Indonesia

Para petani yang terbuang dari tanah moyang

Eka Handriana

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

This compilation was migrated from our archives

Visit the archived version to read the full article.

SEMARANG, Indonesia — Adzan Ashar berkumandang. Beberapa perempuan bercaping berjalan urut di pematang, meninggalkan sawah yang seharian mereka geluti. Mereka melintasi jalan di bawah gapura hijau bertuliskan “Selamat Datang – Desa Surokonto Wetan”.

Jalan itu merupakan jalan masuk ke Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pegeruyung, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Dinamai Jalan Kyai Joko Suro. Bukan nama yang asal diambil ataupun asal disebut. Bagi warga Surokonto Wetan, Kyai Joko Suro adalah pahlawan, leluhur perintis kehidupan pertanian di desa tersebut.

“Kyai Joko Suro bersama Kyai Salim adalah dua tokoh yang dulu mbabat alas wilayah ini. Membukanya untuk area pertanian, membuat sengkedan sekaligus irigasi. Itu sebelum Belanda datang,” kata To Wikromo (94 tahun), salah seorang warga asli Surokonto Wetan.

Menurut cerita turun temurun di kalangan warga, sebelum Belanda menduduki Kendal, penduduk asli Surokonto Wetan sudah melakukan kegiatan pertanian. Menanam jagung, ketela, dan apa saja untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Kyai Joko Suro dan Kyai Salim meninggalkan sistem irigasi kuno yang mereka buat untuk mengairi sawah di Surokonto Wetan dan Surokonto Kulon. Irigasi yang airnya berasal dari Sungai Damar, terletak di barat daya Kendal, dialirkan melingkari perbukitan dan membelah hutan. Aliran menuju ladang pertanian di wilayah Pageruyung, termasuk Surokonto Wetan dan Surokonto Kulon, yang letaknya di bagian selatan Kendal.

Kepada generasi yang lebih muda, Wikromo menceritakan sistem irigasi karya Kyai Joko Suro dan Kyai Salim dikonversi menjadi irigasi teknis oleh Belanda sekitar 1930-an. Aliran yang memutar di kaki-kaki bukit diubah menjadi aliran yang menembus bukit.

Upaya pembukaan lahan, pembuatan sengkedan di tebing-tebing perbukitan hingga, pencetusan sistem irigasi yang dilakukan Kyai Joko Suro dan Kyai Salim itu menjadi pengetahuan warga. Pengetahuan yang terus diwariskan pada generasi baru, sebagaimana penggarapan lahan yang terus berlangsung turun-temurun, sehingga warga meyakini bahwa tanah di wilayah tersebut adalah warisan moyang mereka. 

Kendati demikian, tidak ada catatan di atas kertas mengenai hak warga pada kepemilikan lahan yang digarap tersebut.

Kepemilikan lahan

Dari gapura tanda memasuki Desa Surokonto Wetan, jika menoleh ke arah kiri akan tampak lereng perbukitan yang dipenuhi tanaman jagung yang sudah berbunga. Di pinggir area tanaman jagung, berjajar tanaman singkong. Itulah lahan yang digarap oleh sekurangnya 450 petani Sukoronto Wetan, tanpa dokumen kepemilikan.  

Di situ pula letak makam Kyai Joko Suro yang selalu dibersihkan saat peringatan haul atau hari kematiannya setiap Bulan Syawal. Haul Kyai Salim diperingati setiap bulan Zulhijah.

Sejak 1972, petani Surokonto Wetan menggarap lahan tersebut secara bagi hasil dengan PT Sumur Pitu Wringinsari. Dua per tiga bagian hasil untuk petani penggarap dan sepertiga hasil untuk PT Sumur Pitu Wringinsari.

