Lobi RUU Pilkada berlangsung alot

Bayu

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Lobi RUU Pilkada berlangsung alot

EPA

Pimpinan partai politik harus turun tangan untuk temui kesepakatan sebelum rapat paripurna DPR RI pekan depan

JAKARTA, Indonesia – Hasil akhir pembahasan Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) kemungkinan besar akan tetap diwarnai perbedaan pandangan. Upaya lobi antarfraksi di tingkat panitia khusus (pansus) RUU Pilkada tidak berjalan mulus, bahkan cenderung alot. Masing-masing fraksi nampaknya tetap mempertahankan argumennya, terutama terkait opsi pemilihan kepala daerah.

Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bambang Wuryanto menyatakan, semua proses lobi terkait pembahasan RUU Pilkada sudah dilakukan. Sebelum mencapai garis finish, Fraksi PDI-P terus melakukan lobi terkait opsi pemilihan kepala daerah agar tetap dengan sistem pemilihan langsung.

“Cuma kita belum sampai pada solusi. Belum ada kesepakatan. Kita masih pada sikap masing-masing,” ujar Bambang usai rapat pimpinan fraksi di gedung parlemen, Jakarta, Senin (8/9).

Menurut Bambang, apa yang terjadi dalam pembahasan RUU Pilkada merupakan imbas dari Pemilu Presiden 2014. Tajamnya perbedaan masih terus berlanjut. Bambang mencatat pernyataan Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golongan Karya Akbar Tandjung secara serius. 

Saat menghadiri pemaparan Bakal Calon Ketua Umum Partai Golkar di Yogyakarta, Akbar menyebut boleh saja pemerintah pusat dikuasai Joko Widodo-Jusuf Kalla, namun Koalisi Merah Putih — partai pendukung pasangan calon Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa — akan mengatur semua kebijakan di parlemen.

Partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih adalah Gerindra, Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

“Misalnya seperti itu, sampai tingkat bawah juga akan sama. Jadi saya pikir pola pembelahan sebagai sesama anak bangsa, suasana persatuan menjadi kurang kondusif,” ujar Bambang risau.

Situasi itu, kata Bambang, memunculkan keterkoyakan persatuan bangsa. Pembahasan RUU Pilkada sedikit banyak menunjukkan potensi itu. Menurut Bambang, situasi itu tidak bisa jika diselesaikan sebatas lobi antarfraksi. 

“Karena itu, kami menghimbau para petinggi-petinggi partai, mungkin bisa berembuk apa yang dibutuhkan bangsa,” ujarnya.

Tidak hanya petinggi partai, Bambang mendorong agar Jokowi-JK juga turun tangan dan melakukan komunikasi politik demi mencari solusi. “Kalau kami di sini rata-rata hanya menjalankan perintah yang di atas,” tandasnya.

Berimbas panjang

Ketua Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Syarifudin Sudding mengingatkan, perbedaan pandangan dalam RUU Pilkada lebih condong karena perbedaan cara pandang politik. Situasi ini sulit untuk mendapatkan titik temu. Padahal, sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD diyakini bertentangan dengan amanat konstitusi.

“Menurut saya, jangan hanya karena kepentingan politik, lantas melanggar apa yang terjadi dalam konstitusi,” ujarnya.

Sudding menyatakan, jika pemilihan kepala daerah dipilih DPRD, maka situasi politik hampir dipastikan akan terus memunculkan perbedaan yang tajam hingga lima tahun ke depan. Hampir dipastikan Koalisi Merah Putih dengan suara mayoritas DPRD provinsi dan kabupaten/kota akan memenangkan calon kepala daerah yang mereka usung. 

“Implikasi lebih jauh lagi, ketika DPR dikuasai Koalisi Merah Putih, akan berdampak pada proses yang luas. Pemilihan pejabat negara seperti Kapolri, Panglima TNI, BPK, hakim agung, semua di DPR,” ujarnya.

Potensi kepala daerah yang berkualitas, kata Sudding, akan tertutup dengan mekanisme itu. Menurut dia, satu koalisi pasti akan memilih calon yang menjadi kesepakatan bersama. Mekanisme penentuan itu juga jauh dari transparansi karena tidak melibatkan publik.

