Kemarahan publik atas kematian YY, akankah jadi tonggak sejarah baru?

Sinta Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kemarahan publik atas kematian YY, akankah jadi tonggak sejarah baru?
Kemarahan publik atas pemerkosaan di Bengkulu diharapkan bisa menghentikan kekerasan seksual di Indonesia.

 

Belasan tahun lalu, sebagai mahasiswa psikologi saya mendatangi penjara Wirogunan di Yogyakarta, meneliti mengapa seseorang memerkosa? Untuk itu saya bertemu dengan beberapa pelaku dalam diskusi terfokus. Takut. Itu perasaan saya sebelum bertemu para monster ini. Saya bayangkan mereka adalah para psikopat dengan persoalan kejiwaan.  Ternyata tidak. Lima remaja yang saya temui itu sama dengan saya, normal. Mereka bicara dengan suara rendah sambil terkadang menundukkan mata.

Bercerita mengapa memerkosa tak sendirian. ‘Kami mabuk, kami nonton filem BF (porno), saya ikutan teman.’ Itu jawaban mereka. Dalam perjalanan pulang, saya masih tak mengerti mengapa mereka memerkosa sementara lelaki lain tidak? Saya tak menemukan semangat misogynist, pembenci perempuan pada mereka. Mengapa? Mungkin kawan lelaki saya yang harusnya memandu diskusi, karena saya tak paham ‘bagaimana menjadi laki-laki’.

April ini, publik marah. Empat belas pemuda di sebuah desa kecil di Kecamatan Rejang Lebong, Bengkulu memerkosa seorang anak SMP (Y) lalu membunuhnya. Dua dari 14 remaja itu masih bersekolah di SMP, bahkan kakak kelas Y. Sisanya anak-anak muda putus sekolah berusia maksimal 20-an tahun. Pelaku dan korban tinggal di desa yang sama, tentunya mereka saling kenal. Kekejian para pelaku dimulai dari mengumpulkan uang Rp 40.000 untuk pesta tuak dilanjutkan dengan nongkrong di jalan yang biasa dilalui Y sepulang sekolah. 

Saya bertanya-tanya bagaimana remaja belasan tahun ini bersepakat untuk memerkosa? Tak seorangpun menolaknya, termasuk dua kakak kelas Y. Inikah cult of masculinity? Gank mendukung anggotanya untuk mengambil risiko melakukan kekerasan. Sebagai unjuk maskulinitas, memaksa korban melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendaknya. Y adalah korban yang rentan. Anak perempuan, sendirian, pulang melewati kebun jauh dari keramaian.

Sebagai korban, Y tidak sendirian. Cahaya Perempuan Women Crisis Center melaporkan terjadi 84 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Rejang Lebong tahun lalu. Komnas Perempuan pada 2015 menyebutkan di Indonesia tiap 2 jam, 3 perempuan mengalami kekerasan seksual. Atau tiap hari 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual.  

Mengapa Memerkosa Berkelompok?

Riset terkini ‘Why Some Men Use Violence Against Women and How Can We Prevent It?, United Nations Multi Country Study on Men and Violence in Asia and Pacific’ (2013) menunjukkan hasil yang mengejutkan. Sekitar 10-62% responden di enam negara mengaku pernah memerkosa perempuan (pasangan maupun bukan pasangan), 1-14% responden terlibat dalam gang rape atau perkosaan berkelompok. Di Indonesia, antara 6-23% responden mengaku pernah memerkosa.

Riset dilakukan dengan mewawancarai lebih dari 10 ribu laki-laki berusia 18-49 tahun di Bangladesh, Cina, Indonesia, Papua New Guinea, Sri Lanka, dan Kamboja.

Tampaknya lebih mudah bagi para lelaki mengakui pernah melakukan pemerkosaan daripada perempuan mengaku sebagai korban. Karena lelaki tak harus memanggul stigma sosial dan derita sepanjang hidup ataupun konsekwensi hukumnya. Seperti disebutkan oleh penelitian ini, sebagian besar para pelakunya tak pernah dikenai hukuman. Di Indonesia, 76-78% dari responden yang mengaku pernah memerkosa tak mendapat hukuman.

Penelitian ini membenarkan bahwa penyebab laki-laki melakukan kekerasan adalah kompleks. Perpaduan antara pengalaman personal, norma komunitas dan tatanan sosial. Namun mengerucut pada satu hal: sexual entitlement. Mereka merasa berhak mendapatkan seks, dengan atau tanpa paksaan. Kekerasan dipakai untuk menunjukkan kontrol, kekuatan, kemampuan seksual dan dominasi.

Alasan besar lainnya adalah untuk ‘senang-senang’ atau karena ‘sedang bosan’. Selanjutnya  kemarahan dan kehendak untuk menghukum, terutama pemerkosaan yang dilakukan terhadap pasangannya. Meski ‘mabuk’ seringkali disebut sebagai alasan, alkohol diakui sebagai faktor terkecil pemicu kekerasan.

Secara khusus pelaku pemerkosaan mempunyai gambaran demografis yang penuh dengan kekerasan pula. Seperti pernah melakukan kekerasan fisik terhadap pasangan perempuannya, melakukan transaksi seks, mempunyai pasangan seks banyak, terlibat dalam gank atau  berkelahi antar lelaki menggunakan senjata.

