19 Mei 1998: Soeharto pidato janji ‘reshuffle’ kabinet, tidak dipilih lagi

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

19 Mei 1998: Soeharto pidato janji ‘reshuffle’ kabinet, tidak dipilih lagi

EPA

18 tahun lalu, ribuan warga etnis Tionghoa pergi meninggalkan Indonesia. Ketakutan akan kerusuhan lanjutan mencekam Jakarta.

JAKARTA, Indonesia – Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan cendekiawan Islam dan ulama, 18 tahun lalu, pada 19 Mei 1998.

Di antara yang hadir adalah Prof. Nurcholish Madjid, Abdurahman “Gus Dur” Wahid, KH Clolil Baidawi, KH Ali Yafie, Ma’ruf Amin, Emha Ainun Nadjib, Yusril Ihza Mahendra, dan Malik Fadjar.  Pertemuan dilangsungkan di Istana Negara, di ruang Jepara. Hadir juga sejumlah petinggi ABRI.

Di Gedung DPR/MPR RI, ribuan mahasiswa menduduki seluruh sudut gedung. Puluhan naik ke kubah gedung. Mereka menyerukan tuntutan, menyerukan Soeharto segera turun dari kekuasaan.  

Pasar uang begolak, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus merosot. Menurut catatan dalam buku Kronologi Penggulingan Soeharto, nilai rupiah melemah sampai ke angka Rp 16.000 per dolar AS. 

Beberapa ambulans dan tim medis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia siaga untuk mengantisipasi situasi. Di sejumlah lokasi di Jakarta, ibu-ibu menyiapkan makanan nasi bungkus dan minuman untuk disalurkan ke mahasiswa.  

Perjuangan menuntut pergantian kepemimpinan nasional dan reformasi sudah menyatukan anak-anak muda dan orangtua mereka. Suara Ibu Peduli, sebuah gerakan sosial yang diinisiasi oleh Melani Budianta, menyokong gerakan mahasiswa dengan menyalurkan makanan, minuman, uang, dan bantuan tenaga.

Dari laman Suara Ibu Peduli ini, kita mengingat kembali kiprah perempuan dalam Reformasi 1998. Melani Budianta dan kelompok perempuan berperan dalam Reformasi 1998 lewat “Politik Susu” yang menggugat dampak kebijakan ekonomi pemerintah terhadap anak-anak dan perempuan. 

Menggunakan istilah “Ibu” sebagai payung besar, Suara Ibu Peduli melakukan redefinisi atas konstruksi “Ibu” Orde Baru yang apolitis dan terbatas di wilayah domestik.

Segera setelah kerusuhan Mei 1998, Melani memprotes Menteri Urusan Peranan Wanita (UPW) lewat sebuah surat terbuka yang terbit di Media Indonesia. Melani menggugat sikap diam Menteri UPW ketika masalah pemerkosaan terhadap perempuan merebak di media massa dan di kalangan tokoh-tokoh masyarakat.

Jumpa pers Presiden Soeharto 19 Mei 1998

Mantan aktivis reformasi yang menjadi Ketua MPR RI, Amien Rais (kiri), bersama mantan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri. Foto dari EPA

Kembali ke Istana, setelah bertemu dengan cendikiawan dan ulama, Presiden Soeharto menggelar jumpa pers. Dia menjanjikan akan melakukan pemilihan umum untuk memilih penggantinya. Soeharto tidak bersedia dipilih kembali.  

Soeharto juga mengumumkan akan membentuk Komite Reformasi dengan anggota kalangan kampus, unsur masyarakat dan para pakar. Komite ini bertugas merevisi sejumlah UU Politik sesuai dengan semangat reformasi, termasuk UU Anti Korupsi dan UU Anti Monopoli. Soeharto juga berjanji segera melakukan reshuffle kabinet.

Pidato jumpa pers Soeharto siang itu cukup panjang. Soeharto mempertanyakan apakah dengan kemundurannya, keadaan bisa diatasi? Dia meragukan kemampuan Wakil Presiden BJ Habibie yang secara konstitusional akan menggantikan Soeharto jika dia mundur.

Soeharto juga menyindir mereka yang dua bulan sebelumnya meminta dirinya kembali menjadi presiden.

“Sebelumnya saya sudah mengatakan, apakah benar rakyat Indonesia itu masih percaya pada saya karena saya sudah 77 tahun,” kata Soeharto.  

