Ahok dan Sunny jadi saksi untuk Sanusi dalam kasus suap reklamasi

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ahok dan Sunny jadi saksi untuk Sanusi dalam kasus suap reklamasi

ANTARA FOTO

Ahok dan Sunny sebelumnya pernah jadi saksi pada 25 Juli 2016 untuk terdakwa mantan Presider APL Ariesman Widjaja


JAKARTA, Indonesia — Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan staf khususnya, Sunny Tanuwidjaja, dijadwalkan menjadi saksi untuk mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) DKI Jakarta hari ini, Senin, 5 September.

Sanusi merupakan terdakwa dalam perkara dugaan penerimaan suap sebesar Rp 2 miliar dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (Pantura) Jakarta (RTRKSP) dan melakukan pencucian uang sebesar Rp 45,28 miliar.

Ahok dan Sunny sebelumnya sudah pernah menjadi saksi pada 25 Juli 2016 untuk terdakwa mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja dan pegawainya Trinanda Prihantoro. 

Ariesman sendiri sudah divonis 3 tahun penjara dalam perkara ini karena dinilai terbukti menyuap Sanusi.

Ariesman dinilai terbukti menyuap Sanusi agar yang bersangkutan mengubah isi Raperda mengenai kontribusi tambahan yang terdapat pada pasal 116 ayat (6) mengenai kewajiban pengembang yang terdiri dari (a) kewajiban, (b) kontribusi, (c) tambahan kontribusi; dan pasal 116 ayat (11) mengenai tambahan kontribusi dihitung sebesar 15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) total lahan yang dapat dijual tahun tambahan kontribusi tersebut dikenakan.

Dalam sidang pada 25 Juli 2016 itu, Ahok mengaku bahwa sejumlah pengembang yang memiliki izin pelaksanaan di 17 pulau reklamasi di Pantai Utara DKI Jakarta tidak ada yang keberatan mengenai penerapan kontribusi tambahan. 

Menurut Ahok, Sunny selaku stafnya yang biasa berkomunikasi dengan pengembang-pengembang juga tidak melaporkan keberatan tersebut.

“Bos-bos menurut Sunny sepertinya tidak ada yang ngomong, kok,” ungkap Ahok.

Ahok sudah membuat perjanjian dengan pengembang pada 18 Maret 2014 di kantor Wakil Gubernur saat dirinya masih menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk meminta agar para pengembang bersedia untuk memberikan kontribusi awal sebelum RTRKSP disepakati.

Ahok pertanyaan kebijakan Fauzi Bowo

Dalam kesaksiaknnya, Ahok mempertanyakan kebijakan mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang tidak mewajibkan adanya kewajiban kontribusi tambahan dalam sejumlah izin pelaksanaan reklamasi yang dikeluarkan pada 2012.

“Saya pertanyakan kenapa izin pelaksanaan reklamasi yang dikeluarkan Gubernur Fauzi Bowo tidak mencantumkan kontribusi tambahan?” kata Ahok.

“Raperda yang sudah disiapkan pada tahun 2011 juga izin prinsipnya hilang seminggu sebelum kami [mantan Gubernur DKI Joko “Jokowi” Widodo dan Wagub DKI Ahok] dilantik. Di sini bagus tanya itu kepada Pak Fauzi Bowo,” ujarnya.

“Kalau saya jadi auditor, ini dihilangkan, saya kan bertanya Anda gubernur, kok, bisa-bisanya gubernur yang lama minta kontribusi tambahan [gubernur sebelum Fauzi] kenapa kamu tidak ada kontribusi tambahan?” kata Ahok.

“Saya persoalkan kenapa Fauzi Bowo memberikan izin pada tahun 2012 tanpa kontribusi tambahan. Saya harap penuntut umum bisa memproses lebih dalam.”

Izin pelaksanaan reklamasi sudah dikeluarkan sejak zaman Gubernur Fauzi Bowo pada 2010, yaitu Pulau 2A kepada PT Kapuk Naga Indah (KPI).

Kemudian dilanjutkan dengan:

  • Penerbitan persetujuan prinsip pulau A, B, C, dan D kepada PT KPI
  • Izin pelaksanaan Pulau 1 dan Pulau 2B kepada PT KPI
  • Izin pelaksanaan Pulau G kepada PT MWS
  • Izin pelaksanaan Pulau I kepada PT Jaladri Kartika Pakci 
  • Izin pelaksanaan Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo bekerja sama dengan PT Agung Dinamika Persada. 

Izin pun diperpanjang pada masa Gubernur Ahok pada 2014 hingga 2015.

“Saya curiga kenapa izin pelaksanaan, Raperda saat zaman Fauzi Bowo tidak ada kontribusi tambahan, saya tidak berani ikuti jejak beliau,” kata Ahok.

Ahok ngotot memasukkan kontribusi tambahan sebesar 15 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP) dari total lahan yang dapat dijual dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (Pantura) Jakarta (RTRKSP) karena dinilai dapat memberikan keuntungan besar kepada ihak Pemprov DKI dan masyarakat.

“Bila 15 persen dikali NJOP dikali luas lahan yang dapat dijual dan dijual dalam waktu selama 10 tahun, DKI dapat memperoleh Rp 158 triliun atau kalau langsung dapat dijual semua pulau reklamasi dapat Rp 48 tirliun. Uang itu bisa untuk membangun Jakarta, bikin pompa, tanggul, MRT [mass rapid transportation],” ungkap Ahok.

Apalagi, menurut Ahok, ada dasar hukum terhadap tambahan kontribusi tersebut, yaitu Keputusan Presiden (Keppres) No. 52 Tahun 1995 yang mengatur mengatur ruang daratan dan pantai, Perda No. 8 Tahun 1995 dan perjanjian antara Pemda dan PT Manggala Karya Yudha (MKY) yang juga dimiliki salah satu putri mantan Presiden RI Soeharto pada tahun 1997.

Adapun besaran 15 persen itu diperoleh dari kalkulasi dividen yang diperoleh berdasarkan pengalaman reklamasi di pantai barat dan timur Ancol yang pernah dilakukan oleh BUMD.

“Pertanyaann saya kenapa Balegda ngotot membela pengembang, padahal pengembang saja setuju dengan kami untuk memberikan kontribusi tambahan,” kata Ahok.

“Jadi saya heran Balegda yang saudara bela ngotot menghilangkan 15 persen, sedangkan pengembang setuju dengan saya,” kata Ahok.—Antara/Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!