Revolusi Pangan dimulai dari menghabiskan makanan Anda

Kokok Herdhianto Dirgantoro

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Revolusi Pangan dimulai dari menghabiskan makanan Anda

EPA

Kerugian yang terjadi akibat 'membuang' makanan mencapai USD 750 miliar lebih per tahun, atau sekitar Rp 9000 triliun

Sebenarnya, saya sangat ingin menulis sesuatu yang serius mengenai APBNP (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2015 atau program proyek listrik andalan Pemerintahan Joko Widodo 35 ribu Mega Watt.

Namun untuk apa, kalau akhirnya menyiksa pembaca, mengernyitkan dahi, antara sulit mencerna isi tulisan, dan kesal karena duit di rekening sudah habis, padahal gajian masih seminggu lagi. Akhirnya saya putuskan menulis artikel yang ringan ini.

Artikel ini terinspirasi tidak sengaja oleh dua hal:

  • Pertama, meme yang diunggah seorang kawan di Facebook: “Orang gendut itu penyayang. Setiap lihat makanan berlebih pasti ngomong: sayang nih.”
  • Kedua, adanya fenomena sisa nasi setengah porsi yang tidak dihabiskan di restoran-restoran.

Dua hal ini sungguh bertolak belakang namun intinya sama: jangan bikin makanan jadi mubazir. Kata guru ngaji saya: “Mubazir itu temannya setan.”

Tidak hanya pembaca, saya yang menulis artikel ini sempat mencibir ide saya sendiri. Kok kesannya artikel ini agamis banget padahal saya bukan murid Ustad Felix (halah). Keyakinan saya bahwa makanan mubazir (food waste/food loss) adalah permasalahan dunia.

Iseng-iseng saya browsing ke Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dan World Bank (iseng-iseng intelektual ya seperti ini) lalu menemukan angka yang sangat mencengangkan.

Seperempat hingga sepertiga makanan di dunia terbuang percuma. Terdiri dari: terbuang/susut saat transportasi, proses produksi, penyimpanan, and last but not least konsumsi.

Ya, makanan dibuang percuma oleh konsumen.

Negara maju dan negara berkembang sama-sama berteman dengan setan untuk urusan mubazir makanan. Dari total 1 miliar hingga 1,3 miliar ton makanan yang terbuang percuma, 56 persen dilakukan negara maju, 44 persen negara berkembang.

Kerugian yang terjadi akibatnya mencapai USD 750 miliar lebih per tahun. Dengan kurs rupiah Rp 12.500 per dolar Amerika, maka nilai makanan yang terbuang sekitar Rp 9000 triliun.

Tumpukan sampah makanan tersebut menghasilkan gas metana yang berikutnya memberikan kontribusi merusak planet ini, melalui efek rumah kaca.

Dari data FAO yang saya baca, negara maju menjadi ‘juara umum’ dalam urusan buang-buang makanan. Data 2011, tiap tahun per orang di negara maju membuang 95-115 kg makanan, sementara Asia Tenggara sekitar 6-11 kg.

Jika dari jumlah kalori atas makanan terbuang setiap hari, di negara maju 61 persen karena faktor konsumen yang membuangnya. Sementara di Asia Tenggara 87 persen dipicu karena proses produksi, penyimpanan dan pengiriman/transportasi.

Ya, Asia Tenggara lebih sayang dengan makanan. Alhamdulillah.

Apakah berarti Indonesia tidak akan mengalami kondisi menjadi teman setan dengan membuang-buang makanan? Sekarang mungkin belum. Tapi ketika Indonesia ekonominya terus tumbuh (walau pertumbuhannya terus menyusut tiap tahun, eh).

Maka akan tiba suatu masa terjadi ledakan kelas menengah atas yang membuang-buang makanan secara brutal.

Tanda-tanda ini mulai terlihat di kota-kota besar. Semakin banyak orang makan di restoran dan menyisakan setengah porsi nasi, bahkan lauk dan sayur.

Alasan utama tentu saja kenyang atau diet (uhuk). Ya kaleee diet lalu pas pulang kantor menunggu macet sambil minum latte atau cappucino atau soft drink sembari mengudap keripik kentang. Diet dari Hong Kong!!!

Kebiasaan buruk berikutnya adalah lapar mata. Saat belanja bulanan dengan kalap membeli berbagai macam bahan makanan dan makanan olahan.

Gayanya sih mau masak atau buat stok makanan di rumah. Ternyata cuma disimpan sampai busuk, kelupaan di dalam lemari es, atau sampai tanggal kadaluarsa belum sempat dimakan.

Fenomena ini sering menjadi-jadi saat bulan Ramadhan, membeli semua makanan untuk buka puasa. Padahal tidak semuanya dihabiskan.

