Dampak regulasi tarif bagi maskapai dan penumpang

Batari Saraswati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dampak regulasi tarif bagi maskapai dan penumpang
Di luar isu keselamatan, apa sebenarnya efek dari penerapan batas bawah ini untuk maskapai?

 

Kementerian Perhubungan menaikkan batas bawah tarif tiket penerbangan Desember lalu. Kebijakan ini diklaim perlu untuk menjaga tingkat keselamatan penerbangan. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan berpendapat bahwa maskapai yang menjual tiket terlalu murah berpotensi mengabaikan aspek keselamatan penerbangan.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengkritisi kebijakan tersebut sejak November. Ketua KPPU Nawir Messi mengatakan bahwa menyerahkan mekanisme pengawasan keselamatan pada mekanisme tarif itu naif dan tidak tepat.

Tarif bukan indikator dari tingkat keamanan dan keselamatan di industri penerbangan. Setiap maskapai — baik yang menawarkan tiket murah maupun premium — harus menaati standar operasional dan keselamatan yang sama.

Di luar isu keselamatan, apa sebenarnya efek dari penerapan batas bawah ini untuk maskapai? 

Perhitungan batas atas

Sebelum menerapkan batas bawah, Kementerian Perhubungan sudah lebih dahulu memberlakukan batas atas atau tarif maksimum untuk tiket penerbangan domestik kelas ekonomi. Batas atas tarif ini diterapkan berbeda berdasarkan jenis maskapai. 

Menurut UU No. 1 tahun 2009, maskapai komersial berjadwal di Indonesia dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan standar layanan kepada penumpang: full-service, medium, dan no-frills/low-cost

Maskapai full-service atau premium adalah maskapai yang menawarkan standar maksimum pelayanan. Maskapai medium menawarkan standar pelayanan menengah, sedangkan low-cost atau maskapai berbiaya rendah menawarkan standar minimum. Untuk bisa dikategorikan premium, maskapai harus memberikan fasilitas bagasi 20 kg, juga layanan makanan dan minuman kepada penumpang. 

Garuda Indonesia dan Batik Air dikategorikan sebagai maskapai premium. Aviastar, Kalstar, Sriwijaya, Transnusa, Trigana, Xpress Air, dan Nam Air termasuk kategori menengah. Citilink, AirAsia Indonesia, Lion Air, Wings Air, dan Susi Air termasuk maskapai berbiaya rendah.

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan saat konferensi pers terkait hilangnya pesawat AirAsia QZ8501 di Bandara Juanda, Surabaya, pada 28 Desember 2014. Foto oleh EPA

Batas atas tarif untuk maskapai premium, menengah, dan berbiaya rendah ini masing-masing adalah 100%, 90%, dan 85% dari tarif yang tercantum dalam Peraturan Menteri. 

Kemudian tanggal 30 September 2014, Kementrian Perhubungan, yang saat itu masih dipimpin oleh E.E. Mangindaan, memberlakukan pula batas bawah tiket penerbangan. Melalui Peraturan Menteri No. 51, batas bawah ditetapkan 50% dari batas atas yang sudah ditentukan sebelumnya. 

Disebutkan dalam peraturan tersebut, bila maskapai ingin menawarkan tarif lebih rendah dari 50% batas atas, wajib memperoleh persetujuan Direktur Jenderal Perhubungan Udara. 

Tanggal 19 November 2014, persentase batas bawah ini direvisi menjadi 30% oleh Jonan.  

Tanggal 30 Desember 2014, selang dua hari dari setelah kecelakaan AirAsia QZ8501, batas bawah direvisi lagi menjadi 40%. Baru di sini persoalan batas tarif memperoleh perhatian banyak orang.

Berdasarkan regulasi ini, ruang gerak tarif maskapai akan selalu terpatok pada batas atas yang ditentukan di peraturan menteri. Bagaimana batas atas dihitung? Berdasarkan uraian Pasal 14 PM No. 51, batas atas dihitung dari biaya operasional penerbangan ditambah dengan margin keuntungan 10% — dinyatakan per penumpang per unit jarak.

Rute dengan jarak 751 sampai 900 km, misalnya, memiliki batas atas Rp. 1,706 per penumpang-km. 

Maka, rute Jakarta—Surabaya (778 km), salah satu rute tersibuk di Indonesia, akan memiliki rentang tarif tiket Rp. 530,800—Rp. 1,327,000 untuk penerbangan premium dan Rp. 451,180—Rp. 1,127,950 untuk penerbangan berbiaya rendah.  

Siapa yang dirugikan? 