PT Sumur Pitu Wringinsari adalah pemegang Hak Guna Usaha (HGU) berdasar Surat Keputusan Direktorat Jenderal Agraria Nomor SK.16/HGU/DA/72 tertanggal 13 Oktober 1972, berlaku hingga 1997. Lahan Surokonto Wetan seluas 127,821 hektare yang sebagian digarap petani setempat termasuk di dalamnya.

Pada 1998, PT Sumur Pitu Wringinsari mengajukan perpanjangan HGU kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Wilayah Jawa Tengah. Pengajuan disetujui melalui Surat Keputusan Kepala BPN Jawa Tengah, Nomor SK.540.2/005/7/504/33/99 yang diterbitkan pada 20 Februari 1999.

HGU berlaku 25 tahun hingga 2022, termasuk di dalamnya lahan Surokonto Wetan seluas 127,821 hektare.

Tanaman jagung yang ditanam warga Surokonto Wetan di lahan HGU PT Sumur Pitu yang dilepas dan kemudian ditetapkan menjadi kawasan hutan. Foto oleh Eka Handriana/Rappler 

Sementara hak kepemilikan lahan ada pada negara. Hal itu berdasar Akta Jual Beli Nomor 45 tertanggal 23 Desember 1952 di hadapan notaris RM Soeprapto. Perkebunan di Kabupaten Kendal yang pada masa penjajahan dikuasai oleh perusahaan perkebunan swasta NV Rotterdamsche Cultuur Maatschapij dan NV Cultuur Maatscapij Satrian, saat itu dibeli Pemerintah Republik Indonesia melalui Biro Rekonstruksi Nasional.

PT Sumur Pitu Wringinsari sendiri merupakan perusahaan perkebunan, angkutan, dan perindustrian yang berada di bawah naungan Yayasan Rumpun Diponegoro milik Kodam IV Diponegoro. Pada dokumen perpanjangan HGU yang dikeluarkan BPN Jawa Tengah, diketahui alamat PT Sumur Pitu Wringinsari berada di Jalan Kepodang Nomor 9 Semarang.

Berdasar keterangan yang dihimpun dari petani penggarap lahan HGU PT Sumur Pitu Wringinsari, bagi hasil masih terus berlangsung hingga 2013. Sayangnya, petani penggarap tidak menandatangani perjanjian bagi hasil. 

Kendati begitu, mereka memiliki kwitansi sebagai bukti penyerahan hasil kepada PT Sumur Pitu Wringinsari melalui pengurusnya. Petani penggarap menyebutnya mandor.

Ketika Rappler mengunjungi kantor PT Sumur Pitu Wringinsari di Jalan Kepodang Nomor 9, Semarang, kantor tersebut tampak kosong dan tidak ada aktivitas.

Rappler lalu menyusuri Jalan Kepodang Nomor 1, tempat sebuah aset milik Puskopad A Kodam IV Diponegoro. Dari tempat itu Rappler mendapat informasi bahwa Kantor Yayasan Rumpun Diponegoro yang menaungi PT Sumur Pitu Wringinsari pindah ke Jalan Pemuda 145.

Namun ketika dikunjungi di sana, mereka menolak untuk memberikan konfirmasi.

Terbuang

Selama puluhan tahun, besaran lahan yang dikelola petani penggarap lahan HGU PT Sumur Pitu tersebut tidak tetap. Sebab selain petani penggarap, juga ada perusahaan perkebunan lain yang menyewa lalu menggarap lahan tersebut. Di antaranya ada perusahaan yang menyewa dan menanam tebu, serta murbei untuk budidaya ulat sutera.

“Setiap ada perusahaan yang masuk, kami digeser ke lahan yang di pojok-pojok yang tidak disewakan. Nanti kalau perusahaan penyewa sudah pergi, kami digeser ke tengah lagi sekaligus untuk mengolah lahan biar subur. Tetap dengan bagi hasil,” kata salah satu penggarap, Nur Azis (44).

