Catatan Simposium hari I: Reuni sang jenderal dan penjaga-penjaga khilafah

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Catatan Simposium hari I: Reuni sang jenderal dan penjaga-penjaga khilafah
Simposium hari I lebih banyak membicarakan pertentangan antara Pancasila dan Komunisme. Di saat yang sama pembicara dan peserta mencari kesamaan antara Pancasila dan Islam.

 

JAKARTA, Indonesia—Rabu pagi, 1 Juni, Letjen TNI Purnawirawan Kiki Syahnakri yang mengenakan setelan kemeja cokelat susu dan kacamata abu-abu khasnya itu datang agak terlambat. Ia menyalami Rappler, tersenyum, kemudian duduk di kursi putih yang sudah disediakan panitia simposium tandingan yang diselenggarakan di Balai Kartini tersebut. 

Di bawah megahnya penerangan lampu-lampu Ruang Raffles, diskusi yang mengambil tema Mengamankan Pancasila Dari Ancaman Partai Komunis Indonesia dan Ideologi Lain itu pun dibuka. 

Ada wajah-wajah lama yang dulu pernah menghiasi layar kaca, saat Soeharto masih berkuasa. Seperti Try Sutrisno yang pernah menjabat sebagai wakil presiden, Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan, hingga Mayjend TNI (Purn) Kivlan Zein. Penulis seperti dibawa kembali ke masa-masa di Sekolah Dasar, ketika harus menghafalkan nama-nama ini untuk pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). 

Ada juga wajah-wajah baru yang terbilang tenar setelah Soeharto jatuh atau reformasi. Seperti Imam Besar Front Pembela Islam FPI Habib Rizieq Shihab, Badan Ahli Front Dewan Perwakilan Pusat FPI Alfian Tanjung, dan Ustadz M Khotot dari Forum Umat Islam. 

Tokoh dari dua korps (atau laskar) yang berbeda itu hari ini duduk meriung di meja bundar yang sama. Mereka berbaur dan bercakap-cakap satu sama lain. 

Apa yang membuat keduanya akur? Pancasila. Setidaknya itu yang diungkap oleh Try Sutrisno dalam pidatonya tentang hari kebangkitan Pancasila yang jatuh tanggal 1 Juni.

“Acara ini kita selenggarakan pada momen yang amat simbolik, tanggal 1 Juni, yaitu tanggal yang amat bersejarah 71 tahun yang lalu, sewaktu Bung Karno yang dua bulan kemudian akan menjadi Proklamator Kemerdekaan Bangsa Indonesia, untuk pertama kalinya menyampaikan pidato beliau yang amat penting tentang Pandangan Hidup Bangsa, Pancasila,” katanya. 

Hari ini, kata Try, forum tersebut lewat simposium mengukuhkan kembali dukungan pada Pancasila sebagai dasar negara, dan di saat yang bersamaan menolak secara tegas ideologi lain. Seperti Marxisme, Leninisme, dan Komunisme, serta Partai Komunis Indonesia. 

Mengapa harus dipertegas? Karena menurut Try, meski sudah dilarang, PKI ternyata telah mengadakan kongres-kongres gelap secara rahasia di beberapa tempat. Tapi ia tak menyebut kongres yang dimaksud. 

Pidato Try ini disambut oleh Habib Rizieq. Saat menjadi pembicara di sesi I yang bertema Ideologi Partai Komunis Indonesia. Habib menjelaskan mengapa FPI mendukung Pancasila.

“Banyak yang bertanya, harus dibedakan, FPI menyikapi Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai dasar negara. Islam adalah akidah yang datang dari sumber ilahi tidak bisa ditawar, sudah merupakan harga mati. Dan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila sebagai ideologi insani yang datang dari ide manusia,” katanya. 

“Bahwa Islam sebagai akidah menolak semua ideologi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tinggal sekarang apakah Pancasila bertentangan dengan ajaran Islam.” 

“Andai kata Pancasila bertentangan dengan ajaran Islam, wajib bagi kami umat Islam untuk menentang. Manakala tidak bertentangan dengan Islam, bagi kami, warga negara Indonesia punya kewajiban untuk tidak menolak.”

Pernyataan Rizieq ini senada dengan Kholil Ridwan dari Majelis Ulama Indonesia. Ia mengatakan Islam dan Pancasila tak bisa dihadap-hadapkan. “Islam itu Pancasila yang universal, Pancasila itu Islam lokal,” katanya.

