Jokowi: Jangan intervensi eksekusi mati

ATA

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jokowi: Jangan intervensi eksekusi mati
Menlu Retno katakan tindakan Brasil tak dapat diterima karena langgar Konvensi Wina.

 

 

JAKARTA, Indonesia — Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Selasa, 24 Februari, kembali menegaskan posisinya tentang hukuman mati, beberapa hari setelah calon Duta Besar RI untuk Brasil ditolak oleh Presiden Brasil Dilma Rousseff.

“Jumat malam saya dikabari mengenai kejadian credential dari Bu Menteri Luar Negeri, dan saya perintahkan Pak Dubes kita di Brasil ditarik ke tanah air,” kata Jokowi kepada wartawan di Istana Merdeka, Selasa.

“Pertama yang perlu saya sampaikan secara tegas, bahwa jangan ada yang intervensi masalah eksekusi mati karena itu adalah kedaulatan hukum kita. Kedaulatan politik kita. Dan hukum positif kita ada mengenai hukuman mati ini,” tegas Jokowi.

“Masalah Brasil kenapa saya tarik, karena ini adalah masalah kehormatan negara, kehormatan bangsa. Buat saya itu masalah besar,” lanjut Jokowi.

Sebelumnya, pada Jumat, 20 Februari, pemerintah Indonesia memanggil pulang Duta Besar untuk Brasil Toto Riyanto setelah Presiden Dilma Rousseff menolak menerima surat kepercayaan.  

Jokowi mengakui bahwa sebelumnya ia menerima telepon dari Presiden Rousseff terkait warganya yang terancam hukuman mati di Indonesia. Ia juga menerima permintaan keringanan dan pengampunan dari Presiden Prancis. Namun Jokowi kembali menekankan bahwa perihal eksekusi mati adalah “masalah kehormatan dan martabat bangsa”.

Jangan ada yang intervensi masalah eksekusi mati karena itu adalah kedaulatan hukum kita. Kedaulatan politik kita.

“Kita ingin hubungan baik, bersahabat baik dengan negara manapun. Tapi kalau kejadian seperti, kita tegas mesti tarik,” ungkapnya. 

Presiden Brasil Dilma Rousseff menolak menerima credential (surat kepercayaan Duta Besar) Toto sebagai bagian dari protes terhadap eksekusi warga negaranya.

“Kami pikir perubahan situasi penting untuk memperjelas keadaan hubungan Indonesia dan Brasil,” kata Rouseff, Jumat, 20 Februari.

Marco Archer Cardoso Moreira, yang ditangkap tahun 2003 dalam upaya menyelundupkan 13,4 kilogram kokain, menjalani hukuman mati di LP Nusa Kambangan pada 18 Januari 2015. Pengajuan grasi dari Rouseff ditolak oleh Jokowi.

Warga Brasil lainnya, Rodrigo Gularte, kini sedang menanti eksekusi yang belum jelas jadwalnya karena menyelundupkan 6 kilogram kokain pada tahun 2004. Keluarga Gularte telah minta pengampunan dari pemerintah Indonesia. Ini pun ditolak oleh pemerintah.

Kejaksaan Agung sebelumnya menyatakan Gularte, 39 tahun, mengalami gangguan jiwa, berdasarkan laporan awal dari seorang psikiater dan surat dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan (LP) Nusakambangan.

Menlu: Langgar Konvensi Wina, tindakan Brasil tak dapat diterima

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyesalkan langkah yang diambil Presiden Brasil dan melayangkan protes keras atas penolakan Duta Besar RI untuk Brasil.

“Apa yang dilakukan oleh Brasil merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima oleh Indonesia dan sangat bertentangan dengan apa yang diatur oleh Konvensi Wina,” tutur Retno di Istana Merdeka, setelah Jokowi menyampaikan pernyataan persnya.

Menurut Retno, dengan demikian Brasil melanggar Konvensi Wina pasal 29, yang berbunyi:

“Orang agen diplomatik tidak dapat diganggu gugat. Ia tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam bentuk apapun dari penahanan atau penangkapan. Negara penerima harus memperlakukannya dengan hormat dan harus mengambil semua langkah yang tepat untuk mencegah setiap serangan terhadap badannya, kebebasannya, atau martabatnya”

Meski menjadi sorotan dunia, Retno meyakini bahwa hukuman mati tidak akan mengganggu hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara lain. “Hukuman mati masih menjadi bagian hukum positif di Indonesia. Jadi kita tidak akan lelah untuk jelaskan pada dunia mengenai masalah law enforcement,” ucap Retno.

Sebelumnya, pada Jumat malam, Kementerian Luar Negeri juga sudah memanggil Duta Besar Brasil untuk Indonesia untuk dimintai keterangan. Pemanggilan tersebut dilakukan hanya satu jam setelah Menteri Luar Negeri Brasil mengumumkan penundaan penyerahan credentials Indonesia.

“Kita sampaikan protes keras dan nota protes kepada pemerintah Brasil melalui dubesnya yang ada di Jakarta,” sambung Retno. 

Dubes Toto: Semua berjalan lancar, hingga … 

Dubes RI untuk Brasil Toto Riyanto. Foto oleh Twitter

Dubes RI untuk Brasil Toto Riyanto mengaku sebelumya tidak ada tanda-tanda bahwa akan ada penolakan credential dari pihak pemerintah Brasil.

“Pada tanggal 19, saya mendapat undangan nota diplomatik dari Departemen Luar Negeri Brazil untuk tanggal 20 pagi mengikuti kegiatan penyerahan surat credential yang saya bawa dari Jakarta,” kata Toto kepada wartawan di kantor Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Senin, 23 Februari.

“Pada tanggal 20 pagi mereka datang menjemput saya ke wisma Indonesia dan membawa kendaraan dari pemerintah Brazil dengan bendera Indonesia, dan dilengkapi juga dua kendaraan bermotor, voorijeder untuk mengantar saya ke istana,” lanjutnya.

Menurut Toto, saat itu ia dan 4 calon dubes lainnya hendak menyerahkan credential kepada Presiden Rousseff, namun ia justru dibawa oleh Menlu Brasil ke ruangan lain. Empat Dubes lainnya masuk menemui Presiden Rousseff.

“Rencananya yang memberikan credential itu adalah saya dulu, tetapi saat saya harus melaksanakan, saya dipanggil oleh Menlu mereka. Saya dibawa ke dalam suatu ruangan dan mengatakan bahwa penyerahan credential saya ditunda,” akunya.

“Satu hal yang menjadi persoalan adalah, saya datang bukan hanya membawa surat credential atas nama pribadi, tetapi juga atas nama Presiden saya dan atas nama rakyat Indonesia. Di situlah saya anggap mereka tidak wajar,” pungkasnya.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!