Pada 2013, Menteri Kehutanan mengeluarkan surat keputusan penunjukan kawasan hutan produksi tetap untuk lahan yang terletak di Desa Surokonto Wetan seluas 125,53 hektar. 

Surat bernomor SK.643/MENHUT-II/2013 terbit tanggal 25 September 2013.  Penunjukan kawasan hutan di Surokonto Wetan itu dilakukan untuk memenuhi penggantian lahan kawasan hutan di Rembang yang digunakan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk untuk pembangunan pabrik semen.

“Kami tidak tahu tentang SK (surat keputusan penunjukan kawasan hutan) itu,” aku Nur Azis. Menurutnya, tidak ada sosialisasi tentang SK penunjukan kawasan hutan. Penggarapan lahan masih terus dilakukan oleh petani setempat.

Pengetahuan ini terus diwariskan pada generasi baru, sebagaimana penggarapan lahan yang terus berlangsung turun-temurun, sehingga warga meyakini bahwa tanah di wilayah tersebut adalah warisan moyang mereka.

Surat keputusan penunjukan kawasan hutan disusul dengan surat keputusan penetapan kawasan hutan produksi pada bagian hutan Kalibodri untuk tanah seluah 127,821 hektare di Surokonto Wetan. Surat Keputusan bernomor SK 3021/Menhut-VII/KUH/2014 tertanggal 17 April 2014 itupun tidak disosialisasikan, warga tidak tahu.

Pada penghujung 2014, menurut Nur Azis, ada kajian sosial yang memaparkan bahwa lahan tersebut akan dijadikan hutan produksi. Petani Surkonto Wetan keberatan, lantaran mereka menggantungkan hidup dengan menggarap lahan tersebut.

“Pada saat itu kami tidak setuju. Karena kalau jadi hutan produksi, kami tidak mendapat tempat lagi untuk bertani. Katakanlah kalau ditanami karet, ya kami bisa menanam jagung atau lainnya di sela-sela karet. Tapi kalau karet sudah besar usia lima tahun, tidak bisa ditanami tanaman sela lagi” ungkap Azis.

Pada 21Januari 2015, barulah Perum Perhutani mengadakan sosialisasi sekaligus perekrutan pekerja, yang berlaku bagi warga Surokonto Wetan yang hendak bekerja di wilayah lahan sebagai mandor.

Padahal proses penggantian lahan (ruilslag) kawasan hutan itu sebetulnya tidak tuntas, jelas, maupun transparan. Sebagaimana diketahui, lahan yang digunakan untuk mengganti kawasan hutan bukanlah lahan milik perorangan, melainkan milik negara. PT Sumur Pitu Wringinsari hanya sebatas memegang HGU.

Pada April 2015, Nur Azis bersama petani penggarap mengajukan surat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, meminta peninjauan kembali SK penetapan kawasan hutan. Namun tak berbuah hasil. Sementara warga tetap menanami lahan, karena membiarkannya telantar malah akan merusaknya.

Desember 2015, warga kembali melaporkan kejanggalan ruilslag ke pemerintah pusat. Laporan-laporan tak kunjung mendapat tanggapan, namun pada 26 Januari 2016, Perum Perhutani KPH Kendal melaporkan tindak pidana penguasaan kawasan hutan secara tidak sah di Desa Surokonto Wetan. Setelahnya, Kepolisian Resor Kendal memulai serangkaian pemeriksaan penyidikan berkaitan laporan tersebut.

Sepanjang 2015, Nur Azis dan kawan-kawannya telah beberapa kali dipanggil polisi untuk dimintai keterangan seputar pengelolaan lahan di Surokonto Wetan. Pemeriksaan pada Nur Azis dan kawan-kawannya kian intensif setelah terbit perintah penyidikan atas laporan tersebut.

Pada 30 Maret 2016, diadakan upacara penanaman pohon secara simbolik oleh Perum Perhutani di Surokonto Wetan. “Waktu itu dijaga aparat keamanan. Kami tidak bisa apa-apa, juga tidak diberi kesempatan bicara,” kata Nur Azis.