Setelah panjang lebar menjelaskan sikap FPI, Habib pun memberikan usulan rekomendasi dari laskarnya untuk Simposium. Antara lain, ada lima poin: 

  1. Kembali kepada Pancasila dan UUD45 yang asli yang dijiwai piagam Jakarta sebagaimana amanat dekrit presiden 5 Juli 1959. 
  2. Tolak segala perbuatan dan pemahaman ideologi yang bertentangan dengan nilai luhur ketuhanan yang maha esa sebagai jiwa dari pancasila
  3. Tegakkan dan laksanakan TAP MPR nomor 25 tahun 1966, Undang-undang nomor 27 tahun 1999 TAP MPR nomor 1 tahun 2003 dan KUHP pasal 107 a-e. 
  4. Tolak formalisasi rekonsiliasi dengan PKI karena akan membuka luka lama sejarah dan bisa membuka pintu fitnah berbahaya. 
  5. Serukan jihad konstitusional secara nasional melawan semua gerakan komunis dan neolib untuk selamatkan keutuhan NKRI. 

AKUR. Ketua FPI Habib Rizieq tampak akrab dengan Try Sutrisno dalam acara simposium nasional tandingan, Selasa, 1 Juni. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

Upaya wacana dukungan terhadap Pancasila saja tak cukup, panitia kemudian mendatangkan Sri Edi Swasono. Ia adalah guru besar ekonomi dari Universitas Indonesia, yang juga menantu pertama Bung Hatta. 

Edi membawa konsep Pancasila di tangannya. Sebuah kertas cuplikan dari sebuah buku. Sebelum ‘manggung’ ia sempat menunjukkan pada Rappler lembaran itu. 

Bukan hanya konsep, Edi juga memberikan testimoni terkait orang tuanya yang menjadi korban kekejaman PKI. Ia mengaku orang tuanya merasa dikejar-kejar. Karena itu, ia mengukuhkan dirinya untuk bergabung dengan gerakan anti-komunis. Di akhir sesinya, ia memekikkan takbir dengan mengepalkan tangan, “Allahu Akbar” dan disambut oleh Habib Rizieq serta simpatisan FPI lainnya.

Sesi I kemudian ditutup dengan pidato dari Abraham “Lulung” Lunggana yang mengenakan baju tentara motif loreng-loreng. Ia memperkenalkan dirinya sebagai generasi muda. Sayangnya pidato Lulung tak membicarakan falsafah Pancasila, ia malah menyebut nama Soeharto berkali-kali. Seperti, “Berhentinya Soeharto merupakan kekalahan bangsa ini!”

Usai sesi I ini, Rappler sempat bertanya pada Try Sutrisno, mengapa purnawirawan TNI merangkul FPI. Ia menjawab dengan berapi-api. 

“Jangan bilang dirangkul. Ini bangsa Indonesia, yang datang ke sini, seluruh kelompok Indonesia. Atas kesadarannya mau menyambut simposium ini. Karena ini ada nilai penting, semua sadar datang sendiri, atas tanggung jawabnya setia kepada bangsa Indonesia,” katanya. 

Bagaimana dengan rekam jejak FPI yang kerap kali berseberangan dengan Panacasila? “Mudah-mudahan tidak. Dengan hadir di sini, tahu situasi, karena NKRI landasannya pancasila.”

Marxisme di mata purnawirawan jenderal 

KONFERENSI PERS. Tokoh pensiunan militer dan tokoh gerakan Islam menggelar jumpa pers di sela-sela Simposium tandingan, Selasa, 1 Juni 2016. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

Riuh tentang diskusi Pancasila pun meredup, forum beralih membincangkan Marxisme, Leninisme, dan Komunisme yang masuk dalam ideologi lain yang dianggap mengancam Pancasila. 

Jenderal Kiki lalu menggelar konferensi pers bersama Habib Rizieq FPI, Khotot FUI, Kholil Ridwan MUI, dan beberapa tokoh yang hadir. 

Mereka membincangkan tentang Marxisme dan anak-cucu PKI. Soal Marxisme ini telah disinggung terlebih dulu oleh Try Sutrisno di pidatonya sebelumnya.

“Marxisme-Leninisme/Komunisme yang dianut oleh PKI berintikan ajaran tentang pertentangan kelas dan negara diktator proletarian, yang jika suatu saat dapat terbentuk, akan menindas dan membasmi tanpa ampun golongan-golongan lainnya,” katanya. 

Soal diktator ploteriat ini juga disebut oleh Saidiman, seorang pensiunan jenderal. Dia mengatakan, “Komunis itu diktator proletarian, tidak ada demokrasi, ada demokrasi rakyat tapi sebenarnya diktator proletarian,” katanya.

Penjelasan Try Sutrisno dan Saidiman ini kemudian memancing keingintahuan seorang wartawan. Saat konferensi pers digelar, wartawan bertanya tentang ide untuk meluruskan sejarah di buku kurikulum di sekolah-sekolah. 

Tapi ide itu sempat ditolak karena dikhawatirkan dapat menyebarkan ideologi Marxisme dan Leninisme lebih luas. 

Lalu sang wartawan bertanya tentang perbedaan antara Marxisme, Komunisme, dan Leninisme yang membuat khawatir rombongan sang jenderal. Mengapa ketiga ajaran tersebut berkaitan dengan Atesime. 

