dengan teman-teman dari Flores,” kata Eri.

Oleh majikannya, Eri dijanjikan gaji sebesar Rp 1,2 juta per bulan, sementara YD Rp 1,1 juta. Tetapi, dalam kenyataanya, gaji mereka tidak hanya jauh di bawah upah minimum Provinsi DKI Jakarta 2016 yang mencapai Rp 3,1 juta per bulan, tetapi juga tidak pernah dibayar oleh sang majikan.

“Saya diberitahu majikan, gaji saya akan dibayar sekaligus pada akhir tahun kedua. Saya terima saja, mau bagaimana lagi,” kata Eri.

Sejak melarikan diri dari majikannya di Teluk Gong, Papin menelpon Eri beberapa kali dan membujuknya kembali ke Gopama. Tetapi setiap kali juga, Eri menjawab: “Saya tidak tahu saya berada di mana sekarang.” –Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!