Upaya Komnas Perempuan melacak kembali tragedi Mei 1998

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Upaya Komnas Perempuan melacak kembali tragedi Mei 1998
Komnas Perempuan mengatakan pelanggaran HAM di Indonesia cenderung tidak pernah diakui, malah disembunyikan

SOLO, Indonesia – Tri Wahyuni masih ingat peristiwa pemakaman massal di TPU Purwoloyo, Solo pada suatu sore di bulan Mei 1998 lalu. Ada 23 jenazah dalam kondisi terbungkus plastik yang datang diangkut truk polisi dan dimakamkan bersama di satu lokasi.

“Mayat-mayat itu (dimasukan) di dalam plastik-plastik, dilempar-lempar masuk ke sini,” ujar Tri, salah seorang warga yang tinggal di sekitar makam dan bertugas membersihkan kuburan.

Walau terletak di pinggir jalan yang membelah komplek makam, kuburan massal itu nyaris tidak terlihat karena ditumbuhi semak belukar. Tak ada batu nisan di atasnya.

Setelah rumput liar dibersihkan, hanya tampak sepetak tanah rata berukuran 2X10 meter persegi yang dikelilingi bata dan semen setinggi 30 centimeter. Konon, warga sekitar lah yang memberi penanda itu agar kuburan bisa dikenali jika suatu waktu ada yang datang menziarahinya.

Di bawahnya terbaring jasad-jasad tanpa nama korban kerusuhan Mei 1998 di kota Solo yang terjadi satu pekan menjelang kejatuhan Suharto. Tetapi, tak satu pun yang bisa memastikan siapa mereka dan mati karena apa.

Purwoloyo, salah satu saksi bisu yang menyimpan jasad para tumbal reformasi itu. Di komplek itu, juga dimakamkan seorang aktivis Leonardus Nugroho Iskandar alias Gilang. Dia ditemukan tewas dengan luka tembak di dada di Magetan, Jawa Timur, beberapa hari sejak menghilang pada 22 Mei 1998.

Sementara, di Solo, tragedi Mei 1998 nyaris senyap dalam sejarah. Walaupun kota ini pernah hancur oleh kerusuhan dua hari yang menyasar etnis Tionghoa.

Tak seperti Jakarta yang sudah mulai membuka sejarah kelam dan mengabadikannya melalui memorial park di Pondok Rangon, hingga kini belum ada pengakuan negara (Pemerintah Kota Solo) atas kebenaran peristiwa yang memakan korban nyawa itu. Seolah-olah tragedi itu tidak pernah terjadi.

Pelanggaran HAM tak pernah diakui

Kerusuhan Jakarta dan Solo memiliki pola yang sama, yakni diprovokasi oleh sekelompok orang yang tidak dikenal, berbadan tegap, berambut cepak, berteriak-teriak dan mulai membakar di perempatan. Mereka lalu menjalar ke pertokoan etnis Tionghoa, melempari dan mengajak untuk menjarah. Kemudian, mereka menghilang.

Anehnya, Solo, merupakan kota kecil yang dikepung markas militer – Kopassus dan Kostrad – malah mudah disulut kerusuhan yang tak terkendali.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang dibentuk oleh mantan Presiden Habibie pasca tragedi Mei 1998, kini kembali menelusuri kasus yang terjadi 18 tahun lalu itu. Mereka menilai ada indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) secara sistematis.

Bersama sejumlah aktivis di Solo, mereka mendatangi kuburan massal dan menemui para saksi untuk mendengarkan cerita mereka, termasuk mencari dokumentasi media lokal yang merekam peristiwa itu.

“Ini akan menjadi langkah untuk mengungkap kebenaran dan pengakuan dari pemerintah daerah maupun negara bahwa pernah ada peristiwa 98,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin kepada Rappler.

Dia mengatakan, pelanggaran HAM di negeri ini cenderung tidak pernah diakui dan malah disembunyikan, termasuk kasus 1965 dan 1998. Seharusnya, kata Mariana, setiap terjadi kekerasan, negara menanggapi secara serius, mencari pelaku dan memulihkan korban.

“Ini pernyataan besar bagi pekerja HAM seperti kami. Kenapa orang mati seperti itu kok dilupakan dan didiamkan?” tanya Mariana.

Komnas Perempuan dibantu aktivis dari Jejer Wadon dan Satunama sudah mendorong pemerintah kota untuk membangun memorial park sebagai pengingat agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan. Tetapi, rencana tersebut terhenti oleh upaya Walikota yang meminta data korban yang ingin dicantumkan dalam monumen tersebut.