Hingga 2 Mei 2016, nama Nur Azis bersama Mudjiyono (41) dan Sutrisno Rusmin (64) dinyatakan sebagai tersangka tindak pidana menggerakkan pembalakan liar atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. 

“Kami kecewa, karena sejak awal kami sudah meminta melalui surat untuk meninjau kembali SK penetapan kawasan hutan itu,” kata Nur Azis.

Sementara itu, Perhutani KPH Kendal menolak memberikan konfirmasi dengan alasan bahwa SK penunjukan dan penetapan kawasan hutan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan saat itu.

Terjerat dalih konservasi

Makam-makam lain di sekitar makam Kyai Joko Suro, dalam kompleks makan yang luasnya sekitar 1 hektare. Foto oleh Eka Handriana/Rappler 

Nur Azis, Mudjiyono, dan Sutrisno Rusmin dijerat Pasal Pasal 94 ayat (1) huruf (a) dan (b) Jo Pasal 19 huruf (a) dan (c) Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Mereka dituduh menyerobot lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan.

Jerat hukum pada tiga petani Surokonto itu menambah panjang daftar kasus masyarakat sekitar hutan yang terperangkap Undang-Undang P3H. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sejak disahkan pada 2013, telah ada lebih dari 10 kasus menjerat masyarakat adat, petani dan buruh.

Di Bengkulu, ada empat warga adat Semende Agung yang divonis tiga tahun penjara dengan denda Rp 1,5 miliar per orang atas tuduhan perusakan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Padahal mereka sudah hidup di sana turun menurun dari sebelum kawasan itu ditetapkan pemerintah menjadi taman nasional.

Jeratan UU P3H juga mengingatkan pada kisah seorang nenek bernama Asyani di Situbondo yang divonis pidana satu tahun dengan masa percobaan 15 bulan. Hukuman itu atas tuduhan dua batang pohon jati milik Perhutani. Dalam persidangan, Asyani mengungkapkan batang pohon jati itu ditebang dari lahan sendiri oleh mendiang suaminya lima tahun sebelumnya.

Sekretaris Jenderal KPA, Iwan Nurdin, mengatakan Undang-Undang P3H menjadi perangkap masyarakat yang bermukim di perbatasan atau masuk wilayah hutan. Sebab perundangan tersebut tidak mendefinisikan pembalakan secara jelas. 

“Pembalakan itu dilakukan secara masif. Korporasi yang memungkinkan untuk bisa melakukan,” kata Iwan. 

Di sisi lain, hingga kini perusahaan yang melakukan aktivitas merusak hutan justru tidak terjerat Undang-Undang P3H.

Menurut Iwan, Undang-Undang P3H juga tidak mempertimbangkan banyaknya kawasan hutan yang belum jelas tata batasnya. KPA mencatat, dari 130 juta hektar kawasan hutan Indonesia, sekurangnya 70 persen di antaranya belum selesai ditata batas. 

“Ketidakpastian tata batas kawasan hutan itu memicu konflik agrarian antara masyarakat dengan Perhutani,” ujar Iwan.

Padahal saat ini ada 33.000 desa yang berbatasan dengan hutan di seluruh Indonesia. KPA mencatat ada 6.300 desa yang berkonflik dengan Perum Perhutani lantaran tumpang tindih lahan. Konflik masyarakat sekitar hutan dengan perhutani ini mendominasi konflik agraria di Pulau Jawa. 

Kasus tumpang tindih lahan seperti itu terjadi sejak zaman kolonial. “Perhutani mengklaim bahwa wilayah pengelolaannya telah selesai ditata batas sejak zaman Belanda, antara tahun 1865 sampai 1930-an. Namun Berita Acara Tata Batas sulit untuk diakses,” kata Iwan. 

