Perbedaan SBY dan Jokowi dalam seleksi calon Kapolri

Abdul Qowi Bastian

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Apa saja langkah yang SBY lakukan dalam seleksi calon Kapolri tapi tak dilakukan Jokowi?

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo saat mengajak Jokowi tur keliling Istana Negara sebelum pelantikan, pada 19 Oktober 2014. Foto oleh Darren Whiteside/AFP

JAKARTA, Indonesia — Perseteruan hangat bukan hanya terjadi di level Kepolisian melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tapi juga antara Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

SBY dan Jokowi tampak terlibat dalam “perang media sosial” perihal pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian RI (Kapolri).

Dalam sebuah catatan berjudul Polri Kita yang dipublikasikan melalui akun media sosial Facebook, SBY bercerita panjang lebar tentang sejarah singkat Polri sejak era Orde Baru hingga masa Reformasi.

 

Menurut SBY, meskipun penunjukan calon Kapolri merupakan hak prerogatif presiden, “sungguhpun demikian, Presiden tidak asal tunjuk dan putuskan, tetapi melalui norma dan aturan yang berlaku”.

Selama memimpin negeri ini 10 tahun, SBY telah 4 kali mengangkat Kapolri.

Berikut langkah-langkah yang dilakukan SBY:

  • Meminta saran dan masukan dari Kapolri
  • Meminta pertimbangan Komisi Kepolisian (Nasional)
  • Meminta secara resmi informasi dan keterangan dari KPK
  • Memimpin rapat yang dihadiri dan meminta masukan dari Wakil Presiden, Menko Polhukam, Kapolri, Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Mensesneg, dan Sekretaris Kabinet
  • Mengambil keputusan yang resmi dan mengikat
  • Mengirim surat resmi ke pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan persetujuan

Dalam kalimatnya, SBY mengatakan, “Ketika tahun-tahun terakhir ini KPK makin intensif untuk memantau pejabat-pejabat negara, termasuk kepolisian, yang diduga bersentuhan dengan wilayah hukum, saya mintakan pula secara resmi informasi dan keterangan yang terkait dengan pencalonan Kapolri ini.

“Masukan dari KPK kepada Presiden tersebut, yang disampaikan secara lengkap dan resmi, sungguh saya perhatikan. Namun, saya memilih untuk tidak membawanya ke arena publik. Saya memandang hal ini bagian dari manajemen pemerintahan, dan bukan politik,” tegas SBY.

Sebelumnya, SBY tidak pernah mengumbar ke publik atau media massa bahwa ia berkonsultasi kepada KPK untuk pencalonan Kapolri atau pimpinan lembaga negara lain, seperti Panglima TNI.

“Presiden Jokowi memiliki kewenangan dan caranya sendiri untuk menunjuk calon Kapolri. Cara apapun yang dipilih tidak bisa disalahkan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku,” lanjut SBY.

Hal ini yang disayangkan oleh pihak KPK, mengapa Jokowi tidak melakukan hal yang sama sebelum menunjuk Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri. Padahal sebelumnya Jokowi melibatkan KPK untuk menyeleksi jajaran calon menteri di Kabinet Kerjanya tahun lalu.

Deputi Pencegahan KPK, Johan Budi, membenarkan pernyataan SBY saat dihubungi Rappler Indonesia, Rabu (21/1). “Ya, betul. KPK dilibatkan dalam pemilihan calon Kapolri lewat Kompolnas,” kata Johan. 

Yang dimaksud adalah saat SBY mencalonkan Jenderal Sutarman sebagai Kapolri pada tahun 2013. Jokowi memberhentikan Sutarman dengan hormat pada 16 Januari pekan lalu. Posisinya kini digantikan oleh Wakapolri Badrodin Haiti selama kasus Budi Gunawan masih diproses hukum. (BACA: Jokowi tunda pelantikan Budi Gunawan)

Calon Kapolri Kom Jen Polisi Budi Gunawan pada 26 Desember 2012. Foto oleh Subekti/Tempo

Menurut Johan, Kompolnas meminta kepada KPK untuk menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Sutarman pada 2013 lalu.

