Perempuan terpidana mati: 5 persamaan antara Mary Jane dan Merry Utami

Natashya Gutierrez

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Perempuan terpidana mati: 5 persamaan antara Mary Jane dan Merry Utami
Kedua perempuan ini dijadwalkan dieksekusi mati atas tuduhan penyelundupan narkoba, tetapi keduanya diselamatkan pada detik terakhir oleh pemerintah Indonesia

CILACAP, Indonesia – Pada dua pelaksanaan eksekusi mati oleh pemerintah Indonesia, nama dua perempuan ini menonjol: Mary Jane Veloso dari Filipina dan Merry Utami dari Indonesia.

Keduanya dihukum mati atas tuduhan penyelundupan narkoba tetapi persamaan di antara mereka bukan sekadar jenis kelamin serta dugaan tindakan kriminal mereka.

Berikut adalah 5 persamaan di antara kedua perempuan yang mendorong aksi oleh kelompok pembela hak asasi manusia serta bernasib serupa:

1. Keduanya disebut merupakan penyelundup narkoba 

Kisah tentang bagaimana mereka berdua berakhir di balik jeruji besi sama-sama menarik.

Mary Jane Veloso (31 tahun) ditangkap pada 2010 atas tuduhan penyelundupan 2,6 kilogram heroin dalam jahitan kopernya. 

Mary Jane, ibu dari dua anaknya yang yatim, berasal dari Nueva Ecija dan terbang melalui ke Malaysia untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Ia mengklaim bahwa orang yang merekrutnya, Maria Kristina Sergio, menipunya sehingga ia terbang ke Indonesia dan koper yang dibawanya diberikan padanya oleh Sergio. 

Mary Jane secara konsisten telah mempertahankan argumentasinya bahwa ia tidak bersalah. 

HUKUM TENTANG NARKOBA. Undang-Undang Indonesia tentang obat-obatan terlarang termasuk yang paling keras di dunia. Foto oleh EPA

Merry (42 tahun) juga merupakan mantan pekerja rumah tangga yang diduga ditipu sehingga menyelendupkan 1,1 kg heroin ke bandara Soekarno-Hatta pada 2003. 

Ibu dari dua anak ini berasal dari Sukoharjo, Jawa Tengah. Ia terbang dari Nepal setelah berlibur dengan seorang pria Kanada yang menjadi temannya dan memberinya sebuat tas kulit — tas yang kemudian ditemukan berisi heroin oleh pihak berwenang. Merry menegaskan dirinya tidak bersalah dan tidak tahu tentang penyelundupan narkoba ini. 

2. Proses pengadilan yang tidak normal

Aktivis hak asasi manusia secara konsisten menekankan bahwa Mary Jane dan Merry sama-sama tidak mendapat pengadilan yang adil. 

Menurut pengacaranya, Mary Jane tidak bisa mempertahankan dirinya dengan baik. Pertama, mereka menyatakan Mary Jane tidak diberikan pengacara atau penerjemah ketika polisi menginterogasinya dalam bahasa Indonesia, yang tidak dimengertinya pada saat itu. 

Kemudian saat ia diadili, penerjemah yang disediakan pengadilan menerjemahkan proses peradilan dari Bahasa Indonesia ke Inggris, yang tidak dikuasai Mary Jane dengan lancar. Ketiga, pengacaranya saat itu adalah pembela publik yang disediakan polisi.

Sementara, pengacara Merry menyatakan ia diancam akan diperkosa oleh polisi ketika ia ditangkap, dan disiksa saat dirinya berada di bawah pengawasan polisi. Dalam stres psikologis, Merry dipaksa menandatangani laporan polisi yang menyatakan ia terlibat tindak kriminal yang dituduhkan padanya. 

(BACA: Mengenal Merri Utami, terpidana mati korban penipuan sindikat perdagangan orang)

3. Permohonan hingga detik terakhir 

Hingga detik terakhir, permohonan naik banding bagi keduanya diajukan guna menyelamatkan hidup mereka.