Jika Perhutani merujuk pada tata batas zaman kolonial, kata Iwan, tentu berbeda maksud dan itikadnya dengan tujuan kemerdekaan.

“Kami lahir di sini, besar di sini, cari makan ya di sini, kami hidup di sini. Seandainya lahan itu bisa kembali ya kami berharap kembalinya ke nenek moyang kami.”

Setelah kemerdekaan, terbit Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang dititikberatkan pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan konversi tanah yang terdiri dari sembilan pasal. Dinyatakan, konversi atas tanah yang berasal dari hak-hak barat (kolonial) selambatnya diselesaikan dalam masa 20 tahun sejak perudangan diterbitkan. 

Pasal 6 UUPA 1960 juga menyebutkan semua kepemilikan dan pengelolaan tanah selalu memiliki fungsi sosialnya tersendiri.

Sementara, konflik yang terjadi di Surokonto Wetan antara petani dengan Perhutani disertai dengan adanya peristiwa ruilslag lahan yang ternyata tidak jernih. 

“Sebelum ada penetapan kawasan hutan, ruilslag seharusnya clean and clear lebih dulu. Perhutani seharusnya melihat itu,” kata Iwan. Setelah ruilslag tuntas dan dipastikan tidak menyalahi aturan, baru bisa dilakukan serangkaian proses pengukuhan

Berdasar Pasal 15 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan proses pengukuhan kawasan hutan. Tahapan proses pengukuhan secara berurutan adalah penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, baru penataan kawasan hutan. Pengukuhan dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian hukum kawasan hutan.

Sebelum diadakan pengukuhan, menurut perundangan tersebut, ada proses inventarisasi hutan. Dilakukan untuk memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, dan lingkungannya secara lengkap. Termasuk harus mempertimbangkan sumber daya manusia dan kondisi sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

Iwan mengatakan, kasus seperti yang terjadi di Surokonto Wetan itu akan terus ada selama persoalan tata batas belum terselesaikan. 

“Sebetulnya telah ada peraturan bersama tentang tata cara penyelesaian penguasaan tanah yang berada di kawasan hutan,” kata Iwan. Peraturan yang disepakati Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional ditetapkan pada 17 Oktober 2014.

Di dalamnya memuat tata cara penyelesaian hak ulayat dan penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan, inventarisasi penguasaan pemilikan penggunan, dan pemanfaatan tanah dalam kawasan hutan. Perubahan kawasan hutan, integrasi kawasan hutan dalam rencana tata ruang wilayah, pemanfaatan tanah dan batasan luas.

Dengan kerapnya masyarakat sekitar hutan yang terjerat Undang-Undang P3H, menurut Iwan, penting bagi pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan peraturan bersama tersebut. “Kalaupun belum dianggap kuat untuk diimplementasikan, maka harus didorong menjadi lebih kuat, seperti peraturan presiden,” ujar Iwan.

Terhadap kasus yang terjadi pada Nur Azis dan kawan-kawan, Iwan berpendapat DPRD serta BPN setempat sedianya memberikan perhatian dalam penyelesaiannya.

Sedangkan, masyarakat Surokonto Wetan terutama para petani yang menggarap lahan HGU PT Sumurpitu itu, menghendaki pencabutan SK penunjukan dan penetapan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan. Mereka meminta hak pengelolaan lahan secara berdaulat dan berorientasi kesejahteraan seperti yang diamanatkan UUPA 1960.

Mereka turut mendesak pemerintah melakukan tindakan hukum pada pihak-pihak yang telah menjual tanah negara. Serta meminta pencabutan status tersangka atas Nur Azis, Mudjiyono, dan Sutrisno Rusmin. 

“Kami lahir di sini, besar di sini, cari makan ya di sini, kami hidup di sini. Seandainya lahan itu bisa kembali ya kami berharap kembalinya ke nenek moyang kami,” kata Nur Azis. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!