Pelaku pemerkosaan juga diasosiasikan dengan ketidakmampuan berempati, memakai alkohol dan narkotika serta mempunyai tekanan atas status sosial dan ekonomi. Sedihnya para lelaki yang menjadi korban kekerasan emosional, fisik dan seksual di masa anak-anak mempunyai kemungkinan kuat melakukan kekerasan pada perempuan di kemudian hari. Separuh dari responden dari 6 negara yang pernah melakukan perkosaan mengaku melakukannya pada saat mereka masih remaja, di bawah 20 tahun.

Pertanyaan saya belasan tahun lalu terjawab. Rupanya ekspresi kejantanan dan kemampuan seks yang hendak ditunjukkan. Rupanya mereka sedang belajar unjuk kuasa, menjadi misogynist. Berusaha menjadi laki-laki sesuai norma dan kebiasaan yang dipelajari. Dan prosesnya dimulai saat mereka anak-anak atau remaja.

Sekarang pada 2016, situasinya masih kurang lebih sama.  Kita semua masih hidup dalam ekspresi agresivitas dan seks yang belum berubah, permisif terhadap kekerasan seksual terhadap perempuan. Memaklumi dan memaafkan perilaku kekerasan laki-laki pada perempuan, ‘karena laki-laki ya memang begitu’. Menyalahkan perempuan sebagai pemicunya, ‘kenapa memakai baju seperti itu? Kenapa jalan sendirian.’

Mengunggulkan kejantanan, membolehkan agresivitas. Sekaligus tak peduli pada nasib para anak laki-laki korban kekerasan. Permisifnya kita pada perkosaan dan agresivitas diperdengarkan oleh siapa saja, bahkan oleh para pemimpin.

Mantan Ketua DPR Marzuki Alie pernah menyalahkan rok mini sebagai penyebab perkosaan. Dalam menanggapi rencana Sekretariat Jenderal DPR mengatur cara berpakaian di DPR. “Kita tahu banyak sekali terjadinya perkosaan, kasus-kasus asusila itu, karena perempuannya tidak berpakaian yang pantas sehingga membuat hasrat laki-laki menjadi berubah. Itu yang harus dihindari. Namanya laki-laki, pakaian tidak pantas yang itu menarik laki-laki, akhirnya berbuat sesuatu” (2012).

Masih soal rok mini. mantan Gubernur Jakarta Fauzi Bowo didukung oleh ketua Majelis Ulama Indonesia saat itu, Amidhan, juga dikecam atas pernyataannya soal pemerkosaan mahasiwi di angkot dengan menganjurkan agar perempuan tidak memakai rok mini.

Ya masih sama. Setiap hari hubungan sosial  kita masih didominasi pesan-pesan sexual entitlement bagi lelaki. Menyumbang pada budaya yang menyuburkan agresivitas seksual.

Kemarahan publik dan tonggak sejarah baru

Saya melihat kemarahan publik atas pemerkosaan dan kematian Y kali ini berbeda. Karena sekarang saya melihat lebih banyak laki-laki marah. Mungkin karena ini bukan pemerkosaan biasa. Pemerkosaan berkelompok dan pembunuhan. Berbagai kelompok anak muda lelaki dan laki-laki dari berbagai kalangan mengutuknya. Mereka mengatakan bahwa kisah Y akan bisa terjadi pada siapa saja: anak kita, saudara kita ataupun pasangan kita. Kemungkinan lain karena para lelaki pun ‘gerah’ dengan dominasi maskulinitasnya.

Satu hambatan besar dari perjuangan menghentikan kekerasan terhadap perempuan adalah minimnya dukungan laki-laki. Bukan hanya di Indonesia tapi hampir di seluruh dunia. Dukungan laki-laki sangat penting, sama pentingnya dengan dukungan agar  perempuan berani menyuarakan pengalaman kekerasannya. Untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan kita harus menghentikan budaya yang melestarikannya. Mengerti mengapa pelaku melakukannya?  Mengapa kita terus mereproduksi pelaku-pelakunya?

Gerakan perempuan sudah menyuarakan soal penegakan keadilan yang serius. Mendesak segera disahkan RUU Kekerasan Seksual, tak ada lagi pembiaran dan pemaafan.  Saya menambahkan, bahwa keamanan tiap individu tanpa ancaman tak bisa dijamin hanya oleh penegakan hukum. Relasi sosial kita pun harus berubah. Di sinilah dukungan laki-laki menjadi penting.

Saya sungguh berharap kemarahan bersama ini akan menjadi tonggak sejarah baru menghentikan kekerasan seksual di Indonesia. Termasuk atas segala jenis kekerasan seksual yang terjadi pada 35 perempuan setiap hari.

Tapi lebih dari itu menjadi tonggak sejarah baru bagi hubungan laki-laki dan perempuan yang lebih sehat dan manusiawi. Menjadi laki-laki yang normal dan perempuan yang normal. —Rappler.com

Sinta Dewi adalah seorang feminis, bekerja sebagai gender spesialis Pengurangan Risiko Bencana dan Perubahan Iklim, tinggal di Bonn.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!