Kasus Mary Jane dilobi diplomat Filipina dalam hari-hari menuju eksekusi matinya, dengan mantan Presiden Filipina, Benigno Aquino III, secara pribadi berbicara kepada Presiden RI Joko “Jokowi” Widodo. 

Presiden Jokowi juga bertemu dengan seorang pembela hak asasi seperti Anis Hidayah dari Migrant Care dan perwakilan dari tiga serikat perdagangan beberapa jam sebelum jadwal pelaksanaan eksekusi mati, dan mereka semua mendesak Jokowi untuk menyelamatkan hidup Mary Jane. 

PERMOHONAN PRIBADI. Merry Utami menulis surat pribadi kepada Presiden Jokowi untuk meminta grasi. Foto dari Rappler

Merry juga didukung beragam grup hak asasi manusia, termasuk Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Indonesia for Mercy, yang mengadakan aksi protes di Cilicap dan Istana Kepresidenan di Jakarta. 

Merry sendiri juga menolak mati tanpa perlawanan. Setelah namanya diumumkan di antara tahanan yang akan dieksekusi, ia menulis surat kepada presiden bertanggal 26 Juli, meminta pengampunan. Walau ia menegaskan dirinya tak bersalah, sebagai tahanan ia harus mengakui kesalahannya ketika meminta grasi. 

4. Tenang sebelum dieksekusi 

Baik Mary Jane maupun Merry menganut Katolik, dan keduanya menjadi sangat religius ketika mereka dipenjara. Orangtua Mary Jane menyatakan putri mereka adalah orang yang berbeda dari perempuan yang mereka kenal sebelum ia dipenjara, bahwa Mary Jane menjadi lebih religius sejak mengalami hal tersebut. 

Merry juga dideskripsikan oleh komisioner Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah, sebagai seorang yang sangat religius, dan telah merekam lagu-lagu spiritual terkait ajaran Katolik. 

Walau keduanya putus asa ketika pertama mendengar kabar bahwa mereka akan dieksekusi, mereka berdua tampak tenang pada jam-jam menjelang kematian mereka, menurut keluarga Mary Jane dan Merry, dan tampak telah menerima nasib mereka. 

5. Diselamatkan pada detik terakhir 

Mungkin salah satu persamaan yang paling menarik di antara keduanya adalah mereka sama-sama diselamatkan pada detik terakhir sebelum dieksekusi mati.  

Eksekusi Mary Jane ditunda setelah perekrutnya menyerahkan diri, orang yang disebut Mary Jane menipunya sehingga ia terbang ke Indonesia dan menyelundupkan narkoba dalam kopernya. Pihak Indonesia menyatakan akan menunggu berjalannya perkembangan kasus terkait sang perekrut di Filipina. 

HUKUMAN MATI. Aktivis Indonesia menyalakan lilin dalam protes dengan lilin melawan hukuman eksekusi mati di luar Istana Presiden di Jakarta, Indonesia, 28 Juli 2016. EPA

Sementara dalam kasus Merry, belum jelas apakahh ia diselamatkan dan apakah surat pribadinya dan permohonan kelompok pembela hak asasi manusia menyebabkan adanya perbedaan — atau apakah eksekusinya ditunda karena hujan badai yang turun pada malam sebelum eksekusi matinya dijadwalkan untuk dilakukan.

Walau keduanya tetap merupakan tahanan yang akan dihukum mati, penundaan eksekusi Mary Jane dan Merry seakan memberikan keduanya kesempatan kedua untuk hidup — mengingat mereka telah dibawa di pulau eksekusi mati, Nusakambangan, hanya untuk hidup sedikit lebih lama lagi. Rappler.com

Baca liputan Rappler tentang eksekusi mati:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!
Face, Happy, Head

author

Natashya Gutierrez

Natashya is President of Rappler. Among the pioneers of Rappler, she is an award-winning multimedia journalist and was also former editor-in-chief of Vice News Asia-Pacific. Gutierrez was named one of the World Economic Forum’s Young Global Leaders for 2023.