10 tahun gempa: Kultur masyarakat Yogyakarta bergandengan tangan saat bencana

Mawa Kresna

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

10 tahun gempa: Kultur masyarakat Yogyakarta bergandengan tangan saat bencana

ANTARA FOTO

Refleksi 10 tahun gempa Yogyakarta dari Marzuki Mohammad aka Kill The DJ, seorang relawan

 

YOGYAKARTA, Indonesia — Gempa yang melanda Yogyakarta pada 27 Mei 2006 silam masih membekas di ingatan Marzuki Mohammad. 

Musisi yang biasa dikenal dengan nama Kill The DJ itu masih ingat setiap detil detik-detik gempa tektonik yang membuat lebih dari 6.000 nyawa hilang.

Sabtu pagi itu, pada 27 Mei 2006, Marzuki masih tidur di rumahnya di Langenharjo, Yogyakarta, saat gempa terjadi. Matanya yang berat akibat lembur semalaman membuat sket gambar bertema “Kita Semua Saudara”, mendadak menjadi segar akibat goncangan gempa. 

Meski kaget dan sempat panik, namun Zuki— begitu ia akrab dipanggil — tetap berada di dalam rumah.

“Saat gempa itu, saya baru tidur sekitar satu jam. Lembur semalaman bikin sket. Begitu gempa, kaget, tapi saya tetap di dalam rumah,” kata pentolan grup musik Jogja Hip Hop Foundation itu pada Rappler, Jumat, 27 Mei, sepuluh tahun pasca gempa yang meruntuhkan ratusan bangunan di Yogyakarta dan Jawa Tengah itu.

“Waktu belum ada media sosial. Kita enggak ada sumber informasi yang jelas,” ujar Zuki, yang juga menjadi cameo di film terlaris tahun ini, Ada Apa Dengan Cinta? 2 (AADC2).

Pada saat itu jaringan komunikasi terputus. Telepon tidak bisa digunakan untuk mencari informasi terkait gempa itu. Semula Zuki, mengira gempa itu akibat letusan gunung Merapi. Dia pun langsung melongok ke arah utara dan melihat apakah ada kepulan asap dari Merapi.

Zuki baru mengetahui jika goncangan dasyat itu terjadi karena gempa bumi yang berpusat di Bantul setelah dia menyalakan radio. Radio menjadi satu-satunya sumber informasi yang bisa diakses pada waktu itu.

Marzuki Mohammad aka Kill The DJ. Foto dari Twitter/@KillTheDJ

Tak berselang beberapa lama, tersiar kabar burung bahwa terjadi tsunami di pantai Selatan Yogyakarta. Orang-orang di kampung Zuki pun berhamburan menuju utara, daerah yang lebih tinggi. Jalanan menjadi padat, penuh orang-orang yang bergerak menuju ke utara.

Zuki justru tidak percaya kabar itu. Dia malah menuju ke selatan, berlawanan arah dengan orang-orang yang menuju ke utara. Dia pun terkejut ketika melintasi rumah-rumah di Bantul. Nyaris tidak ada rumah yang masih berdiri. Semuanya rata dengan tanah.

“Saya pikir enggak separah itu. Isu tsunami itu memang rame sekali, karena dua tahun sebelumnya kita tahu ada tsunami di Aceh, ya mungkin saja itu terjadi di Yogya, tapi saya enggak yakin. Jadi saya cek ke selatan,” tuturnya.

Tulus membantu sebagai relawan

Melihat kondisi itu, Zuki pun berupaya menemui teman-temannya. Pertama, dia ingin memastikan semua teman-temannya selamat. 

Kedua, dia mengajak teman-temannya menggalang bantuan untuk membantu warga. Pada saat itu juga, Zuki dan beberapa temannya mendirikan dapur umum di rumahnya.

Mereka menyediakan nasi bungkus untuk warga, tidak hanya di sekitar rumahnya, tapi juga dikirim ke Bantul dan daerah Prambanan. Tidak hanya dapur umum, Zuki dan teman-temannya juga mencari bantuan tenda, matras, alat masak dan logistik lainnya untuk warga. 

