Diskriminasi penyandang gangguan jiwa dan ingatan dalam UU Pilkada

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Diskriminasi penyandang gangguan jiwa dan ingatan dalam UU Pilkada

ANTARA FOTO

Pengidap gangguan jiwa dan ingatan kini bisa memilih dalam pilkada. Sebelumnya, sekitar 14 juta orang terancam kehilangan hak pilih

JAKARTA, Indonesia — Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan yang mengizinkan penyandang gangguan jiwa dan ingatan untuk menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada), pada Kamis, 13 Oktober.

Permohonan tersebut diajukan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA). Ketiga lembaga ini menggugat Pasal 57 ayat 3 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

“Kami mempersoalkan norma yang diskriminatif dan potensial menghilangkan hak seseorang dalam memilih,” kata kuasa hukum para pemohon, Fadli Ramadhanil, saat dihubungi Rappler pada Kamis.

Pasal tersebut berbunyi, “Untuk dapat didaftar sebagai Pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.”

Menurut Fadli, kalimat tersebut mengancam hak seseorang untuk dapat mengikuti pilkada.

Diskriminasi sosial

Selama ini, menurut Fadli, penyandang gangguan mental masih mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat. Mereka dianggap tidak mampu membuat keputusan sendiri; termasuk memilih pemimpin.

Gugatan ini hendak mendobrak pandangan tersebut. Pengidap gangguan mental tidak akut masih dapat mengambil keputusan jernih saat dalam kondisi tenang.

Pada pemilihan umum (pemilu) 2014, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) berpendapat kalau tidak ada larangan khusus bagi penyandang kelainan mental untuk dapat memilih.

“Pada dasarnya sama, namun sangat bergantung pada kondisi yang bersangkutan,” kata Fadli.

 

Pemilu dua tahun lalu itu juga dilangsungkan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan berlangsung tanpa masalah. Hal ini juga dibenarkan oleh kesaksian dua orang pengidap gangguan jiwa berbeda saat persidangan. 

Pertama adalah Rhino Ariefiansyah yang didiagnosa mengidap psychotic schizophrenia pada 2006. Penyakit ini termasuk dalam gangguan kejiwaan berat menurut Kementerian Kesehatan.

Meski demikian, ia telah terdaftar sebagai pemilih sejak berusia 17 tahun dan rutin mengikuti pemilu sejak 2009 hingga terakhir pada 2014 lalu.

“Gangguan tidak berpengaruh saat menentukan pilihan pada pemilu. Hanya saya merasa lebih emosional saat menentukan pilihan,” kata Rhino.

Saksi kedua, Fathiyah, juga sama seperti Rhino. Ia didiagnosa mengidap bipolar, dan sempat menjalani perawatan pada 2008. Namun, hal tersebut tidak membuat ia dianulir dalam pemilihan sejak 2004 hingga 2014.

“Kadang gangguan saya kambuh, tetapi tidak jadi halangan dalam menentukan pilihan,” kata Fathiyah.

Pertentangan hukum

Tak dapat dipungkiri, Indonesia tengah mengalami kemajuan dalam hal penanganan penyandang disabilitas. Pada Maret lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Undang-Undang Penyandang Disabilitas, yang di dalamnya mencakup gangguan mental.

“Pasal 57 ayat 3 huruf a tidak membuka peluang partisipasi terlebih dahulu bagi penyandang disabilitas intelektual dan mental, justru tidak memasukkan mereka sebagai pemilih sehingga menghilangkan hak politik mereka,” kata ahli hukum Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti saat bersaksi di persidangan.

Pasal ini, menurutnya, juga mengandung masalah karena tidak ada kualifikasi lebih lanjut tentang kategori gangguan jiwa atau ingatan.

dr. Irmansyah SpKJ (K) dari Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi berpendapat pasal ini juga bertentangan dengan fakta klinis dan justru menghambat proses upaya pemulihan penderita.

“Ketentuan tersebut dapat memberikan kesan keliru tentang orang dengan gangguan jiwa, sehingga membuat masyarakat menjauh dan mendorong timbulnya sikap serta pandangan negatif,” kata Irmansyah.

Berdasarkan pengalamannya, gangguan jiwa psikosis atau berat bersifat kronik dan kambuhan. Artinya, tidak secara permanen memengaruhi kondisi mental seseorang.

Jika kekambuhan berat terjadi pada Hari-H pemilihan, maka yang bersangkutan tentu tak bisa datang ke tempat pemungutan suara (TPU). “Namun di luar periode kekambuhan tersebut, pemikiran, sikap, ingatan, dan perilaku penderita tetap dapat normal,” kata Irmansyah.

Pengabulan sebagian

MK sepakat untuk mengabulkan permohonan pemohon sebagian, di mana gangguan jiwa atau ingatan tidak menjadi halangan seseorang untuk ikut memilih pemimpin.

“Sepanjang frasa terganggu jiwa atau ingatannya tidak dimaknai sebagai permanen, yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum,” demikian tertulis dalam amar putusan.

Keputusan ini akan berlaku mulai pada pemilihan terdekat, yakni pilkada serentak pada 2017 mendatang.

Pertimbangan ini menjadi satu langkah maju dalam penghapusan diskriminasi terhadap pengidap gangguan mental atau ingatan di Indonesia. Sebab, bila tidak, sekitar 6 persen —atau total 14 juta orang Indonesia— yang terancam kehilangan hak memilihnya.Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!