Philippine economy

Kilas balik kasus pemberangusan buku di Indonesia

Alif Gusti Mahardika

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kilas balik kasus pemberangusan buku di Indonesia
Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara mengenai literasi

 

JAKARTA, Indonesia — Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menetapkan setiap 8 September sebagai Hari Literasi Internasional, sebagai simbol pentingnya budaya literasi dalam kehidupan.

Pada daftar World’s Most Literate Nations yang dibuat oleh Central Connecticut State University tahun ini, Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara mengenai literasi. Indonesia berada di bawah sesama negara Asia Tenggara, Thailand, dan hanya satu peringkat di atas Botswana.

Namun, peringkat rendah ini seolah tak menjadi masalah bagi masyarakat. Sejumlah organisasi masyarakat bahkan hingga lembaga negara turut memberangus buku.

Mereka bahkan tidak ragu untuk memberangus dan membinasakan buku-buku, dengan dalih buku-buku tersebut mengandung “ajaran kiri” dan membahayakan.

Berikut adalah kilas balik kasus-kasus pemberangusan buku pada 2016 di sejumlah daerah di Indonesia:

Penangkapan aktivis literasi, Adlun Fiqri

Adlun Fiqri, yang merupakan aktivis literasi diciduk oleh petugas Markas Kodim 150 di kantor Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Maluku Utara, pada 10 Mei silam. Ia ditangkap karena merekam oknum polisi lalu lintas menerima suap.

Tiga hari setelahnya, ia ditetapkan Polda Maluku Utara sebagai tersangka dengan dugaan menyebarkan ajaran Leninisme, Marxisme, dan komunisme.

Supriyadi Sawai yang merupakan rekan dari Adlun juga ditangkap dengan kasus yang sama.

(BACA: Lima poin penting dari kasus Adlun Fiqri)

Bersama Adlun, polisi menyita buku dan kaus milik Adlun yang berbau ajaran kiri, seperti buku filsafat Marxisme berjudul Nalar yang Memberontak, Kekerasan Budaya Pasca 1965, dan Orang yang di Persimpangan Kiri Jalan karya Soe Hok Gie.

Adlun dikenakan pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana buku 2 Bab 1 pasal 107 huruf a.

Ia dianggap secara terang-terangan menyebarkan pamflet dan kaus menjurus pada paham Marxisme, komunisme, dan Leninisme. 

Aliansi aktivis literasi kemudian meminta pemerintah untuk membebaskan Adlun. 

Anggota Dewan Kesenian Jakarta Komite Sastra, Yusi Avianto Pareamon, dalam keterangan persnya menyebutkan bahwa Adlun harus dibebaskan karena pasalnya mengada-ada.

Penyitaan buku di pameran di Tegal

GELEDAH. Komandan Kodim 0712/Tegal Letkol Inf Hari Santoso menunjukkan lima judul buku Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disita dari sebuah mal, pada 11 Mei 2016. Foto oleh Oky Lukmansyah/Antara

Pada 11 Mei silam, sejumlah buku yang mengandung paham komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) disita dari sebuah stan buku di pameran yang diadakan di salah satu mal di Tegal, Jawa Tengah.

Kodim 0712 Tegal mengamankan sebanyak 90 buku dengan alasan melanggar hukum Indonesia.

Buku-buku tersebut antara lain Komunisme Ala Aidit, Siapa Dalang G30S?, Kabut G30S, dan The Missing Link G30S.

(BACA: Aktivis: Hentikan razia dan pemberangusan buku)

Gramedia tarik buku serial investigasi Tempo

Buku seri Tempo 'Orang Kiri' bertemakan tokoh PKI, DN Aidit. Foto oleh Abdul Qowi Bastian/Rappler

Pada 13 Mei, toko buku Gramedia menarik sejumlah buku serial investigasi “Orang Kiri” majalah Tempo dari penjualan, menyusul adanya sweeping dan penarikan buku beraliran kiri di beberapa daerah.

Serial tersebut bertemakan mengenai PKI dan tokoh-tokoh sentral partai berlambang palu arit tersebut, seperti Aidit, Njoto, Sjam, dan Musso. Alasannya, buku-buku tersebut dapat terhitung sebagai atribut PKI oleh TNI dan Polri.

Buku Memoar Pulau Buru karya Hersri Setiawan juga termasuk yang ditarik dari penjualan, karena berisi catatan mengenai masa penahanan penulis di Orde Baru.

(BACA: Buku seri ‘Orang Kiri’ Tempo raib dari rak Gramedia)

Polisi datangi Penerbit Narasi di Yogyakarta

Polresta Yogyakarta dan Polda DIY mendatangi Penerbit Narasi dan menyita sejumlah buku beraliran kiri yang ditulis oleh Kuncoro Hadi. 

Buku seperti Prahara di Garis Merah disita oleh pihak kepolisian. Padahal, buku tersebut, menurut Kuncoro, ditulis berdasarkan sumber primer yang ia miliki, yakni para penyintas dan saksi peristiwa penghancuran PKI di Klaten dan Boyolali periode 1965 hingga 1979.

Kuncoro juga menulis buku berjudul Kronik 65, yang berisi tentang relasi antara PKI dan partai lain, pemerintahan Soekarno, dan rangkaian peristiwa sepanjang Oktober 1965.

Beruntung, buku tersebut telah masuk proses penyuntingan dan tidak diketahui apalagi disita aparat.

(BACA: Mereka yang bertahan melawan pemberangusan buku)

Pembubaran Perpustakaan Jalanan di Bandung oleh TNI

Puluhan warga Bandung pada 27 Agustus menggelar aksi solidaritas terhadap Perpustakaan Jalanan yang dibubarkan oleh aparat TNI sepekan lalu. Foto dari Facebook/perpustakaanjalanan

Perpustakaan Jalanan di Bandung dibubarkan oleh aparat TNI pada 20 Agustus silam. Diduga pula, terjadi kekerasan fisik yang dilakukan oleh aparat terhadap pegiat Perpustakaan Jalanan.

Komando Daerah Militer (Kodam) III Siliwangi mengatakan alasan pembubaran tersebut adalah jam kumpul yang telah melebihi pukul 22:00 WIB. 

Peristiwa tersebut terjadi pukul 23:00 WIB, di sebuah taman tanpa penerangan cukup.

Alasan ketertiban tersebut bukanlah yang utama. Kodam III Siliwangi juga mempertanyakan konten buku yang dibaca dan disewakan Perpustakaan Jalanan. 

(BACA: Sepekan setelah dibubarkan TNI, Perpustakaan Jalanan Bandung tetap berjalan)

Meski demikian, puluhan warga Bandung melakukan aksi solidaritas terhadap Perpustakaan Jalanan dengan melakukan aksi diam dan membaca di Taman Cikapayang, Jalan Ir. H. Juanda, Bandung.

Mereka yang melakukan protes tergabung dalam Front Anti-Fasis, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, dan lain-lain. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!