Tentu saja lapar mata yang saya bahas terkait makanan, bukan sepatu atau tas. Jadi jika pasangan anda lapar mata dengan ciri-ciri mata berbinar dan memandang sepatu atau tas sembari berucap ke kita dengan memasang tampang memelas: iiiih lucu banget.

Fenomena tersebut bukan masuk pokok bahasan saya. Tidak ada yang banyak saya katakan untuk kondisi yang anda alami tersebut selain: ibakita.

ANAK DAN KELAPARAN. Cholid Akbar, 18 bulan, Seorang anak pengidap mal nutrisi di klinik bersama ibunya, Bogor, Jawa Barat, Juni 2005. Foto oleh EPA

Solusinya…

Saat ini pendapatan per kapita Jakarta dan sekitarnya bisa jadi 3-4 kali lipat rata-rata nasional. Pemborosan makanan karena lapar mata di Jakarta dan sekitarnya akan menjadi benchmark nasional ketika pendapat per kapita terus meningkat.

Budaya lapar mata ini akan menginvasi daerah-daerah lain dengan cepat. Sama cepatnya dengan kata elu & gue yang masuk ke otak anak muda senasional lewat sinetron. Moga ketika masa itu datang, kebiasaan mubazir itu tidak menjadi-jadi.

Beberapa langkah sederhana yang dapat mulai kita lakukan adalah meminta porsi nasi lebih sedikit di restoran, daripada tidak habis. Dengan mengurangi nasi setengah porsi setiap makan, sudah 1,5 porsi nasi dihemat.

Untuk memenuhi keinginan makan, tambah saja sayur dan buah. Selain tidak mubazir, kebiasaan ini membuat hidup lebih sehat. Mengurangi konsumsi nasi tidak hanya menghindarkan kita dari mubazir namun juga berdampak besar secara nasional. Budaya ini harus dimulai oleh kelas menengah atas.

Tahun 2014, total lahan untuk produksi padi adalah 13 juta hektar (beda 1-2 juta hektar dengan lahan Sawit nasional). Total panenan adalah 70 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Dari GKG menjadi 35 juta ton beras. Total produksi beras dibagi 240 juta jiwa penduduk nasional. Berarti konsumsi beras per kapita rakyat Indonesia adalah 145 kg per tahun.

Konsumsi beras ini luar biasa banyak dibandingkan negara Asean apalagi negara maju. Bisa jadi konsumsi beras per kapita per tahun rakyat Indonesia tertinggi di dunia.

Karena itu Indonesia salah satu negara dengan potensi masyarakat menjadi penderita diabetes yang cukup tinggi. Sementara konsumsi protein (telur, daging ayam, daging sapi, dll) dan serat (sayur/buah) masih sangat rendah. RI hanya tinggi dalam bidang makan beras dan makan teman (eaaa).

Jika konsumsi beras tidak ada upaya pengurangan, maka 2035 saat Penduduk RI mencapai 400 juta jiwa, dibutuhkan 20 juta hektar lahan lebih untuk menanam padi saja. Mau tanam di mana? Di laut?

Mendingan tanam Sagu di lahan Gambut. Tidak merusak alam, menambah oksigen, dan mengurangi CO2 sekaligus hasilnya untuk karbohidrat alternatif beras.

Balik masalah mubazir, maka jika masyarakat kelas menengah atas di seluruh kota besar mengurangi konsumsi beras dan menggantikan dengan asupan protein dan serat, dengan sendirinya konsumsi beras nasional akan turun sehingga pasokan dalam negeri mencukupi dus tak perlu impor lagi (mungkin tetap impor untuk beras Sushi, Risotto, Basmati dan macam beras lain yang belum dapat diproduksi di dalam negeri).

Lahan sawah dapat dikonversi untuk menanam sayur dan buah atau peternakan yang memiliki margin lebih tinggi dari menanam Beras. Agak khawatir saya menyinggung margin, potensi dituduh kapitalis sangat besar.

Akhir kata, jangan lagi membuang-buang makanan. Satu lagi, jangan memandang hina teman yang selalu menghabiskan makanan yang dipesannya melalui tatapan merendahkan kalian, itu menyakitkan. Mereka hanya ingin makanan tidak mubazir. –Rappler.com

Kokok Herdhianto Dirgantoro adalah mantan wartawan, mantan karyawan bank, kini ia mengelola kantor konsultan di bidang komunikasi strategis. Meski demikian, Ia sangat berminat belajar seputar isu ekonomi. Gaya menulisnya humoris, tapi sarat analisis. Follow Twitternya @kokokdirgantoro 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!