SEA Games

Disharmonisasi pemerintah dan DPR soal RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Karolyn Sohaga

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Disharmonisasi pemerintah dan DPR soal RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

AFP

Alangkah baiknya jika dalam pemerintahan 100 harinya, kita dapat melihat sebuah komitmen nyata Jokowi dalam penyelesaian kasus HAM.

 

Baru-baru ini pemerintahan presiden Joko “Jokowi” Widodo menyatakan akan membentuk pengadilan ad hoc sebagai usaha untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. 

Seperti yang diberitakan di media, pemerintah telah mengajukan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rancangan ini dianggap sebagai instrumen penting untuk pembentukan peradilan tersebut. Ia hanya perlu rekomendasi para pembuat kebijakan. Dan juga sebenarnya, niat politik.

Pembentukan peradilan khusus tersebut bukan pertama kalinya diusulkan. Pada periode 1999-2004, pemerintah yang kala itu mengalami tiga kali pergantian presiden, mengajukan usul tersebut. Namun ditolak oleh DPR. Lalu, di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama, pemerintah mengajukan hal yang sama tetapi lagi-lagi ditolak oleh lembaga legislatif tersebut. 

Satu-satunya pengadilan ad hoc yang ada di negara kita adalah peradilan yang menyangkut kejahatan kemanusiaan di Timor Timur 1999 yang dibentuk pada 2004. Hasilnya, Mahkamah Tertinggi memvonis bebas lima terdakwa yang diduga kuat terlibat dalam pembantaian pembantaian warga sipil di sebuah gereja di bekas salah satu provinsi Indonesia itu. Hasil akhir peradilan tersebut dikecam aktifis HAM Indonesia dan internasional karena gagal mewujudkan keadilan hukum baik bagi pelaku maupun korban. 

Entah konflik kepentingan apa yang menyeruak pada keengganan beberapa fraksi sehingga tidak meloloskan usulan krusial tersebut. Pertanyaan yang sama tentu akan muncul jika lagi-lagi DPR menolak usulan pemerintahan Jokowi. Betapa tidak, kencangnya polemik dua koalisi yang masih saja ramai diperbincangkan mungkin akan menjadi faktor tarik-ulur dalam meloloskan program-program pemerintah yang membutuhkan persetujuan DPR, termasuk pembentukan pengadilan ad hoc ini.

Tidak sedikit angka merah di rapor pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Dimulai dari pembantaian 1965-1966, kasus Talang Sari di Lampungkasus Tanjung Priok, peristiwa Semanggi I-II, peristiwa Trisakti, dan pembunuhan Munir. (BACA: 5 kasus besar pelanggaran HAM di Indonesia)

Bahkan untuk kasus yang terakhir, pemerintah telah gagal. Sebelum dalang pembunuhan itu sendiri diadili, eksekutor Pollycarpus Budihari Priyanto telah dilepas bersyarat beberapa waktu lalu. Dengan remisi yang ia terima setiap tahun, ia hanya menjalani dua pertiga hukuman dari tuntutan awal jaksa, yang sebelumnya 20 tahun.   

Bahkan untuk kasus pembunuhan Munir, pemerintah telah gagal. Sebelum dalang pembunuhan itu sendiri diadili, eksekutor Pollycarpus Budihari Priyanto telah dilepas bersyarat beberapa waktu lalu.

Jika DPR mampu mengenyampingkan konflik kepentingannya, sudah sepatutnya mereka menyetujui usulan tersebut. Jika DPR — yang seyogyanya adalah penyalur aspirasi masyarakat — mampu mendengar nurani kemanusiaannya, tidak diragukan lagi bahwa mereka akan menganggukkan persetujuan. Dan jika benar, saya akan sangat mengapresiasi langkah yang positif tersebut.

10 Desember lalu, sebagian warga negara ini memperingati hari kemanusiaan internasional. Ya, sejak disepakati hari HAM tersebut, kita mengelu-elukan perjuangan hak kemanusiaan tersebut, dan bahkan mungkin pula dengan sedikit naif. Karena menurut saya, adalah sebuah ironi ketika mengelukan hak kemanusiaan tersebut tanpa sebuah komitmen yang pasti untuk menyelesaikan kasus pelanggaran yang terjadi di negara kita sendiri. Adalah sebuah ironi ketika aspirasi masyarakat tidak didukung oleh pemerintah. (BACA: Andreas Harsono bicara HAM, Jokowi, dan Gus Dur

Sebuah janji akan tetap menjadi janji sampai ia diingkari. Dan saya ingin sekali tidak meragukan Jokowi. Tapi jika mengutip pernyataan familiar presiden terdahulu Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa “saya hanyalah manusia biasa”, barangkali betul pernyataan mantan presiden yang aktif di sosial media Twitter itu.  

Sebab betapa tidak, telah banyak yang meragukan komitmen HAM sang presiden berkemeja putih ini ketika dia menunjuk mantan jendral Ryamizard Ryacudu sebagai menteri pertahanan. Belum lagi jika menyebut orang-orang terdekat patron partai yang mengusungnya, Megawati Soekarnoputri yang memiliki hubungan dekat dengan A.M. Hendropriyono yang disebut-sebut sebagai salah satu dalang dalam kasus Talang Sari. 

Alangkah baiknya jika dalam pemerintahan 100 harinya, kita dapat melihat sebuah komitmen nyata Jokowi dalam penyelesaian kasus HAM. DPR harus mendukung beliau dalam hal ini. Sebab jika dibandingkan dengan pendahulunya, beliau memang tidak memiliki beban historis. Orang-orang di sekelilingnya mungkin punya, tapi presiden ketujuh ini dipercaya dapat meruntuhkan dinding dan melaju membelah muramnya sejarah masa lalu kita. Bukankah benar begitu, Pak Jokowi? 

Jokowi masih memiliki lebih kurang empat tahun sepuluh bulan lagi. Semoga sebelum perayaan 10 Desember tahun depan, ia telah menyiram benih janjinya dulu dalam kampanye. Tentu jika tidak, mungkin kita akan merayakan peringatan kemanusiaan tersebut (lagi-lagi) dengan lidah kelu. 

Lalu, pesan saya untuk anggota DPR: tolong berikan rekomendasi untuk RUU KKR itu! —Rappler.com

Karolyn Sohaga adalah seorang aktivis sosial yang memiliki minat pada sastra, isu perempuan, dan hak asasi manusia. 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!