“Kami sudah meminta data ke kawan-kawan aktivis. Tapi, sampai sekarang belum ada. Kalau mau buat monumen, datanya harus akurat, tidak bisa mengarang,” ujar Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo kepada Rappler beberapa waktu yang lalu.

Keinginan Walikota itu sempat membuat sejumlah aktivis di Solo geram. Sebab, mereka menganggap bahwa mencari korban tindak kekerasan dan mendatanya adalah tanggung jawab penyelenggara negara. Hingga kini, masalah berapa dan di mana korban tewas dalam kerusuhan Mei 98 di Solo belum pernah diungkap secara serius.

Jumlah korban kemungkinan besar

Menurut kesaksian beberapa orang yang melihat korban jatuh, angka 23 korban di TPU Purwoloyo terlalu kecil. Salah satu saksi yang rumahnya tidak jauh dari Makam Purwoloyo, Sipon, menceritakan selain 23 jasad di dalam petak kuburan massal, masih banyak yang dikubur di belakang petak. Tetapi tidak ditandai.

“Saya tidak tahu berapa jumlahnya. Tetapi, yang jelas lebih dari 23 orang,” kata Sipon.

Purwoloyo merupakan salah satu makam besar di Solo yang juga dipakai untuk mengubur jasad-jasad tanpa nama, misal kecelakaan tanpa identitas. Sehingga, di sana banyak kuburan yang ditemukan dengan tana Mr. X atau Ms. X.

Istri Wiji Thukul, penyair yang hilang jelang reformasi, juga mengatakan ada pemindahan mayat yang juga korban Mei 1998 dari Makam Bonoloyo ke Purwoloyo. Tetapi, tidak ada yang mengetahui secara pasti di mana lokasinya.

Aksi pemerkosaan

SAKSI MATA. Salah satu saksi mata tragedi Mei 1998 di Solo, Pendeta Mungki mengatakan ada sekitar 40 jemaatnya yang menjadi korban aksi penjarahan dan pengrusakan. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Lalu apakah benar terjadi peristiwa pemerkosaan di Solo? Kasus ini merupakan yang paling sulit dilacak karena tidak meninggalkan jejak seperti halnya kuburan massal. Tidak seperti di Jakarta, di mana keluarga korban melaporkan kasus itu – yang tercatat sekitar 80 kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan massal – di Solo, peristiwa ini antara ada dan tiada. Keluarga korban Mei 98 di Solo cenderung bersikap tertutup.

Salah satu penyintas yang juga etnis Tionghoa, Cecilia Maria Purnadi alias Oeke, tidak menyaksikan kasus perkosaan massal di salah satu pusat kerusuhan di Pasar Legi. Generasi kelima pemilik toko roti Ganep di Solo yang dibakar massa itu hanya tahu banyak korban meninggal dalam kebakaran di Toserba Ratu Luwes.

Saksi lain, Pendeta Mungki, yang ikut mendata korban kerusuhan Mei 98, mengatakan sedikitnya 40 orang dari jemaatnya yang merupakan etnis Tionghoa menjadi sasaran kerusuhan dan mengalami kerugian material. Tetapi tidak satu pun yang mengaku mengalami perkosaan.

“Memang ada keluarga muda di Pucangsawit, rumahnya diserbu massa, keduanya melarikan diri memanjat tembok belakang. Sang istri ditangkap, dipegangi kakinya, tetapi berhasil diselamatkan warga setempat,” kata Mungki.

Sementara, menurut Sumartono Hadinoto, salah satu penyintas kerusuhan Mei 98, ia mendengar pengakuan beberapa keluarga Tionghoa yang menjadi korban perkosaan, tetapi saat ini mereka sudah pindah keluar kota sejak peristiwa itu.

Meski demikian, Komnas Perempuan akan terus mencari saksi lain untuk mengungkap kekerasan seksual dan perkosaan yang diduga juga terjadi di Solo. Mereka sadar tidak mudah untuk meyakinkan pemerintah yang terus mengingkari peristiwa Mei 98, jika tanpa bukti.

“Ini tantangan bagi kami untuk melakukan penelitian, mewawancarai orang-orang, saksi peristiwa, dan penyintas. Kami ingin menunjukkan bahwa peristiwa ini ada. Kalau nanti disangkal lagi, ya keterlaluan,” ujar Mariana. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!