Korban tsunami Aceh: Terselamatkan perahu nelayan yang terdampar

Nurdin Hasan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Korban tsunami Aceh: Terselamatkan perahu nelayan yang terdampar
Kisah perahu nelayan yang terdampar di atap sebuah rumah saat bencana tsunami menerjang Aceh menyelamatkan 59 warga. Mereka menyebutnya 'Perahu Nabi Nuh'.

BANDA ACEH, Indonesia – Perempuan 64 tahun itu masih bisa menceritakan secara detil peristiwa paling mengerikan dalam hidupnya bersama suami dan tiga anaknya, kendati bencana tsunami sudah 10 tahun berlalu. Setiap momen bagaimana mereka selamat dalam sebuah perahu nelayan yang terdampar di atap rumah tetangganya tetap diingatnya.

Basyariah kerap mengisahkan pengalamannya kepada lima cucunya. Kadang-kadang, ia menunjukkan foto-foto perahu yang dipotret usai bencana. Perempuan yang masih kuat dan sehat ini juga sering bercerita kepada wisatawan dalam dan luar negeri yang mengunjungi Desa Lampulo di Kota Banda Aceh guna menyaksikan keajaiban di balik bencana tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 silam.

Meski bukan pemandu wisata resmi, ia menceritakan tragedi tsunami bila wisatawan bertanya kepadanya. Apalagi, rumahnya berdampingan dengan perahu yang terdampar di atap rumah milik pasangan Misbah dan Abasyiah. Tiga perempuan tua lain juga sering jadi pemandu wisata tak resmi yang menjelaskan cerita di balik perahu atap rumah pada pengunjung.

“Anak sulung kami, Mujiburrizal, mendapat penghargaan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh sebagai tour guide terbaik tahun 2013,” ucap Basyariah, yang hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga, bangga.

Beberapa bagian kayu perahu sepanjang 30 meter itu kini mulai lapuk. November lalu, lima pekerja sedang menggantikan kayu-kayu lapuk dengan yang baru agar perahu di atap rumah tetap menjadi bukti kedahsyatan tsunami yang melanda Aceh, yang menewaskan lebih dari 170.000 warga provinsi ujung barat Indonesia itu.

Perahu di atap rumah tetangga Basyariah itu kini menjadi tujuan wisata andalan di Banda Aceh. Sebuah plakat terpajang di bawahnya. Di situ tertulis 59 orang selamat dalam perahu ini saat tsunami menerjang. Setiap hari, ada saja pengunjung datang, baik turis mancanegara maupun domestik. 

Menggali kisah lalu

Basyariah menceritakan pengalamannya kepada dua cucunya di bawah perahu nelayan yang terdampar di atap sebuah rumah di Desa Lampulo, Kota Banda Aceh, pada11 November 2014. Foto oleh Nurdin Hasan/Rappler

Seolah tak pernah habis cerita, Basyariah kembali mengisahkan pengalamannya kepada dua orang cucunya, Azwar Dahya, 5, dan Muhammad Sultan Iskandarmuda, 3. 

Di tangannya tergenggam album berisi foto-foto perahu di atap rumah dan kehancuran lain akibat tsunami. Sesekali Basyariah menunjuk foto-foto itu. Azwar dan Sultan terlihat tekun menyimak cerita sang nenek.

Kisahnya berawal Minggu pagi, 26 Desember 2004. 

Saat itu Basyariah tengah duduk di teras rumahnya. Sang suami, Syamsuddin Mahmud, kini berusia 69 tahun, pensiunan pegawai Perpustakaan Daerah Aceh, sedang menghidupkan motor Vespa di jalan depan rumahnya karena ingin pulang kampung di kawasan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar.

Tepat pukul 07:58 WIB, tiba-tiba gempa dahsyat mengguncang. Basyariah segera lari ke jalan yang hanya terpaut tiga meter dari teras rumahnya. Putri semata wayangnya, Rita Meutia, bersama putra bungsunya, Zulfikar, mengikuti keluar rumah. Sedangkan putra sulungnya, Mujiburrizal, telah pergi berolahraga di Lapangan Blang Padang, sekitar 5 kilometer dari rumah.

Usai gempa, Mujiburrizal pulang ke rumah. Keluarga Basyariah dan para tetangga bertahan di jalan depan rumah, berbicara tentang gempa. Belasan menit kemudian, dari Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Lampulo, orang-orang berlarian sambil berteriak, “Air laut naik! Air laut naik! Air laut naik!”

Dalam kepanikan, orang-orang menyelamatkan diri. Air setinggi lutut mulai mengalir ke tempat puluhan warga yang berdiri di depan rumah Basyariah. Sebagian mereka ikut lari, menjauh dari perkampungan nelayan padat, sekitar 3 kilometer dari pantai.

Tiba-tiba seorang tetangga berujar, “Ayo cepat naik ke lantai dua rumah Abasyiah.” 