“Mau berharap calon independen? Tidak mungkin itu. Pastilah koalisi yang akan mengajukan calonnya,” ujarnya.

Melihat pada pengalaman Revisi Undang Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Sudding berharap situasi itu tidak lagi terjadi. Dalam hal ini, tajamnya perbedaan pandangan di pembahasan RUU MD3 membuat Fraksi PDI-P mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Membawa setiap UU yang baru saja disahkan untuk digugat ke MK adalah hak siapapun, namun hal ini memunculkan suasana yang kurang harmonis. 

“Apakah setiap produk yang dipaksakan disahkan kemudian dibawa ke MK? Sebaiknya lihatlah kehendak masyarakat luar. Demokrasi itu bicara efektifitas pemerintahan. Kalau ada kelemahan, tugas kita memperbaiki,” ujarnya.

Sudding menyatakan, upaya lobi sampai saat ini terus dilakukan. Namun, hanya ada dua fraksi yakni PDI-P dan Hanura yang konsisten untuk mendukung sistem pemilihan langsung.

Sementara Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa di DPR, memilih opsi pemilihan langsung untuk pilkada provinsi, sedangkan untuk pilkada kabupaten/kota menggunakan pemilihan DPRD. Upaya lobi, kata Sudding, harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih harmonis.

“Seharusnya politik itu cair, tidak kaku,” ujarnya mengingatkan. 

Paripurna pekan depan

Hasil rapat pimpinan fraksi telah mengagendakan sidang paripurna terkait pengesahaan RUU Pilkada. 

“Paripurna ditetapkan 25 September. Kita akan merampungkan dulu proses panja dan tim perumus [RUU Pilkada],” ujar Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Abdul Hakam Naja, usai mengikuti rapat pimpinan.

Menurut Hakam, mulai hari ini, Selasa (9/9) akan dilanjutkan proses pembahasan di tingkat panja, tim perumus, dan tim sinkronisasi RUU Pilkada. Rapim sengaja memperpanjang tanggal pengesahan RUU Pilkada, mengingat masih banyak isu yang belum disepakati.

“Kita beri ruang untuk penyempurnaan rumusan, selambat-lambatnya sampai 23 September nanti,” ujarnya. 

Dari hasil pandangan fraksi, Hakam menyebut tidak banyak perubahan. Hanya satu fraksi, yakni Partai Keadilan Sejahtera yang memutuskan merubah keputusan dari pilkada langsung ke DPRD. “Yang jelas PKS ada pergeseran, waktu rapat terakhir 2 September lalu belum disampaikan,” ujarnya. 

Sekretaris Fraksi PKS Abdul Hakim membenarkan bahwa pihaknya memutuskan untuk mengubah pandangan terkait pilkada langsung ke pilkada dipilih oleh DPRD. Hakim menyebut keputusan itu diambil berdasarkan rapat internal DPP PKS. 

“Kita sudah pleno DPP hari Rabu. Pimpinan PKS sudah mengarahkan bahwa pilihannya adalah dipilih oleh DPRD,” ujarnya.

Menurut Hakim, PKS memandang pemilihan DPRD juga merupakan proses yang demokratis. Prosesnya dinilai lebih efektif karena bisa menjamin terpilihnya kepemimpinan yang berkualitas, memiliki integritas, dan efektif untuk mengawal proses pembangunan untuk masyarakat.

“Kalau dibilang kehendak rakyat adalah pemilihan langsung, itu [masih] pro dan kontra. Memang tidak pernah ada keputusan yang bisa disepakati semua pihak. Itu wajar-wajar saja, tapi nanti keputusan politik yang akan menentukan,” ujarnya.

Hakim menyebut, ada juga sebagian masyarakat yang nyaman dengan sistem pemilihan langsung, namun ada juga sebagian lain yang tidak setuju. Karena itu, menjadi tugas bagi DPR untuk menentukan pilihan tersebut.  

“Karena masyarakat sudah memberikan mandatnya kepada para anggota DPR, nantinya dinamika di DPR yang akan menentukan itu,” tandasnya.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!