KPPU dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berpendapat penerapan batas bawah ini merugikan konsumen dan maskapai tertentu. 

Melihat unit biaya dan tarif yang ditawarkan masing-masing perusahaan, maskapai berbiaya rendah berpotensi terkena dampak lebih besar daripada maskapai premium. 

Unit biaya dua jenis maskapai ini jauh berbeda. Unit biaya AirAsia Indonesia contohnya, berdasarkan laporan keuangan 2013, adalah Rp. 490 per penumpang-km, sedangkan Garuda Indonesia Rp. 946 per penumpang-km. 

Tarif tiket yang ditawarkan tentunya juga berbeda. Pada rute Jakarta—Surabaya, tiket AirAsia terendah untuk Februari 2015 yang dibeli satu bulan sebelum keberangkatan adalah sekitar Rp. 382,000, sedangkan Garuda Indonesia sekitar Rp. 696.000.

 

Perbandingan batas bawah dan atas tarif tiket rute Jakarta-Surabaya

  Low-cost Full-service
Batas bawah tarif Rp. 451,180 Rp. 530,800
Batas atas tarif Rp. 1,127,950 Rp. 1,327,000

 

Perbandingan maskapai premium dan maskapai biaya rendah rute Jakarta-Surabaya

  AirAsia Indonesia Garuda Indonesia

Unit biaya per penumpang-km (2013)

Rp. 490 Rp. 946
Tarif tiket terendah Februari 2015 Rp. 382,000 Rp. 696,000
Layanan Bagasi 15 kg

Bagasi 20 kg, makanan/minuman, hiburan

Jika regulasi ini benar berlaku, AirAsia harus menaikkan tarifnya yang kurang dari batas bawah. Garuda tidak, tarif tiketnya berada di antara batas bawah dan atas.

Konsumen AirAsia pun harus membayar lebih mahal, dari Rp. 382,000 menjadi Rp. 451,180. 

Maka KPPU dan YLKI benar, batas bawah merugikan konsumen, dan dampaknya akan signifikan mengingat pasar domestik Indonesia adalah pasar yang sensitif terhadap harga. Jumlah penumpang yang biasa bepergian dengan maskapai berbiaya rendah berpotensi berkurang.

Berdasarkan data tahun 2013, 45.4 juta dari total 75.7 juta penumpang domestik Indonesia dilayani oleh maskapai berbiaya rendah. 

Fleksibilitas tarif

Penetapan batas bawah suatu barang atau jasa, di atas harga pasar, cenderung menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran — akan ada konsumen yang tidak lagi mampu membeli barang atau jasa tersebut.

”Penetapan batas bawah suatu barang atau jasa cenderung menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran — akan ada konsumen yang tidak lagi mampu membeli”

Industri penerbangan di Indonesia saat ini sudah mengalami kelebihan kapasitas, disebabkan oleh pertumbuhan penumpang yang menurun.

Berdasarkan data Dirjen Perhubungan Udara, jumlah penumpang domestik hanya tumbuh 7% di 2013, lebih rendah dari tahun 2011 dan 2012 yang tumbuh 16% dan 19%.

Selama ini untuk menyesuaikan kapasitas dan permintaan, strategi utama maskapai adalah fleksibilitas tarif.

Tarif tinggi bisa ditawarkan pada saat permintaan mendekati kapasitas penuh pesawat, sedangkan tarif rendah ditawarkan pada saat permintaan sedikit. Maskapai memiliki insentif untuk menjual tiket dengan sangat murah daripada membiarkan kursi kosong tidak terisi.

Dengan adanya batas tarif, fleksibilitas ini terganggu. Akan berakibat pada menurunnya persentase kursi yang terisi penumpang (load factor), sehingga mengurangi efisiensi penggunaan pesawat.

Murni demi keselamatan?

Kebijakan batas bawah diklaim akan membantu meningkatkan margin keuntungan sehingga maskapai bisa menjaga keselamatan penerbangan.

Namun maskapai, terutama maskapai berbiaya rendah, justru berpotensi memperoleh pendapatan yang lebih sedikit bila kebijakan ini benar diterapkan.

Regulasi tarif mengganggu kemampuan maskapai untuk menyesuaikan kapasitas kursi dengan permintaan. Konsumen juga dirugikan dengan tarif tiket yang akan meningkat.

Pada akhirnya, regulasi ini hanya akan memberatkan industri penerbangan di Indonesia. 

Batari Saraswati adalah peneliti di Tokyo Institute of Technology. Bidang penelitiannya mencakup manajemen dan perencanaan transportasi udara. 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!