Menelusuri akar gangguan kesehatan jiwa dalam masyarakat Indonesia

Alif Gusti Mahardika

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menelusuri akar gangguan kesehatan jiwa dalam masyarakat Indonesia
‘Tidak ada orang sehat yang mau melukai diri sendiri’

JAKARTA, Indonesia — Stigma di masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dinilai menghambat penderita dalam berobat. Salah satunya adalah kurang tanggapnya penyedia layanan kesehatan terhadap penderita gangguan jiwa.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dr. Eka Viora.

“Orang dengan gangguan jiwa sering tidak mendapatkan martabatnya. Yang diperhatikan oleh fasilitas kesehatan seringkali hanya fisiknya saja,” ujar Eka dalam konferensi pers bertemakan “Cegah Gangguan Jiwa Akibat Bencana Psikososial” di Gedung Cimandiri One, Jakarta Pusat, pada Senin, 10 Oktober.

Setiap 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Konferensi pers tersebut sesuai dengan tema Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2016 yang diusung Federasi Kesehatan Jiwa Sedunia (World Federation for Mental Health – WFMH), yakni dignity in mental health, atau martabat dalam kesehatan jiwa.

Pertolongan pertama pada kesehatan jiwa dan psikologis, serta peran pemerintah terhadap kesehatan dan gangguan jiwa juga menjadi salah satu pembahasan dalam konferensi pers ini. 

Stigma kesehatan dan gangguan jiwa

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 80%-90% orang yang sedang mengalami masa krisis akan mengalami masalah kejiwaan yang sama, seperti stres, cemas, trauma, dan sebagainya.

Eva mengatakan, ada beberapa pihak yang kerap memperkuat stigma tersebut, yakni petugas kesehatan dan pemerintah, dengan tidak memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai, serta media massa.

Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Psikiatri dr. Nurmiati Amir mengatakan bahwa media memiliki peran penting dalam hal stigma dan kesehatan jiwa.

“Media berperan penting dalam memberikan psikoedukasi terhadap masyarakat. Pemberitaan yang akurat akan membantu mengurangi stigma dan mencegah gangguan jiwa,” kata Nurmiati.

Hal senada juga diungkapkan oleh dr. Nova Riyanti Yusuf selaku anggota PP PDSKJI bidang Publikasi, Kemitraan, Hubungan Luar Negeri.

Menurut Nova, kesehatan jiwa perlu disampaikan media massa. Namun suatu pemberitaan harus berimbang, sehingga tidak memperkuat stigma.

Mengenal PFA

Selain itu, dalam konferensi pers tersebut juga dibahas mengenai Psychological First Aid (PFA), atau pertolongan pertama dalam psikologis. 

PFA merupakan sebuah tindakan yang utamanya dilakukan terhadap penyintas dan pengungsi bencana alam.

Tindakan tersebut memiliki prinsip, yakni:

  • Prepare (mempersiapkan tanpa perlu menunggu bencana tiba)
  • Look (melihat langsung)
  • Listen (mendengarkan cerita penyintas)
  • Link (bersinergi dengan pihak berwenang)

Hal ini dilakukan agar ada tindakan penanggulangan secara psikologis terhadap mereka yang menjadi korban bencana alam, sehingga mencegah munculnya Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).

“Indonesia seharusnya ‘pakar’ dalam PFA,” ujar Nova. Ia memaparkan, letak geografis Indonesia yang berada di jalur Ring of Fire (Cincin Api), mengakibatkan seringnya terjadi bencana gempa bumi, longsor, dan sebagainya.

Jika sebuah bencana alam terjadi, akibatnya, masyarakat yang menjadi korban bisa mengalami stres atau depresi, menyentuh narkotika, distress psikologis, dan disfungsi sosial dan pekerjaan.

Namun, PFA tidak hanya diberlakukan ketika bencana alam terjadi saja. “Psychological and mental distress bisa terjadi dimana saja,” ujar Nova.

PFA, menurut Nova, juga bisa dilakukan di lokasi urban seperti Jakarta. 

“Hal ini dikarenakan kesehatan mental bersifat universal, dengan aspek yang bisa disesuaikan, dengan memperhatikan kondisi sosiodemografi wilayah urban,” ungkapnya.

Selain itu, PFA juga tidak hanya dapat dilakukan oleh ahli kesehatan jiwa, namun juga non-profesional dan profesi lainnya.

“PFA juga bisa dibekali pada non-profesional, seperti guru. Maka, masalah di urban seperti bullying juga bisa diaplikasikan PFA,” papar Eka.

Sedangkan Nova menyatakan bahwa, “Kita harus bisa me-mainstream-kan isu kesehataan jiwa. Karena dengan itu, akan mendukung money follow program pemerintah untuk kesehatan jiwa.”

Peran pemerintah

Namun pada kenyataannya, peran pemerintah dalam hal kesehatan dan gangguan jiwa, dinilai masih belum optimal.

Pasalnya, selain masih adanya stigma di masyarakat dan minimnya pertolongan terkait kesehatan dan gangguan jiwa, data mengenai kesehatan jiwa juga masih minim.

“[Pemerintah] Indonesia tidak punya data mengenai kesehatan dan gangguan jiwa. Kalaupun ada data mengenai kematian bunuh diri, biasanya dari Mabes [Polri],” kata Nurmiati.

Ia menuturkan, lebih banyak data mengenai gizi dibandingkan kesehatan dan gangguan jiwa yang dapat diperoleh dari Kementerian Kesehatan RI.

“Itu menunjukkan ketidakpedulian negara dan betapa di-stigma nya kesehatan jiwa di Indonesia,” tutur Nurmiati.

Selain itu, Eka menambahkan,Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) tidak membayar pasien rumah sakit yang dirawat akibat percobaan bunuh diri yang gagal.

“Anggapannya itu menyakiti diri sendiri,” ujar Eka.

Nurmiati mengatakan, seharusnya yang dilihat oleh pihak penyedia layanan kesehatan adalah alasannya, bukan akibatnya.

“Kalau ada yang minum racun, jangan dilihat dia minum racunnya, tapi kenapa dia minum racun. Tidak ada orang yang sehat yang mau melukai diri sendiri,” ujar Nurmiati. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!