Jenderal Kiki pun menjawab. “Kalau anda benar-benar baca Marxis jelas-jelas kok Ateis. Sekarang Marxis dari mana dia dapat darimana Materialisme Dialektika? itu kan dari Aritoteles, Marxis itu Aristoteles.”

“Dari dia tidak percaya alam semesta tiada yang menciptakan. Pikiran Plato kan berpikir alam semesta, dia tidak percaya alam semesta diciptakan, tapi jadi dari sendirinya, baru kemudian berdialektika menimbulkan ide-ide materialisme dialektika.”

“Jadi jelas dong Ateis tidak percaya akan adanya tuhan apalagi dikembangkan oleh Lenin, Kalau Marx terlalu halus. Untuk mengimplementasikan itu harus merebut kekuasan, harus revolusi.”

Penjelasan dua jenderal ini menjadi acuan bagi pemimpin-pemimpin laskar penjaga khilafah. Mereka yakin Marxisme melanggengkan kolonialisme dan mengendorkan rasa nasionalisme warga negara. 

Karena itu mereka ingin memastikan, ajaran ini tidak disebarluaskan. Mereka bukan hanya menyasar orang-orang umum, tapi juga anak-cucu PKI.

“Kami serukan pada anak cucu PKI agar bertaubat sesuai dengan Munas MUI tahun 1957 di Palembang. Kami tidak memusuhi anak cucu PKI. Tapi jangan menyebarkan ideologi PKI,” kata Khotot dari FUI. 

“PKI itu meniru Nabi Muhammad”

Pembahasan mengenai Islam, Marxisme, dan PKI ternyata terus berlanjut. Di sesi II, Profesor Achmad Mansur Suryanegara menyinggunggya saat memberikan pandangannya mengenai PKI dalam aspek sejarah. 

Menurutnya Presiden pertama, Soekarno, tidak pernah menjadi komunis seperti yang disebut-sebut oleh golongan kiri. Ia menyebut Bung Karno seperti pawang yang menjinakkan hewan-hewan liar, di antaranya DN Aidit dan PKI. 

Rappler pun berbincang dengan Mansur usai sesi tersebut untuk mendalami sejarah PKI menurut Guru Besar sejarah dari Universitas Padjajaran Bandung ini. 

Dalam diskusi kami, Rappler menyebut sebuah video dokumenter yang menyatakan Soekarno berpendapat Pancasila itu tidak anti komunis. 

“Secara tertulis memang tidak anti komunis, tidak ada kata anti komunis. Tapi Pancasila adalah gambaran bangsa Indonesia yang berketuhanan,” katanya. 

Selain soal Pancasila dan Soekarno, Mansur juga mengulas sejarah reformasi tanah PKI yang dianggapnya terinspirasi dari gerakan reformasi tanah Nabi Muhammad. 

Gerakan land reform Muhammad, kata Mansur, yang meminta tanah kaum muhajirin secara sukarela dicontoh oleh Napoleon, yang kemudian ditiru oleh Lenin dan Mao Tse Tung. “Lalu dicontoh PKI,” katanya. 

Rappler pun bertanya, “Berarti PKI tidak anti Islam karena menurut Anda meniru, lalu mengapa ditolak oleh kaum konservatif?” 

“Jelas bertentangan, komunis itu kan praktiknya membunuh para kyai, baca buku ayat-ayat disembelih,” ujarnya. 

Apel siaga laskar Pancasila

FOTO MUSO. Foto Muso ini ditampilkan dalam pameran di simposium tandingan, Selasa, 1 Juni 2016. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

Lalu apa puncak dari reuni ini? Jenderal Kiki mengatakan akan ada apel siaga di Monumen Nasional pada Jumat nanti, 3 Juni, akan ada apel siaga. “Saya yang akan memimpin sendiri,” katanya. 

FPI, FUI, dan organisasi lainnya yang mendukung simposium ini akan berkumpul di lapangan Monas. Saat mendengar rencana ini, seorang wartawan kembali melempar pernyataan. “Sudah izin pak?” 

“Tidak perlu izin, cukup pemberitahuan,” katanya. 

Dalam apel itu nanti akan ada barisan purnawirawan TNI yang berbaur dengan organisasi Islam lainnya seperti FUI dan FPI. 

Kiki memastikan apel siaga ditujukan untuk aksi damai. Tapi di saat yang sama ia tidak menjamin tak ada kerusuhan. 

Sementara itu, Rizieq FPI mengatakan bahwa laskarnya siap bergabung dengan barisan korps loreng-loreng. Alasannya karena Rizieq ingin memastikan Presiden Joko “Jokowi” Widodo tidak memberikan maaf pada PKI atas tragedi pembantaian massal 1965. 

Rizieq mengatakan ia dan FPI siap berjihad jika Jokowi memutuskan untuk meminta maaf pada keluarga korban pembantaian massal. “Kami lengserkan siapa saja presiden yang minta maaf pada PKI. Takbir!” —Rappler.com

BACA JUGA

Baca laporan lengkap Rappler tentang Simposium Nasional 1965:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!