Pesona di kaki gunung yang terancam hilang

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pesona di kaki gunung yang terancam hilang
Alam yang indah menjadi sirna karena ulah manusia

MALANG, Indonesia – Gunung Semeru di Jawa Timur telah lama menjadi magnet bagi para pendaki gunung. Keindahan alam dan pesona enam danau atau ranu di sekitar gunung berapi itu menjadi bagian dari daya tarik yang sulit diabaikan oleh para pengunjung.

Adalah Ranu Pani yang pertama menyapa para pendaki Gunung Semeru di Desa Ranupani, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Keindahan danau dengan luas kira-kira 0.75 hektare ini menginspirasi Soedjarwoto Soemarsono, yang terkenal dengan nama Gombloh, untuk menulis lagu dan menyanyikan lagi tentang keindahan alam.    

“Ranu Pani ini sudah lama ada, sejak kakek nenek saya. Dulu danau ini adalah sumber air bersih bagi warga Ranupani,” kata Sukodono, petani dan warga Desa Ranupani pada Jumat, 6 Mei.

Ranu Pani memang terhampar di tepi Desa Ranupani. Penduduk desa yang berjumlah sekitar 3.000 jiwa hidup berdampingan dengan danau yang selalu berkabut pada pagi dan menjelang petang ini. Di sekitar Ranu Pani terlihat hamparan lahan luas, rumah penduduk dan perbukitan yang penuh dengan tanaman milik petani setempat.

Tak jauh dari Ranu Pani, ada Ranu Regulo. Danau ini sedikit tersembunyi di balik bukit semak dan pohon pinus. Jalan setapak beralas paving cukup ramah bagi pengunjung untuk berjalan kaki sekitar 10 menit dari Ranu Pani.

Ranu Regulo menawarkan keindahan danau alami dikelilingi hijaunya pepohonan dan jernihnya permukaan danau. Bagai cermin, permukaan danau ini memantulkan hijaunya pepohonan dan birunya langit.

Keindahan Ranu Regulo akan terasa lengkap jika berada di sana saat matahari terbit. Melihat detik-detik fajar menjelma menjadi matahari terik dengan suasana subuh hingga pagi adalah pengalaman yang sangat berharga.  

“Hawa sejuk dan dingin, kabut yang menipis dan hilang kemudian datang lagi, suara burung dan beningnya danau, tanpa tercemari kotoran manusia, membuat pengunjung tidak ingin pulang,” kata Hari Istiawan, warga Kota Malang.

Pengunjung sedang berselfie di Ranu Regulo. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka

Ranu Pani dan Ranu Regulo sangat mudah dijangkau pengunjung. Untuk masuk ke dua kawasan danau ini, pengunjung tak dipungut biaya apapun. Ranu Regulo banyak digunakan untuk berkemah oleh pengunjung yang ingin menyaksikan matahari muncul di kaki Semeru.

Ranu Pani yang terancam hilang

Selain Ranu Pani dan Ranu Regulo, kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini menawarkan empat danau lagi, yaitu Ranu Darungan, Kuningan, Kumbolo dan Ranu Tompe. Danau yang terakhir ini tidak bisa dikunjungi wisatawan karena berada di zona khusus yang hanya boleh dikunjungi untuk kebutuhan riset saja.

Keenam danau ini merupakan danau tadah hujan yang telah ada di wilayah Tengger sejak lama. Kondisi mereka secara umum tak berbeda jauh dengan Ranu Regulo dan Ranu Pani, yang berada di ketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut dan sangat mudah dijangkau pengunjung.

Sementara Ranu Kumbolo, yang luasnya mencapai 15 hektar, berada di lereng atas. Untuk mengunjungi danau ini, wisatawan harus berjalan kaki 5 jam dari Ranu Pani.

Sayang, nasib miris dialami oleh Ranu Pani. Akibat proses erosi praktek bercocok tanam para petani di lereng bukit sekitar, luas danau ini semakin menciut. Kedalamannya pun semakin berkurang, dari semula 12 meter menjadi 7 meter saat ini.

“Ranu Pani sekarang masih ada dan tak pernah surut, tapi semakin menciut dan dangkal kena sedimen pupuk petani,” kata Sukodono.

Tanaman air salvinia molesta tumbuh subur di permukaan danau. Tanaman invasif itu mempercepat laju pendangkalan danau akibat akarnya yang mengikat tanah dan berbagai zat hara lain masuk ke danau

Burung Trocokan di tepi Ranu Pani 30 April 2016. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka

Salvinia tumbuh “sehat dan gemuk” akibat erosi tanah pertanian petani yang banyak mengandung pupuk. Warga setempat sengaja memasang jaring dari tali untuk mengikat dan menarik salvinia ke tepian, dan menggunakan tanaman itu sebagai pupuk organik.

“Petani diminta untuk mulai menerapkan model teras miring, untuk mengurangi erosi ke danau. Caranya dengan menanam rumput gajah sebagai tanggul alami untuk menahan erosi,” kata pemilik lahan kentang satu hektare itu.

Hanya saja, tak banyak petani yang telah menanam rumput gajah di tepian lahan mereka. Selain tak paham dengan model teras miring, tak banyak warga yang bisa mendapatkan rumput gajah dengan mudah.  

“Kami membutuhkan pemerintah untuk menyediakan bibit rumput gajah ini, juga ajakan untuk melakukan cara tanam teras miring,” imbuhnya.

Entah hingga kapan Ranu Pani bisa bertahan menyuguhkan keindahan bagi pengunjung dan warga desa Tengger di lereng Semeru itu. Kini banyak warga memenuhi kebutuhan air mereka dari mata air lain lewat sambungan pipa. Ranu Pani pun banyak digunakan sebagai tempat memancing ikan bagi warga setempat.

Manusia beruntung bisa mencari sumber air lain. Yang menderita justeru penghuni lain seperti burung Jalak Kebo, burung Trocokan, burung Cucak Hijau hingga Macan Kumbang atau Panthera Pardus yang masih sering dilihat warga setempat. Mereka tetap datang ke Ranu Pani untuk memenuhi kebutuhan air walau mungkin mereka tahu air danau itu tidak layak untuk diminum lagi karena ulah manusia. Rappler.com

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!