Johan, yang merupakan juru bicara KPK saat era SBY menjabat sebagai presiden, juga menyebutkan bahwa Jokowi tidak pernah konsultasi dengan KPK dalam pemilihan Kapolri tahun ini. 

Hal tersebut juga pernah dikonfirmasi oleh Ketua KPK Abraham Samad. “Tidak pernah dikasih tahu Presiden Joko Widodo. Tidak pernah sama sekali,” kata Samad pada 10 Januari lalu.

Selain KPK, SBY juga melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam pencalonan Kapolri. Menurut Ketua PPATK Muhammad Yusuf, lembaganya dilibatkan melalui Sekretariat Kabinet.

“Zaman SBY dilibatkan oleh Setkab,” kata Yusuf kepada Rappler Indonesia.

Sebelumnya, mantan Kapolri Jenderal Sutarman juga menyayangkan mengapa instansinya tidak dilibatkan dalam seleksi. “Di Kepolisian sudah ada mekanismenya. Dewan Jabatan dan Kepangkatan,” kata Sutarman kepada wartawan, 13 Januari silam. 

Ia mengakui bahwa Kepolisian mempunyai pusat penilaian internal, seperti yang sudah dilakukan saat pencalonan dirinya pada era Presiden SBY.

Sedangkan Jokowi sendiri saat ditanya wartawan pada 12 Januari mengapa tidak melibatkan KPK dan PPATK, hanya mengatakan, “Nanti kalau saya jawab, larinya ke tempat lain.”

Jokowi bersih-bersih?

 

Pencopotan Sutarman dari posisinya sebagai Kapolri juga menimbulkan isu tak sedap lainnya. Menurut SBY, ada juga “provokasi” yang ingin memecah hubungan antara Jokowi dan dirinya.

“Diisukan bahwa yang tengah dilakukan sekarang ini adalah pembersihan ‘orang-orang SBY’, baik di jajaran TNI, Polri, maupun aparatur Pemerintahan. Saya terhenyak,” lirih SBY. 

Jika benar itu yang dilakukan Jokowi, sungguh tidak masuk akal, kata SBY.

“Saya tidak yakin Presiden Jokowi punya pikiran dan kehendak untuk melakukan pembersihan semacam itu. Kalau hal itu terjadi, bagaimana pula nanti jika Presiden baru pengganti Pak Jokowi juga melakukan ‘pembersihan’ yang sama,” tutur SBY. 

Menanggapi pesan SBY tersebut, Jokowi bereaksi. Ia menulis catatan singkat di laman Facebook-nya.

“Tidak ada itu istilah ‘Pembersihan orang-orang Bapak SBY’, kita tidak sedang mengalami ‘Patahan Politik’, juga tidak sedang dalam pertempuran antar generasi,” tulis Jokowi, Selasa (20/1).

Menurutnya, Indonesia di bawah kepemimimpinannya, sedang “berada dalam garis depan pembangunan yang massif”. Dengan demikian, Jokowi dan bawahannya sedang menata pemerintahan secara gradual, termasuk mengisi posisi-posisi yang dinilainya dapat membawa Indonesia yang berdaulat. 

“Kalaupun ada pergantian-pergantian pejabat di tubuh pemerintahan itu hanya sirkulasi manajemen pejabat publik, dan itu hal yang biasa untuk penyegaran manajemen tata kelola kebijakan publik,” sambung Jokowi. 

Ia mengambil inspirasi dari gagasan besar Presiden Sukarno tentang Indonesia yang kuat dan kerapian infrastruktur dan manajemen birokrasi zaman Presiden Suharto.—dengan laporan dari Febriana Firdaus & Dio Damara/Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!