Ternyata tiga parpol, yaitu Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), juga ABRI mengatakan sebagian besar rakyat menghendaki Soeharto menerima kembali pencalonan sebagai presiden untuk masa 1998-2003.  

Soeharto mengatakan dia menerima pencalonan itu sebagai tanggung-jawab agar tidak dianggap “tinggal glanggang, colong playu”, meninggalkan kedudukan di saat keadaan krisis.

“Sekarang kalau tuntutan mengundurkan diri itu saya penuhi, secara konstitusional, maka harus saya serahkan ke Wakil Presiden. Kemudian timbul apakah ini juga jalan penyelesaian masalah dan tidak akan timbul lagi masalah baru. 

“Nanti wakil presiden juga lantas harus mundur lagi. Kalau begitu terus-menerus dan itu menjadi preseden atau menjadi kejadian dalam kehidupan kitra berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, dengan sendirinya negara dan bangsa ini akan kacau,” kata Soeharto.  

Dia juga mengatakan tidak menjadi presiden tidak “patheken”.  Tidak masalah.

Setelah jumpa pers itu, keadaan mereda—yang ditunjukkan dengan meningkatnya nilai tukar rupiah.  Presiden akan reshuffle kabinet, dan menamai kabinetnya dengan Kabinet Reformasi. 

Soeharto menjanjikan bahwa Komite Reformasi akan melibatkan tokoh kritis seperti Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, Amien Rais, Buyung Nasution, dan Arbi Sanit.   

Dalam buku Kronologi Penggulingan Soeharto, diceritakan bagaimana ucapan Soeharto kepada Yusril Ihza Mahendra malam itu.  

“Mereka (mahasiswa) tidak mengerti. Kalau sidang istimewa bisa berlarut-larut sehingga keadaan tambah kacau. Kalau sudah begitu, ABRI akan mengambil kendali, to?”

Amien Rais merencanakan doa sejuta umat 20 Mei 1998

Pada 19 Mei, 18 tahun lalu, situasi Jakarta belum aman. Pidato Presiden Soeharto meredakan situasi, tapi belum memuaskan kehendak mahasiswa yang kini didukung para petinggi di kampus, serta sejumlah tokoh, bahwa Soeharto harus turun sesegera mungkin.  

Amien Rais, tokoh Muhamadiyah yang sejak awal vokal menyerukan pergantian kepemimpinan, merencanakan “demo” besar, dikemas dengan doa sejuta umat di Monumen Nasional (Monas). Lokasinya persis di depan Istana Presiden.

Rencana Amien Rais ini memanfaatkan peringatan Hari Kebangkitan Nasional, yang diperingati setiap 20 Mei. Ini hari kelahiran Budi Oetomo, organisasi pertama yang non sektarian, non etnis.  

Kongres pertama mereka dilakukan di Gedung Stovia, pada 20 Mei 1908, dan menjadi cikal bakal lahirnya gerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Rencana demo sejuta umat mendapat tanggapan berbagai organisasi. Mahasiswa pun mengalir menuju Monas. Sebagian mengarah ke kawasan Menteng, ke kediaman pribadi Soeharto yang dijaga ketat dengan pasukan dan kawat berduri.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)Ginandjar Kartasamita mengamati pergerakan mahasiswa itu dari kantornya, di Gedung Bappenas, di seberang Taman Suropati, Menteng.  

“Saya bisa melihat mereka (mahasiswa) dari jendela kantor saya. Mahasiswa berusaha mendekati rumah Soeharto di Jalan Cendana. Namun penjagaan ketat membuat mereka bertahan di Taman Suropati. Mereka nampak semangat, namun berupaya melakukannya dengan damai,” kata Ginandjar dalam buku Managing Indonesia’s Transformation, An Oral History.

Ketakutan akan kerusuhan lanjutan membuat warga Tionghoa memilih meninggalkan Indonesia. Begitu juga orang asing yang tak yakin akan keamanan di Indonesia dalam hari-hari menegangkan itu, memilih untuk terbang meninggalkan Indonesia. Kebanyakan ke Singapura dan Australia. Ribuan yang pergi.

Penduduk Jakarta, terutama di sejumlah komplek perumahan, memilih untuk berjaga bersama, bahkan memasang barikade untuk memastikan tidak ada orang tidak dikenal, apalagi penjarah, masuk ke kawasan mereka. Banyak kantor tutup, apalagi toko-toko.

Jakarta, di sejumlah area, bagaikan kota hantu. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!