Saat itu ada 50 lebih teman-teman Zuki yang bergabung dalam gerakan sosial itu. Mereka sepakat menyebut gerakan mereka itu dengan nama United of Nothing.

“United of Nothing ini isinya teman-teman kita, kita bergerak membantu korban gempa. Mulai dari logistik sampai tenda dan lainnya,” ungkapnya.

Relawan United of Nothing membangun kembali rumah-rumah yang roboh akibat gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006. Foto dari unitedofnothing.wordpress.com

Salah satu yang dikerjakan United of Nothing yakni mencari tenda besar untuk sekolah darurat. Sebab, gempa terjadi beberapa hari sebelum ujian nasional digelar serentak se-Indonesia.

Salah satunya yakni sekolah dasar darurat dan taman kanak-kanak di daerah Boko Harjo, Prambanan.

“Kami modalnya ya jaringan, dari teman-teman yang kita kenal, bisa dapat tenda besar untuk sekolah darurat,” katanya.

Hampir setiap hari, Zuki dan teman-temannya mondar-mandir dari posko di rumah ke Prambanan. Mereka pun menjadi akrab dengan warga serta perangkat desa. Sampai-sampai setiap lebaran Idul Fitri, kepala desa tempat mereka membuat sekolah darurat selalu bersilaturahmi ke rumah Zuki.

“Tiga tahun setelah gempa itu dia selalu datang ke rumah setiap lebaran. Bawa hasil bumi di kasih ke kami,” tambahnya.

Selama tiga bulan, United of Nothing bergerak terus-menerus. Sayangnya karena masing-masing dari relawan, termasuk Zuki juga, harus kembali bekerja, mereka kemudian vakum.

“Kendalanya selalu itu, ya memang masing-masing punya pekerjaan untuk hidup yang tidak bisa ditinggal. Tapi kami sudah senang, bisa melakukan sesuatu untuk kemanusiaan,” ujarnya.

Zuki sendiri cukup terkesan dengan respon kemanusiaan yang ada pada waktu itu. Tidak saja relawan dari luar, tapi warga Yogyakarta baik yang menjadi korban atau tidak bergotong royong saling membantu satu sama lain. Kondisi sosial masyarakat yang begitu guyub membuat Yogyakarta cepat bangkit pasca bencana.

“Orang-orang tulus membantu, saling gotong royong antar warga. Ya, ini kultur Yogyakarta, masyarakatnya bisa bergandengan tangan di saat mengalami bencana. Ini yang harus dicontoh para pemimpin kita,” ucapnya.

Manusia harus hormati alam

Setelah 10 tahun berlalu, Zuki berharap bencana itu tidak datang lagi. Namun, dia menyadari bahwa bumi dan alam berada di luar kuasa manusia, karena itu manusia harus menghormati bumi. 

Dia pun menyindir pembangunan di Yogyakarta yang berkembang pesat namun serampangan. Bangunan tinggi berdiri di tengah pemukiman, yang akibatnya merusak alam.

“Alam itu punya logika sendiri, kita manusia harus hormati. Kemajuan itu tidak bisa dihindari, tapi apakah harus merusak alam? Haruskah risikonya besar? Kalau gempa lagi, bangunan tinggi roboh, yang menjadi korban warga. Jadi pemimpin itu harus tahu ini, harus mencontoh warganya sepuluh tahun lalu bisa guyub memikirkan yang terbaik untuk Yogyakarta,” ungkapnya.

Satu hal yang Zuki harapkan, gempa 10 tahun lalu menjadi pelajaran berharga bagi warga Yogyakarta dan juga pemerintahnya.

“Mungkin kedengaran kejawen, tapi manusia itu harus baik terhadap bumi, di sini kita tinggal, mau di mana lagi? Karena itu kita hormati, kita jaga dan harus berbuat baik pada bumi,” ucapnya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!