Indonesia

Kesaksian mantan sandera Abu Sayyaf: Sering diancam akan dieksekusi

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kesaksian mantan sandera Abu Sayyaf: Sering diancam akan dieksekusi
Kelompok Abu Sayyaf datang dengan dua speed boat dan mengenakan pakaian seperti polisi Filipina.

JAKARTA, Indonesia – Mualim kapal tunda Brahma 12 Julian Philip tidak menyangka perjalanannya untuk mengangkut ribuan ton batu bara menuju Filipina selatan tidak berjalan mulus. Ketika berada di area bernama kanal Aris, Malaysia, tiba-tiba kapal mereka dihampiri oleh dua speed boat.

Dua speed boat itu membawa 8 orang yang mengenakan pakaian seperti petugas polisi Filipina. Oleh sebab itu, Julian dan 9 kru kapal lainnya tak curiga jika mereka ternyata kelompok milisi Abu Sayyaf.

“Mereka langsung menyandera kami. Dia naik ke atas kapal dan menodongkan senjata,” ujar Julian yang ditemui di gedung Kementerian Luar Negeri Jakarta Pusat pada Senin, 2 Mei.

Philip mengenang peristiwa itu terjadi pada Senin, 25 Maret sekitar pukul 15:25 waktu setempat. Senjata yang dibawa oleh kelompok Abu Sayyaf cukup lengkap. Mulai dari M14, M16 dan peluru berukuran besar.

“Kami sempat diikat dan diborgol. Tetapi, kami memohon agar tidak diperlakukan demikian karena kami sudah menyatakan tidak akan melawan,” tutur Julian yang mengenakan kemeja putih.

Usai menguasai kapal, anggota Abu Sayyaf meminta agar kapal tongkang dilepas. Sementara, kapal tunda diarahkan ke Tawi-Tawi.

“Inginnya kami, setelah kapal tongkang berisi muatan batu bara, jangkar juga kami lepas. Tetapi, tidak diizinkan, karena Abu Sayyaf tidak ingin keberadaannya diketahui oleh petugas patroli Filipina,” kata dia.

Begitu tiba di sebelah utara Tawi-Tawi, 10 ABK diminta pindah ke dua speed boat. Lalu, mereka berlabuh di sebuah pulau yang tidak diketahui namanya.

“Kami tidak tahu nama pulau itu. Tidak tahu juga ke mana pulau yang akan dituju, karena kami tidak membaca peta,” tuturnya.

Selama disandera 36 hari, Abu Sayyaf memperlakukan 10 ABK dengan baik. Walaupun menjadi tantangan tersendiri, karena setiap beberapa hari sekali, posisi mereka berpindah.

Demi keselamatan, kata Julian, 10 ABK itu sengaja dipecah menjadi beberapa kelompok. Menurut Julian, Abu Sayyaf tidak ingin ada satu pun ABK Indonesia yang terluka atau meninggal.

“Mungkin mereka berpikir jika sampai ada sandera yang meninggal, maka tidak akan bisa memperoleh uang tebusan,” kata dia.

Julian juga mengaku stress karena kerap diancam akan dieksekusi. Lalu, apakah betul ada pembayaran uang tebusan dari perusahaan pemilik kapal kepada penculik? Julian mengaku tidak tahu.

“Tiba-tiba saja kami diantar, langsung diberi mobil dan diminta untuk mencari sendiri rumah Gubernur Sulu di mana,” tuturnya.

Mengaku mualaf

SANDERA DIBEBASKAN. Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (kedua kanan) menerima kedatangan sejumlah anak buah kapal (ABK) berwarganegaraan Indonesia saat tiba di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Minggu, 1 Mei. Foto oleh M Agung Rajasa/ANTARA

Sementara, nahkoda kapal tunda Brahma 12, Peter Tomsen Barahama mengaku agar tetap selamat, beberapa ABK yang beragama Kristen terpaksa mengaku sebagai mualaf.

“Ini bukan untuk memprovokasi negara kita ya. Karena mereka selalu mengatakan juga tengah perang agama,” kata Peter yang ditemui di lokasi yang sama.

Dia mengaku selama disekap oleh Abu Sayyaf, dia dan 9 ABK lainnya terpaksa harus beradaptasi hidup di hutan. Tidur hanya beralaskan daun kelapa.

“Kalau mereka tidur di tanah yang kami ikut tidur di tanah. Kami juga ikut apa yang dimakan oleh mereka,” ujarnya.

Lalu, apa dia juga mengalami ancaman selama disekap? Peter pun tidak membantah. Dia mengaku kerap ditakut-takuti dengan diberikan ultimatum.

“Mungkin maksud mereka supaya kami cepat ditebus (dengan uang),” katanya.

Peter pun mengaku tidak trauma pasca mengalami insiden pembajakan. Dia mengatakan siap menjalani profesinya sebagai nahkoda.

“Itu tergantung ya. Kalau perusahaan kembali memanggil, ya saya jalan,” tuturnya.

Ke-10 ABK asal Indonesia akhirnya dibebaskan pada Minggu, 1 Mei. Mereka diserahkan di depan kediaman Gubernur Sulu.

Di sana mereka diperiksa kesehatannya dan dimintai keterangan. Ke-10 ABK itu kemudian diantar dari kota Zamboanga menuju ke Manila dengan helikopter militer.

Mereka kemudian diantar dengan menggunakan jet pribadi dari Manila dan mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma pada Minggu malam pukul 23:30. Setelah melalui hasil pemeriksaan medis di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), ke-10 ABK diserahkan oleh pemerintah ke keluarga masing-masing.

Pemerintah Indonesia membantah telah membayarkan uang tebusan sebesar 50 juta Peso atau setara Rp 14,3 miliar. Kendati sebelumnya, Menteri Koordinator Hukum, Politik dan Keamanan, Luhut Panjaitan membenarkan perusahaan pemilik kapal, PT Patria Maritime Lines sudah menyiapkan uang tebusan. – Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!