Sekitar 25 warga di situ – sebagian besar perempuan dan anak-anak – naik ke lantai dua melalui tangga rumah. Air laut warna hitam kian meninggi. Mereka yang berada di lantai dua rumah tanpa henti berzikir, mengucapkan, “La ilaha illallah” [“Tiada Tuhan selain Allah”].

“Saat air di lantai dua sudah setinggi dada, kami saling bermaaf-maafan karena kami merasa inilah akhir hidup kami,” kata Basyariah seraya menambahkan bahwa sekitar 30 anggota keluarga besarnya menjadi korban tewas dalam bencana tsunami.

Lalu, seorang tetangganya melangkah ke teras lantai dua. Segera diberitahu bahwa di atap sebelah kiri rumah ada sebuah perahu nelayan tersangkut. Dia meminta semua warga naik ke dalam perahu. Beberapa pria muda segera naik. Lalu, satu persatu warga ditarik ke atas perahu dengan tali.

Beberapa menit kemudian, sekitar 20 tetangga yang berada di atap rumah belakang rumah Abasyiah, dipanggil untuk naik ke perahu. 

Saya pikir kiamat sudah datang. Kapal ini sengaja dikirim malaikat untuk menjemput kami

“Mereka tidak susah naik ke dalam boat karena kepala boat tepat berada di ujung atap rumah,” kata Basyariah.

“Saya pikir kiamat sudah datang. Kapal ini sengaja dikirim malaikat untuk menjemput kami. Kemudian akan berlayar menjemput orang-orang lain. Tapi, saya baru tersadar setelah melihat dalam kapal hanya kami saja dan saling kenal satu sama lain.”

Belasan warga yang hanyut dekat perahu ditarik oleh mereka yang duluan naik.  

Sang perahu penyelamat

Perahu nelayan yang terdampar di atap rumah saat tsunami menghadang tahun 2004 itu kini menjadi salah satu lokasi wisata andalan di Banda Aceh. Foto oleh Nurdin Hasan/Rappler

Ketika perahu itu kandas di atap rumah, tak ada seorang pun di dalamnya. Perahu itu juga tanpa mesin karena masih belum selesai dikerjakan. Di antara mereka, ada bayi tiga bulan, sejumlah anak-anak – termasuk lima anak Abasyiah— dan seorang perempuan renta berusia 85 tahun.

Setelah beberapa jam dalam perahu, kata Basyariah, anak-anak mulai merengek kalau mereka lapar. Ia sendiri juga sudah lapar karena belum sarapan. Bagaikan mukjizat, satu tandan kelapa muda terapung dekat perahu. 

“Segera diambil kelapa muda, airnya cukup untuk sekadar melepas dahaga kami semua dan isinya kami makan bersama,” ujarnya.

Jelang petang, air laut telah surut. Mereka satu persatu turun dengan tangga kayu milik keluarga Basyariah, yang diletakkan di samping rumah. Hingga kini, tangga kayu tetap disimpan keluarga Basyariah.

Kemudian, mereka menyusuri puing dan sampah tsunami ke kawasan Simpang Lima, yang berjarak sekitar 2,5 kilometer. Ketika malam, mereka memutuskan pulang ke kampung di Indrapuri. Tiga tahun keluarga Basyariah tinggal di kampungnya.

“Tapi kami sering juga datang ke sini. Kadang-kadang kami tidur bersama warga lain di tempat pengungsian karena rumah mereka hancur,” jelasnya. “Rumah kami hanya rusak ringan, sehingga dijadikan posko untuk menyimpan sembako.” 

Bukti sejarah

Basyariah dan suaminya berdiri di dekat jam dinding yang mati pada pukul 08:45 WIB, sebagai pengingat ganasnya tsunami. Jam dinding yang ditempel pada ketinggian tiga meter terjatuh saat air tsunami meluap ke rumahnya. Foto oleh Nurdin Hasan/Rappler

Basyariah mengaku ada beberapa barang peninggalan tsunami yang masih disimpan. Barang-barang seperti lemari perabot dapur, meja makan, dan karpet yang tak rusak masih tetap digunakan hingga kini meski sempat terendam tsunami.

Salah satu yang paling berkesan ialah jam dinding putih merek Quartz yang jarumnya berhenti pada pukul 08:45 WIB. Jam itu tetap ditempel pada dinding rumahnya. 

Saat tsunami terjadi, jam dinding itu ditempel pada ketinggian tiga meter, diapit dua buah kaligrafi kecil bertuliskan “Allah” dan “Muhammad”. Kedua kaligrafi tidak terjatuh saat tsunami menerjang.

“Jam dinding ini hadiah buat anak perempuan saya yang terpilih menjadi paramedis teladan pertama tahun 2004. Saat tsunami, jam ini terjatuh ke lantai. Mungkin ketika air naik. Kacanya pecah, tapi jarumnya tak pernah diutak-atik,” kata Basyariah. 

“Ada beberapa orang minta beli, tetapi kami tidak menjualnya karena jam ini bukti sejarah ganasnya tsunami.” – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!